China di Era Xi Jinping: Ekonomi Melesat Tapi Masih Banyak Tantangan!

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
12 March 2024 22:00
Presiden China Xi Jinping menghadiri sesi pembukaan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China di Aula Besar Rakyat di Beijing, Senin, 4 Maret 2024. (AP Photo/Tatan Syuflana)
Foto: Presiden China Xi Jinping menghadiri sesi pembukaan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China di Aula Besar Rakyat di Beijing, Senin, 4 Maret 2024. (AP/Tatan Syuflana)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian China selama satu dekade terakhir di bawah kepemimpinan Xi Jinping telah berkembang luar biasa menjadi yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS).

Namun, Sang Naga Asia ini juga menghadapi sejumlah tantangan besar lantaran krisis demografi hingga perang dagang dengan Amerika Serikat.


Pertumbuhan Ekonomi Melonjak Jadi Kedua Terbesar di Dunia

Perekonomian China telah melonjak dengan pesat selama beberapa tahun terakhir. Sejak 2012, bertepatan dengan kepemimpinan Xi Jinping dimulai produk domestik bruto (PDB) telah melonjak lebih dari dua kali lipat dalam satu dekade, dari US$ 8,54 triliun menjadi US$ 17,89 triliun pada akhir 2022.

Sebagian besar pertumbuhan tersebut ditopang oleh sektor manufaktur yang membuat China menjadi perekonomian terbesar kedua dunia setelah Amerika Serikat (AS) sejak 2010 silam.

Tantangan Ekonomi China ke Depan : Pengangguran Naik - Pasar Saham Dalam Tren Turun 

Kendati ekonomi tumbuh pesat dalam 10 tahun terakhir, tetapi ada beberapa tantangan bagi China terutama dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi tetap positif lantaran dampak krisis properti, efek domino dari Evergrande hingga pengangguran yang meningkat lantaran terpukul efek pandemi Covid-19 yang belum pulih.

Pengangguran merupakan kekhawatiran yang sangat besar dari kalangan lulusan baru di tingkat universitas. Pasalnya, ada jutaan sarjana yang siap memasuki pasar kerja setiap tahunnya.

Jika ditarik mundur kurang lebih dalam dua dekade (2002 - 2024) tingkat pengangguran rata-rata Tiongkok berada di angka sekitar 4,74%. Dari nilai tersebut, data per Januari 2024 menunjukkan peningkatan di 5,20%.

Tingkat pengangguran Tiongkok sempat melonjak ke level tertinggi sepanjang masa pada Februari 2020, mencapai 6,20%.

Perekonomian juga kena dampak dari pemerintah yang bersikeras terhadap peraturan di perusahaan teknologi, seperti Alibaba dan Tencent.

Alhasil, kapitalisasi pasarnya telah tergerus miliaran dolar dan membuat indeks Hang Seng terperosok. Dalam satu dekade lebih (2012 - 2024), indeks Hang Seng sudah turun lebih dari 20% menjadi 16.353,39 pada penutupan perdagangan pekan lalu, Jumat (8/3/2024).

Dari data berikut terlihat dalam tiga tahun terakhir, Hang Seng belum bisa pulih dari keterpurukan sejak pandemi Covid-19.

Berhasil Entaskan Kemiskinan Ekstrim, Tapi Kesenjangan Makin Lebar

Beralih ke persoalan selain ekonomi, keberhasilan yang di raih Xi Jinping adalah mampu mengentaskan kemiskinan ekstrim.

Setidaknya dalam kurun waktu 40 tahun terakhir Tiongkok telah mengangkat sekitar 800 orang dari jurang kemiskinan ekstrim. Menurut World Bank, China telah berjasa dalam mengangkat pengurangan tiga per empat kemiskinan ekstrim secara global.

Jika ditarik mundur dalam kepemimpinan Xi Jinping, dalam satu dekade terakhir menurut pemerintah sang Naga Asia memperkirakan ada 100 juta diantaranya yang berhasil dituntaskan dari kemiskinan.

Tingkat kemiskinan yang semakin turun ini juga diiringi dengan angka harapan yang hidup yang meningkat. Melansir dari World Health Organization (WHO) harapan hidup warga TIongkok telah meningkat kurang lebih dua kali lipat dari 33 tahun paa 1960 menjadi 60 tahun pada 2012.

Namun, perlu diakui juga bahwa keberhasilan tersebut masih diiringi berbagai tantangan di mana untuk penduduk pedesaan aksesnya masih lebih rendah terhadap pendidikan dan layanan kesehatan, sementara itu kesenjangan kekayaan juga terus melebar.

Hal tersebut menjadi faktor laju kelahiran di negeri Tirai Bambu ini terus merosot. Pada 2021 negara ini hanya mencatat 10,6 juta kelahiran, turun dari 12 juta pada 2020.

Warga Tiongkok yang menyatakan keengganan-nya untuk membesarkan keluarga mereka, dengan alasan tingginya biaya membesarkan anak dan tidak memadainya dukungan bagi orang tua baru.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation