3 Masalah Ini Buat Rupiah Loyo Usai Pemilu, Kalah Jauh dari Ringgit Cs

Revo M, CNBC Indonesia
07 March 2024 09:05
Pekerja pusat penukaran mata uang asing menghitung uang Dollar AS di gerai penukaran mata uang asing Dolarindo di Melawai, Jakarta, Senin (4/7/2022). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menjadi mata uang terlemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dalam hampir sebulan terakhir atau pasca pemilihan umum (pemilu) 2024 dilaksanakan pada 14 Februari 2024.

Dilansir dari Refinitiv, sejak penutupan perdagangan 13 Februari 2024 hingga 6 Maret 2024, rupiah dan yuan menjadi dua mata uang yang melemah terhadap dolar AS.

Sementara mata uang lainnya seperti peso Filipina, rupee India, won Korea Selatan, yen Jepang, baht Thailand, dan ringgit Malaysia justru mengalami apresiasi.

Sebagai catatan, indeks dolar AS (DXY) sendiri pada periode yang sama mengalami penurunan sebesar 1,51% dari 104,96 ke angka 103,37.

Pada 13 Februari 2024 atau satu hari sebelum pemilu 2024 hingga saat ini rupiah justru terus menerus mengalami penurunan akibat faktor internal maupun eksternal. Padahal indeks dolar atau DXY sebagai lawan dari rupiah sendiri pun mengalami depresiasi sekitar tiga minggu terakhir atau pasca pemilu 2024.

Pelemahan rupiah ini terjadi sebesar 0,67% yang merupakan terparah dibandingkan mata uang Asia lainnya yang justru mengalami penguatan di tengah depresiasi DXY.

Faktor internal yang menyebabkan rupiah terus melemah yakni twin deficit dari transaksi berjalan dan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), ekspor yang anjlok, serta inflasi yang di atas ekspektasi menjelang Ramadhan dan Lebaran.

1. Twin Deficit

Indonesia mencatatkan defisit Transaksi Berjalan hingga US$1,3 Miliar pada Q4-2023 sementara secara keseluruhan tahun 2023 defisitnya mencapai US$1,6 Miliar atau 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Di sisi lain APBN 2023 defisit sebesar Rp347,6 triliun atau 1,65% dari PDB.

Guncangan eksternal terjadi di tengah pelemahan ekonomi global yang diperkirakan terjadi pada 2024 khususnya dari beberapa negara maju di dunia diikuti dengan lemahnya harga komoditas dunia.

China sebagai negara terbesar di Asia yang memiliki dampak besar bagi negara tetangganya diperkirakan memiliki pertumbuhan ekonomi yang kurang dari 5% di tahun ini.

Hal ini terjadi di tengah krisis properti yang melanda, tingkat pengangguran kaum muda yang cukup tinggi bahkan sempat menyentuh 21,3% pada Juni 2023. Tidak sampai di situ, jumlah utang yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan PDB juga memberikan tekanan.

 

Sementara negara maju lainnya yakni Jepang dan Inggris tercatat mengalami resesi teknikal setelah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) berada di zona negatif di kuartal tiga dan empat secara beruntun.

Sedangkan harga komoditas seperti batu bara dan Crude Palm Oil (CPO) yang merupakan komoditas andalan Indonesia juga tampak tidak begitu baik, hal ini semakin memperparah defisit transaksi berjalan.

2. Ekspor Indonesia Anjlok

Bagi suatu negara, ekspor barang dan jasa menjadi hal penting untuk menambah devisa negara.

Nilai kekayaan yang dimiliki oleh suatu negara dalam bentuk mata uang asing disebut dengan devisa. Adanya kegiatan ekspor bermanfaat untuk membuka peluang baru di luar negeri. Peluang tersebut akan menumbuhkan perluasan pasar domestik, investasi, dan devisa pada suatu negara.

Untuk diketahui, ekspor Indonesia sepanjang 2023 mengalami penurunan dampak dari pelemahan permintaan global. Merujuk berdasarkan data Kementerian Perdagangan, total ekspor Indonesia sepanjang 2023 hanya sebesar US$258,8 miliar atau turun 11,34% jika dibandingkan 2022 yang berada di angka US$291,9 miliar.

Dengan ekspor yang melemah maka pasokan dolar AS ke pasar Indonesia bisa berkurang sehingga bisa menekan rupiah. Ekspor yang turun juga menjadi sinyal bahaya bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Bahkan data terbaru pada Januari 2024 berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan nilai ekspor mengalami penurunan baik secara bulanan maupun tahunan. Penurunan terjadi di sektor migas maupun nonmigas.

Nilai ekspor Januari 2024 mencapai US$20,52 miliar, turun 8,34% dibandingkan Desember 2023 atau turun 8,06% dibandingkan Januari 2023.

Secara tujuan ekspor per Januari 2024 pun mengalami penurunan terhadap mitra dagang utama seperti China, AS, dan India secara bulanan.

3. Inflasi Melebihi Ekspektasi

BPS telah merilis data inflasi Februari 2024 secara tahunan (year on year/yoy) maupun bulanan (month to month). Secara tahunan inflasi Indonesia tercatat sebesar 2,75% sementara secara bulanan sebesar 0,37% dan tingkat inflasi year to date (ytd) Februari 2024 sebesar 0,41%.

Jika dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia dari 11 institusi yang memperkirakan inflasi Februari 2024 akan mencapai 0,25% mtm dan secara tahunan akan berada di angka 2,63% pada Februari, maka hasil aktual menunjukkan angka yang berada di atas ekspektasi pasar.

Hal ini terjadi khususnya akibat lonjakan harga makanan, minuman, dan tembakau khususnya harga beras. Untuk diketahui, andil makanan, minuman, dan tembakau sebesar 0,29% dengan tingkat inflasi 1% mtm.

Ketakutan pasar semakin mencuat ke permukaan karena inflasi berpotensi semakin tak terkendali pada Maret ini karena momen Ramadhan yang akan semakin meningkatkan inflasi di tengah konsumsi masyarakat yang merangkak naik.

Secara historis, inflasi Indonesia akan mencapai puncak pada Ramadan, terutama menjelang Idul Fitri. Inflasi melonjak karena adanya kenaikan permintaan mulai dari barang hingga jasa, seperti pakaian dan jasa transportasi. Pengecualian terjadi pada 2020 saat pandemi Covid-19 melanda dunia.

Lebih lanjut, program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pada saat pemilu dan perpanjangan memasuki masa Lebaran akan membantu mendongkrak aktivitas transaksi, khususnya dari kalangan segmen berpendapatan rendah.

Kendati inflasi saat ini masih dalam rentang target Bank Indonesia (BI) yakni 1,5-3,5%, namun situasi saat ini tetap perlu menjadi perhatian.

Bila inflasi kembali menanjak atau bahkan tak terkendali melebihi 3,5%, maka hal itu bisa menjadi kekhawatiran BI dan mempersempit ruang BI dalam memangkas suku bunga dalam jangka pendek.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation