Macro Insight

Rupiah Anjlok 2% Gak Sampai 1 Bulan, 5 Hal Ini Sebabnya!

Revo M, CNBC Indonesia
24 January 2024 15:50
Penukaran uang dolar (AS) dan rupiah di Valuta Inti Prima (VIP) Money Changer, Menteng, Jakarta, Rabu (11/10/2023). (CNBC Indonesia/ Faisal Rahman)
Foto: Penukaran uang dolar (AS) dan rupiah di Valuta Inti Prima (VIP) Money Changer, Menteng, Jakarta, Rabu (11/10/2023). (CNBC Indonesia/ Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tercatat terus mengalami depresiasi. Hal ini terjadi di tengah kuatnya data ekonomi AS serta situasi China yang terpuruk.

Sejak awal Januari 2024, rupiah terus mengalami pelemahan di tengah kuatnya indeks dolar AS (DXY).

Dilansir dari Refinitiv, rupiah mengalami depresiasi secara year to date/ytd sekitar 2,1%. Sedangkan pada perdagangan hari ini saja (24/1/2024), rupiah menembus level psikologis Rp15.700/US$ dan mencapai titik tertingginya di angka Rp15.725/US$ atau ambruk 0,64%.

Berikut ini beberapa alasan mengapa rupiah mengalami penurunan begitu signifikan tak kurang dari sebulan.

1. Naiknya Inflasi AS

Inflasi konsumen (CPI) AS tercatat mengalami kenaikan dari 3,1% year on year/yoy pada November menjadi 3,4% yoy pada Desember 2023. Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI Negeri Paman Sam pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023.

Kenaikan CPI AS terjadi karena adanya seasonality natal 2023 dan tahun baru 2024. Selain itu, memanasnya konflik di Timur Tengah yang turut menaikkan harga minyak mentah dunia juga berkontribusi menaikkan inflasi Negeri Paman Sam pada akhir 2023.

Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.

2. Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga Mundur

Berdasarkan Dokumen dot plot Desember 2023, The Fed berpotensi memangkas suku bunganya setidaknya sebesar 75 basis poin (bps) di sepanjang 2024.

Mendengar hal tersebut, pelaku pasar lewat survei CME FedWatch Tool menunjukkan bahwa pemangkasan pertama kalinya diekspektasikan terjadi pada Maret 2024 sebesar 25 bps dan secara total, pemangkasan suku bunga The Fed diekspektasikan sebesar sekitar 150 bps.

Seiring berjalannya waktu, pasar melihat kondisi yang ada saat ini menunjukkan kemungkinan pemangkasan suku bunga tampak dimulai pada Mei atau Juni 2024.

3. Data Ketenagakerjaan AS Masih Panas

Biro Ketenagakerjaan AS melaporkan penurunan klaim awal tunjangan pengangguran sebanyak 16.000 menjadi 187.000 untuk pekan yang berakhir 13 Januari 2024.

Klaim pengangguran AS menandai posisi terendah sejak September 2022, meleset jauh dari perkiraan yang proyeksi naik ke 207.000, menurut penghimpun data Trading Economics.

Sementara data pekerjaan di luar pertanian atau Non-Farm Payroll (NFP) pun tercatat naik ke 216.000 pada Desember 2023. Nilai tersebut diluar perkiraan yang proyeksi turun ke 170.000, dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 173.000 pekerjaan.

Hal ini semakin membuat membuat ekspektasi pasar terhadap kebijakan suku bunga The Fed dipangkas tahun ini lebih lambat dari perkiraan.

4. Apresiasi DXY

Sejak awal Januari 2024, DXY terus merangkak naik dari sekitar 101 hingga 102 dan terus mengalami kenaikan dan berada di angka 103,61 pada 23 Januari 2024.

Penguatan DXY ini memberikan tekanan bagi mata uang negara lainnya, seperti mata uang di Asia termasuk mata uang Garuda.

5. Perekonomian China Melambat

Pertumbuhan ekonomi China (Produk Domestik Bruto/PDB) China tercatat hanya tumbuh 5,2% yoy pada kuartal IV-2023. PDB tersebut menjadi salah satu pertumbuhan tahunan terlemah China dalam lebih dari tiga dekade terakhir.

Pelemahan ekonomi China terjadi karena pemerintahannya masih berjuang melawan krisis properti yang melumpuhkan, lesunya konsumsi dan gejolak global.

Lambatnya ekonomi China ini berdampak signifikan terhadap Indonesia mengingat China merupakan mitra dagang utama eskpor.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, rambatan tekanan ekonomi dari global ke Indonesia masuk dari jalur perdagangan. Kondisi ekonomi China yang tengah mengalami pelemahan akibat utang publik yang melonjak hingga perlambatan manufaktur mulai berdampak ke berbagai negara, tak terkecuali Indonesia.

Ketika surplus neraca dagang Indonesia semakin menipis, hal ini dapat berdampak kepada transaksi berjalan Indonesia yang defisit hingga persepsi investor yang kurang baik bagi Indonesia.

Defisit transaksi berjalan menjadi hal yang perlu dihindari karena memberikan kesan negatif karena kebutuhan dolar di Indonesia akan menjadi semakin banyak dan membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami depresiasi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation