Tech & Telco Summit 2024

Internet Murah vs Berkualitas, Buat RI Mending Mana?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
05 March 2024 15:35
Tech & Telco Summit 2024 di Auditorium Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa 5/3. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Tech & Telco Summit 2024 di Auditorium Menara Bank Mega, Jakarta, Selasa 5/3. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perkembangan aktivitas digital semakin berkembang pesat di dunia, termasuk juga di Indonesia, sehingga hal ini dapat membawa industri telekomunikasi di Indonesia semakin maju.

Namun,  di balik pertumbuhan aktivitas digital yang semakin masif, hal ini justru menimbulkan tekanan bagi perusahaan telekomunikasi. Pasalnya,pertumbuhan konsumsi data jauh lebih pesat dibanding pendapatan.

Direktur Jenderal Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Ismail MT, memaparkan bahwa industri telekomunikasi kini ada di tahap untuk memastikan keberlanjutan bisnis.

"Jadi memang industri telekomunikasi sedang mengalami situasi yang tidak mudah. Pertumbuhan teknologi, perpindahan, shifting business model," katanya dalam acara CNBC Indonesia Tech and Telco Summit 2024,Selasa (5/3/2024).

Ia menjelaskan sekarang peran perusahaan telekomunikasi bukan lagi sebagai playmaker ,tetapi punya peran lebih besar lagi yaitu sebagai penyedia infrastruktur.

Kemunculan berbagai perusahaan berbasis aplikasi, baik dari dalam maupun luar negeri, membuat konsumsi data naik pesat. Permasalahannya, biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan telekomunikasi untuk menunjang trafik tidak sebanding dengan pertumbuhan pendapatan.

"Biaya meng-handle trafik yang meningkat secara eksponensial kian meningkat. Kini industri telekomunikasi, termasuk Fixed-mobile convergence (FMC) adalah jawaban untuk bertahan hidup tadi," katanya.

Seiring tumbuh pesatnya digital di dunia termasuk di Indonesia, maka Industri telekomunikasi di Indonesia saat ini tak lagi bertumpu pada strategi perang harga untuk menggaet minat masyarakat.

Hal ini diungkap oleh CEO Indosat, Vikram Sinha. Ia mengatakan bahwa pandemi Covid-19 yang menghantam dunia pada 2020 lalu memberikan banyak pelajaran, salah satunya soal kompetisi di sektor telekomunikasi.

"Covid-19 mengajarkan kami bahwa masyarakat sesungguhnya tak tertarik dengan produk murah. Mereka mencari nilai dari uang yang dikeluarkan, serta pengalaman terbaik dari sebuah layanan," kata Vikram dalam acara Tech & Telco Summit 2024 yang digelar CNBC Indonesia, Selasa (5/3/2024).

Lebih spesifik ke layanan telekomunikasi, Vikram mengatakan nilainya sangat krusial bagi masyarakat. Sebab, layanan telekomunikasi yang baik membuka banyak peluang bagi masyarakat.

"Pengeluaran untuk data bukan pengeluaran yang konsumtif. Data membantu masyarakat untuk lebih produktif dalam bekerja, sehingga sepadan dengan biaya yang dikeluarkan," ia menuturkan.

Di acara yang sama, Presiden Direktur PT XL Axiata Tbk (EXCL), Dian Siswarini mengungkapkan konvergensi di tengah industri telekomunikasi membuat 'perang harga' tidak lagi berlaku untuk memenangkan kompetisi.

Menurutnya perang harga yang terjadi sebelumnya memberikan dampak buruk bagi konsumen, industri, dan pelaku operator sendiri.

"Price war so yesterday tidak baik buat operator, industri, dan pelanggan. Itu harus ditinggalkan," kata Dian.

Saat ini menurutnya operator lebih fokus memberikan layanan dan membuat produk yang diterima masyarakat. Setiap operator memastikan produknya memang diperlukan di tengah masyarakat.

Fokus selanjutnya bagi EXCL yakni contact center, yang mampu memberikan jawaban terkait masalah-masalah telekomunikasi dari konsumen.

"Kemudian bagaimana setiap saat berinovasi mendapat sesuatu yang baru. Sebagai gambaran, di masa lalu komplain yang datang adalah kenapa jaringannya lemot. Sekarang berbeda, karena sekarang aplikasi masing-masing operator seperti myXL sangat menentukan," kata dia.

Hal ini membuktikan terjadinya pergeseran kebiasaan masyarakat, sehingga perang harga tidak lagi relevan. Dian menegaskan pergeseran kebutuhan masyarakat inilah yang harus dipenuhi oleh industri telekomunikasi.

"Indonesia luas, demografi berbagai macam segmen. Mungkin ada produk untuk daya beli dan segmen tertentu. Jadi perlu produk yang bisa diterima semuanya," pungkas Dian.

Pemerintah Lakukan Ini Agar Internet 'Makin Murah'

Meski strategi perang harga tak lagi menjadi ajang bagi industri telekomunikasi untuk menggaet minat masyarakat, tetapi di beberapa daerah, masih ditemui perbedaan harga internet.

Berdasarkan survei yang diadakan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengenai penetrasi internet di Indonesia 2024, biaya langganan internet di rumah, tertinggi adalah pengeluaran Rp 100 ribu hingga Rp 300 ribu per bulan. Jumlahnya mencapai 67,4% atau naik dari tahun 2023 sebesar 66,3%.

Sementara itu pengeluaran Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu sebesar 22,5%. Angka tersebut turun dari tahun 2023 yang mencapai 26,2%. Tercatat 7,8% masyarakat yang mengeluarkan uang kurang dari Rp 100 ribu untuk internet di rumah. Selain itu, untuk lebih dari Rp 500 ribu 1,1%.

Survei juga mencatat harga untuk mobile internet dalam satu bulan. Terbanyak adalah Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu yang mencapai 45%.

Sementara itu sebanyak 35,3% responden mencapai Rp 10 ribu hinga Rp 50 ribu. Kategori Rp 100 ribu-Rp 250 ribu sebesar 16,4% dan lebih dari 250 ribu 1,6%. Persentase pengeluaran terendah adalah kurang dari Rp 10 ribu. Selama sebulan hanya ada 1,2% yang menggunakan biaya internet tersebut.

Dalam survei yang sama juga terungkap, pengguna mobile masih mendominasi untuk mengakses internet. Sebesar 74,3% tercatat dalam survei tahun ini, turun dari tahun sebelumnya 77,3%. Sementara penggunaan wifi rumah adalah sebesar 22,4%. Jumlah tersebut naik dari tahun sebelumnya yang mencapai 20,8%.

Penggunaan wifi di ruang publik maupun kantor hingga sekolah atau kampus tidak terlalu banyak. Wifi ruang publik digunakan 1% orang sementara 1,7% wifi kantor atau sekolah atau kampus.

Hal ini tentunya masih menjadi perhatian serius, meski tiga operator telekomunikasi besar di Indonesia tak lagi berfokus pada strategi perang harga.

Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika, Ismail MT mengungkapkan pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk membuat harga internet bisa lebih terjangkau bagi masyarakat. Pasalnya, masyarakat Indonesia disebut masih sensitif terhadap perubahan harga dari layanan internet.

"Dari sisi pemerintah melakukan banyak hal, dengan membuka kemudahan dan membangun infrastruktur. Kemudian ada diskusi rebalancing spektrum, jadi mengarah kesana," kata Ismail.

Pemerintah juga akan memberikan insentif kepada operator sesuai dengan kebutuhan, sehingga bisa memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Dia juga menegaskan nantinya insentif yang diberikan juga harus dapat dipertanggungjawabkan oleh industri.

Ismail mengatakan saat ini internet menjadi salah satu komponen alat kerja bagi masyarakat, sehingga sisi biayaatau cost pun menjadi perhatian.Untuk mengurangi cost, pemerintah juga berupaya meningkatkan TKDN dalam pemanfaatan infrastruktur.

Dia juga mengingatkan kepada industri agar tidak terjebak dalam perkembangan teknologi semata, melainkan juga kualitas. Sehingga harus dipastikan teknologi yang digunakan bisa efisien dan dibutuhkan oleh masyarakat.

"Mau menggunakan teknologi apapun, yang penting kualitas, Itu isu yang harus dijawab teman-teman infrastruktur. Jadi tidak latah menggunakan teknologi tapi tidak dibutuhkan masyarakat," ungkapnya.

Selain itu, untuk mendukung sektor telekomunikasi yang lebih siap menghadapi perkembangan digital yang pesat, Kominfo tengah menyiapkan regulasi yang pas dengankondisi industri saat ini

"Bukan yang aneh membuat makin sulit. Kami membuat regulasi yang memudahkan biar bisa menjadi akselerator," jelas Ismail.

Kebijakan yang telah diterbitkan Kominfo, antara lain, adalah keleluasaan untuk menerapkanspectrum sharingagar terjadi inovasi.

"Kami juga memberikan kesempatan untuk berinovasi, menjadikannetwork,kalau hanya jualanbandwidthsusah,tapi harus jualan solusi."

Kemudian, Kominfo juga membantu pembangunan infrastruktur di area yang sulit dijangkau dan biaya pembangunannya mahal lewat program Bakti dalam bentuk satelit atau BTS.

"Lalu memberikan kemudahan-kemudahan spektrum frekuensi, kami berdiskusi teman-teman ini soal spektrum agar affordable, sehingga regulatory charges bisa ditekan," kata Ismail.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(chd/chd)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation