
Pengembangan 5G Terhambat Beban Regulator Tinggi, Apa Solusinya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Operator telekomunikasi mengakui beban regulator saat ini terlalu berat. Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) diminta untuk tidak membebankan regulator charging yang terlalu besar, terutama untuk pengembangan 5G sebagai upaya untuk menekan beban tersebut.
Presiden Direktur dan CEO XL Axiata, Dian Siswarini khawatir untuk sekarang mengakui beban itu terlalu berat. Karena yang harus dikeluarkan mencapai dua digit dari total revenue perusahaan.
"Ini memang buat kita lumayan berat, karena regulatory charging nya double digit 13-14% dari total revenue," kata Dian dalam acara Tech & Telco Summit 2024 CNBC Indonesia, di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Data Berbicara : Beban Regulator Terlampau Berat
Membahas tentang beban regulator, salah satu yang sangat disoroti adalah beban hak penyelenggaraan (BHP) jaringan. Industri saat ini mengakui keberatan dengan jumlah saat ini. Jika ditelisik beban ini telah melonjak drastis selama selama satu dekade terakhir.
Melansir data yang dihimpun Forbil Institute Yogyakarta bekerja sama dengan Tritech Consult Bandung menunjukkan tren BHP yang yang dikeluarkan empat operator telekomunikasi besar RI yakni Telkomsel, Indosat, XL, dan Smartfren terus meningkat.
Beban yang dikeluarkan pada 2022 terhitung sudah melonjak nyaris tiga kali lipat menjadi Rp19,3 triliun dibandingkan pada 2013 sebesar Rp6,9 triliun. Tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) beban BHP juga cukup tinggi mencapai 12,10%.
Dari data di atas, jika dihitung lagi menurut komposisi beban BHP terhadap pendapatan. Ternyata juga menunjukkan lonjakan yang terus menerus selama 10 tahun. Pada 2022 nilainya mencapai 11,40%, nilai ini sudah di atas 10% yang dianggap tidak mendukung keberlanjutan industri.
Coleago Consulting, menyatakan nilai ideal BHP frekuensi terhadap revenue yang menjadikan industri tumbuh berkelanjutan adalah berada di bawah 5%. Untuk komposisi sekitar 5%-10% dianggap masih mendorong keberlanjutan industri. Namunl jika komposisi di atas 10%, maka akan dianggap sudah tidak mendukung keberlanjutan industri.
GSMA, asosiasi operator seluler global juga menyebutkan komposisi rata-rata BHP terhadap pendapatan ada di Asia Pasifik mencapai 8,7%, sementara secara global angkanya mencapai 7%. Jadi, beban BHP di Indonesia ini memang sudah terlampau tinggi, serta sudah masuk pada fase tidak mendukung industri.
5G di Depan Mata, Industri Butuh Penghitungan Spektrum Baru
Beralih lagi pada prospek pengembangan 5G, ini sebenarnya sudah di depan mata. Namun, harus kembali diingatkan bahwa untuk memenuhi itu diperlukan perhitungan spektrum yang berbeda dari sebelumnya.
Dian mengungkapkan BHP saat ini sudah dinilai memberatkan industri, jika dilanjutkan pada pengembangan 5G nampaknya operator tak akan mampu.
"Kalau kita masih implementasikan cara menghitung spektrum dengan cara 4G mungkin diantara saya, Telkomsel atau IOH enggak ada yang mampu. Karena memang kebutuhan bandwidth besar," terang Dian.
Dalam kesempatan yang sama, Dian juga mengutarakan keinginannya kepada Dirjen SDPPI Kementerian Kominfo, Ismail yang juga ada di panel yang sama. "Nanti untuk 5G perhitungannya bisa berbeda. Begitu ya Pak Ismail," ungkap Dian.
Ia pun juga mengaku senang saat Kementerian Kominfo menjawabnya dengan berkomitmen mengurangi beban regulatory charges.
Harapannya dengan adanya kebijakan baru atau insentif yang akan diberikan pada pelaku usaha untuk meringankan BHP ini, investasi terhadap pengembangan 5G bisa semakin digencarkan, sehingga kualitas internet kita bisa lebih meningkat yang tentunya akan memberikan dampak positif bagi berbagai industri.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)