
Pantas Internet di RI Masih Lelet, Ini Data dan Analisisnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Internet di Indonesia masih lelet. Beban biaya hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi yang ditanggung operator telekomunikasi terlampau tinggi. Akibatnya, perusahaan telekomunikasi sulit menggenjot investasi pembangunan infrastruktur internet yang lebih luas.
Melansir dari data Ookla, lembaga yang memperlihatkan kecepatan internet di sejumlah negara dunia. Pada Desember 2023, Indonesia menjadi negara yang punya kecepatan internet terlambat nomor dua di Asia Tenggara setelah Sri Lanka.
Untuk kategori mobile, internet Indonesia berada di peringkat 97 dari 148 negara dengan kecepatan 24,96 Mbps. Sementara untuk kategori internet fixed broadband menempati urutan 126 dari 178 negara tercatat, dengan kecepatan 27,76 Mbps.
Salah satu alasan yang membuat internet di Indonesia masih lelet adalah beban hak penyelenggaraan (BHP) frekuensi yang ditanggung operasional telekomunikasi RI terlalu tinggi.
Beban BHP yang dikeluarkan empat operator telekomunikasi besar RI yakni Telkomsel, Indosat, XL, dan Smartfren terus meningkat selama satu dekade terakhir (2013-2022).
Beban yang dikeluarkan pada 2022 terhitung sudah melonjak nyaris tiga kali lipat menjadi Rp19,3 triliun dibandingkan pada 2013 sebesar Rp6,9 triliun. Tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR) beban BHP cukup tinggi mencapai 12,10%.
Menelisik lebih dalam pada komposisi beban BHP terhadap pendapatan dari empat seluler besar Indonesia juga mengalami lonjakan selama 10 tahun terakhir. Pada 2022 bahkan mencapai 11,40%, nilainya sudah di atas 10% yang dianggap tidak mendukung keberlanjutan industri.
Hal tersebut didasarkan pada benchmark yang disampaikan Coleago Consulting yaitu komposisi biaya BHP frekuensi terhadap revenue yang akan menjadikan industri tumbuh berkelanjutan adalah berada di bawah 5%, sedangkan komposisi sekitar 5%-10% masih dapat mendorong keberlanjutan industri. Namun jika komposisi di atas 10%, maka akan dianggap tidak mendukung keberlanjutan industri.
Melansir dari data GSMA, asosiasi operator seluler global menyebutkan komposisi rata-rata BHP terhadap pendapatan di kawasan Asia Tenggara ada di 8,7%. sementara secara global angkanya mencapai 7%. Jadi, beban BHP di Indonesia ini memang sudah terlampau tinggi, serta masuk pada fase tidak mendukung industri.
BHP bengkak, investasi mandek
Untuk meningkatkan kecepatan internet tentunya infrastruktur telekomunikasi harus bisa diakselerasi lebih positif, terutama peningkatan teknologi melalui spektrum frekuensi 5G.
Menurut data GSMA, akselerasi jaringan 5G hingga kuartal III/2023 di Indonesia sudah berhasil tumbuh 54%, tetapi kontribusinya masih 19% saja dari total jaringan yang ada. Porsi yang masih kecil ini menjadi satu peluang operator telekomunikasi untuk ekspansi.
Sayangnya, untuk bisa mengakselerasi jaringan 5G ke seluruh wilayah Indonesia saat ini masih ada banyak tantangan yang perlu dihadapi.
Berdasarkan data dari Kominfo, besarnya kebutuhan alokasi frekuensi baru untuk layanan seluler akan disediakan untuk pita frekuensi 700 MHz sebesar 90 MHz, pita frekuensi 2600 MHz sebesar 190 MHz, pita frekuensi 3500 MHz sebesar 287.5 MHz dan pita 26 GHz sekitar 2400 MHz.
Jika dihitung dengan formula dan mekanisme seleksi saat ini, ada potensi industri seluler akan sangat terbebani dan tidak memiliki kemampuan untuk pembayarannya.
Adanya alokasi tambahan frekuensi baru untuk mendukung layanan 5G dan layanan lain (misalnya OTT) akan berdampak pada peningkatan beban BHP frekuensi bagi penyelenggara seluler, yang tentunya akan memberatkan dan dapat mengancam business sustainability industri.
Ancaman terhadap kelangsungan bisnis operator seluler mengacu pada beban BHP frekuensi yang terus naik potensinya tidak sebanding dengan peningkatan pendapatan yang membuat laba semakin tergerus.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn)