Beda dari Brasil-India, Bioetanol di RI Belum Masif, Ini Dia Pemicunya

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
02 April 2024 16:40
BBM Pertamax Green (RON 95) PT Pertamina (Persero) di SPBU Pertamina MT Haryono, Jakarta Selatan, Senin (24/7/2023). (CNBC Indonesia/Firda Dwi Muliawati)
Foto: BBM Pertamax Green (RON 95) PT Pertamina (Persero) di SPBU Pertamina MT Haryono, Jakarta Selatan, Senin (24/7/2023). (CNBC Indonesia/Firda Dwi Muliawati)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN), khususnya untuk jenis bioetanol, sebagai sumber energi alternatif dan ramah lingkungan di Indonesia masih memiliki tantangan dengan adanya pungutan bea cukai untuk produk etanol. Persoalan ini menjadikan biaya produksi yang belum efisien, khususnya untuk produk yang tidak memiliki karakteristik barang kena bea cukai. Di sisi lain, berbagai negara seperti Amerika Serikat, Brasil, dan India berhasil mengembangkan dengan adanya berbagai insentif dari pemerintah. 

Melansir situs Bea Cukai, cukai merupakan pungutan negara untuk barang yang memiliki sifat atau karakteristik tertentu sesuai peraturan yang ditetapkan undang-undang. Peraturan ini tertera dalam Undang Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.

Karakteristik Barang Kena Cukai

  1. konsumsinya perlu dikendalikan;

  2. peredarannya perlu diawasi;

  3. pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup;

  4. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Barang Kena Cukai

  1. etil alkohol atau etanol (EA):

  2. minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA);

  3. hasil tembakau, yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya.

Berdasarkan informasi tersebut, etanol memang termasuk barang kena cukai karena dari segi karakteristik dinilai memenuhi, termasuk pengendalian konsumsi, pengawasan peredaran, dan produk yang memiliki dampak negatif. Etanol dan minuman yang mengandung etanol termasuk dalam barang kena cukai, mengingat penggunaannya yang erat kaitannya dengan aktivitas negatif, seperti mabuk dan berhura-hura.

Namun, pengembangan bioetanol yang akan digencarkan RI saat ini yaitu untuk pengganti bahan bakar minyak, bukan untuk diminum atau dikonsumsi langsung ke tubuh manusia. Bahkan, penggunaan campuran bioetanol menjadikan bahan bakar menjadi lebih ramah lingkungan karena emisi bisa semakin ditekan, sehingga membawa dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Tak hanya itu, penggunaan bioetanol juga merupakan bagian dari diversifikasi energi, sehingga Indonesia bisa mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak.

Berikut penjelasan lengkap terkait pengenaan cukai terhadap produk etanol.

Pengecualian Cukai untuk Bioetanol

Pertamina Patra Niaga, Subholding Commercial & Trading Pertamina, mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk membebaskan cukai bagi bioetanol yang digunakan sebagai campuran Bahan Bakar Minyak (BBM). Pasalnya, pengenaan cukai berdampak pada harga jual bensin dengan campuran bioetanol ini menjadi lebih mahal.

Pertamina kini telah mencampurkan bioetanol 5% (E5), terutama yang berasal dari tetes tebu (molase), ke dalam BBM Pertamax (RON 92). Hasilnya adalah produk setara RON 95 atau dijual dengan merek Pertamax Green 95.

Direktur Utama Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan mengakui bahwa harga bioetanol untuk campuran BBM masih tinggi. Oleh karena itu, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan untuk membebaskan cukai bioetanol.

"Harga dasar dari etanol lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar. Namun, melalui koordinasi dengan Kementerian Keuangan, kami berusaha mendapatkan fasilitas bebas cukai untuk bioetanol yang digunakan sebagai campuran BBM," ungkap Riva kepada CNBC Indonesia, belum lama ini.

Pencampuran bioetanol dalam BBM juga merupakan dukungan perusahaan terhadap swasembada gula, sesuai dengan Peraturan Presiden No. 40 Tahun 2023. Riva menambahkan bahwa hal ini sejalan dengan upaya untuk mendukung pemerintah mencapai swasembada gula.

Jika bioetanol sebagai campuran BBM dapat bebas cukai, produksi BBM berkualitas yang ramah lingkungan dapat terus berlanjut. Pertamina berupaya menciptakan produk yang berkualitas, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha juga menyebutkan, salah satu kendala pengembangan bioetanol di dalam negeri yaitu adanya pungutan bea cukai untuk ethanol fuel grade.

Komisi VII DPR RI pun mengaku mendukung penghapusan pungutan bea cukai untuk produk etanol yang akan digunakan sebagai campuran BBM. Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno menyebut, pihaknya akan mendorong Kementerian Keuangan untuk menghapuskan bea impor untuk bioetanol sebagai bahan campuran BBM.

"Kita akan komunikasikan kepada Kementerian Keuangan untuk dukungan penghapusan bea impor," kata Eddy. 

Kisah Sukses Bioetanol di Sejumlah Negara

Berikut kisah sukses pengembangan bioetanol di sejumlah negara:

Brasil: Program ProAlcohol Bikin Brasil Jadi 'Raja' Biofuel Global

Brasil telah menjadi pelopor global dalam produksi dan implementasi biofuel. Program ProAlcohol yang dimulai pada 1975 telah berhasil meningkatkan pencampuran etanol hingga 27% pada tahun 2022. Fleksibilitas kendaraan bahan bakar, yang dapat menggunakan bensin atau etanol, mencapai hampir 90% dari total armada kendaraan ringan Brasil. Pada 2022, total pencampuran etanol mencapai 34% pada basis energi.

Untuk biodiesel, target pencampuran telah ditetapkan sejak 2005 dan meningkat menjadi 12% pada 2023, dengan target 15% pada 2026. RenovaBio, program biofuel Brasil, menetapkan target pengurangan intensitas gas rumah kaca sepanjang siklus hidup untuk sektor transportasi.

Melihat ke masa depan, Program Bahan Bakar Masa Depan yang diumumkan pada 2021 bertujuan untuk mendukung bahan bakar berkelanjutan dan rendah karbon. Program ini mengidentifikasi bahan bakar penerbangan berkelanjutan, etanol selulosik, dan CCUS (penangkapan, pemanfaatan, dan penyimpanan karbon) sebagai prioritas riset.

Amerika Serikat: Insentif Pacu Produksi Biofuel AS Jadi Terbesar di Dunia

Amerika Serikat menjadi produsen biofuel terbesar di dunia dengan 40% dari produksi global. Standar Bahan Bakar Terbarukan (RFS) yang diperkenalkan pada 2005 dan diperluas pada 2007 telah mendorong pencampuran etanol dan biodiesel secara nasional. Pada 2022, Amerika Serikat merilis Undang-Undang Pengurangan Inflasi (IRA) yang memberikan kredit pajak, hibah, dan insentif infrastruktur untuk biofuel hingga tahun 2032.

Kebijakan tingkat negara, seperti Standar Bahan Bakar Rendah Karbon California, memberikan insentif biofuel tambahan, terutama untuk bahan bakar dengan emisi gas rumah kaca lebih rendah. Produksi etanol mencapai 58 miliar liter pada tahun 2022, setara dengan hampir 7% dari permintaan bensin pada basis energi.

Meskipun begitu, tingkat pencampuran etanol telah mencapai batas sekitar 7% pada basis energi. Untuk meningkatkan tingkat pencampuran, dibutuhkan investasi infrastruktur yang kompatibel dengan campuran E15 dan otoritas hukum yang berlanjut untuk mencampur pada tingkat ini.

India: Kebijakan Nasional Dorong Produksi & Konsumsi Biofuel

India telah bergabung menjadi produsen dan konsumen biofuel utama berkat serangkaian kebijakan terkoordinasi, dukungan politik yang tinggi, dan kelimpahan feedstock alias bahan baku. Pada tahun 2018, India merilis Kebijakan Nasional Biofuel yang menetapkan target pencampuran etanol sebesar 20% dan biodiesel sebesar 5% pada tahun 2030. Kebijakan ini juga menetapkan harga jaminan, kontrak etanol jangka panjang, standar teknis, dan dukungan keuangan.

Dengan dukungan kebijakan ini, produksi etanol untuk pencampuran dalam produksi dan permintaan bensin hampir tiga kali lipat antara tahun 2018 dan 2023, mencapai sekitar 12% (7% pada basis energi). Gula tebu menyumbang sebagian besar produksi etanol, dengan sisanya berasal dari biji-bijian pangan seperti jagung dan stok beras berlebih yang ditentukan oleh Food Corporation of India.

Untuk mendiversifikasi feedstock di luar tebu, India memberikan harga terpisah untuk etanol berbasis jagung dan mencakup etanol yang diproduksi dari residu pertanian seperti tangkai kapas, jerami gandum, jerami padi, bagas, dan bambu. Memperluas armada kendaraan yang dapat menerima tingkat pencampuran etanol yang lebih tinggi akan memerlukan perhatian tambahan seiring India mengejar target pencampuran 20%.

India mendorong pengembangan kendaraan fleksibel dan retrofitting mungkin dilakukan untuk kendaraan yang lebih lama, termasuk sepeda motor. Selain itu, persyaratan pengukuran dan pelaporan gas rumah kaca akan membantu India memastikan dan meningkatkan pengurangan gas rumah kaca dari penggunaan biofuel di sektor transportasi.

Produksi biodiesel di India hanya mencapai kurang dari 1% dari permintaan diesel. India telah menetapkan target, persyaratan feedstock, dan inisiatif untuk mendirikan rantai pasokan minyak goreng bekas, dan perusahaan-perusahaan minyaknya telah mempublikasikan minat untuk biodiesel yang diproduksi dari minyak goreng bekas. Namun, produksi dan penggunaan biofuel tetap rendah, dan dukungan tambahan kemungkinan akan diperlukan untuk meningkatkan produksi dan penggunaan.

Kebijakan yang jelas dalam jangka panjang penting untuk menarik investasi yang mencakup paket mandat, insentif keuangan, dan target intensitas gas rumah kaca. Berbagai kebijakan ini diharapkan dapat menjadi acuan Indonesia dalam pengembangan bioetanol, khususnya terkait kebijakan insentif dari pemerintah.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected] 

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation