
Debat Cawapres Singgung EBT, Ini Deretan Konglomerat Raja Energi Hijau

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengembangan proyek energi baru terbarukan (EBT) menjadi salah satu topik panas yang dibahas dalam acara debat calon wakil presiden (cawapres) kedua pada Minggu (21/1/2024).
Gibran Rakabuming Raka, Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut dua menyebutkan potensi sumber EBT di Tanah Air yang luar biasa, potensinya bisa mencapai 3.686 gigawatt (GW).
"Potensi EBT juga luar biasa, ada energi surya, angin, air, bio energi, panas bumi, dan kita punya potensi yang besar sekali, yakni 3.686 GW," kata Gibran dalam "Special Debat Cawapres" yang disiarkan dari JCC, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
Lebih lanjut, menurut Gibran sumber energi ramah lingkungan tersebut diharapkan mampu meningkatkan perekonomian RI di masa mendatang.
Di lain sisi, Cawapres nomor urut satu, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menyoroti persoalan belum berlakunya pajak karbon yang potensi bisa menunda upaya negara dalam mewujudkan net zero emission pada 2060.
Target Bauran EBT Berubah Lebih Moderat
Baru-baru ini, pemerintah diketahui melakukan revisi Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN). Revisi tersebut mengubah target bauran EBT menjadi lebih moderat menyesuaikan pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dari perkiraan.
Melansir dari siaran pers yang diterbitkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Jumat (19/1/2024) menyebutkan Dewan Energi Nasional (DEN) menurunkan target bauran EBT pada 2025 menjadi 17% - 19%. Target tersebut jauh lebih rendah dari target bauran EBT yang sebelumnya ditetapkan di angka 23% pada 2025.
Jika ditelisik hingga akhir 2023, berdasarkan data DEN yang dirilis Kamis (18/1/2024) bauran energi terbesar masih dipegang batubara mencapai 40,46%, kemudian disusul minyak bumi sebanyak 30,18%, gas bumi 16,28%, dan EBT 13,09%.
Bauran EBT hingga akhir tahun lalu masih jadi yang terkecil diantara sumber energi lainnya. Secara pertumbuhan dibandingkan tahun sebelumnya masih positif, meningkat 0,79%. Namun, realisasi tersebut masih jauh di bawah target yang ditetapkan sebelumnya sebesar 17,87%.
Berdasarkan data di atas menunjukkan realisasi bauran EBT masih meleset dari target. Jadi, tak heran jika pemerintah baru-baru ini merevisi target ke depan lebih moderat.
Kementerian ESDM memaparkan alasan target bauran masih sulit dicapai lantaran ada peningkatan harga komoditas energi, seperti minyak mentah, gas alam, dan batu bara, yang menyebabkan subsidi energi semakin besar. Kemudian ada kendala teknis terkait pembangunan dan pembiayaan pembangkit listrik EBT.
Sekretaris Jenderal DEN, Djoko Siswanto juga menyebutkan alasan revisi target bauran EBT karena asumsi pertumbuhan RPP KEN sebelumnya dibuat berdasarkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%-8%, kemudian target supply-demand hanya sampai tahun 2060 dengan target EBT 23% di 2025 dan 31% pada tahun 2050.
Oleh karena itu, Djoko mengungkapkan perubahan di RPP KEN yang baru akan lebih menyesuaikan tingkat pertumbuhan ekonomi pasca-Covid yang berkisar di 4% - 5%, serta penyertaan energi nuklir sebagai EBT.
"Nuklir di dalam RPP KEN eksisting itu merupakan pilihan terakhir. Di dalam pembaruan KEN ini setara dengan energi baru terbarukan lainnya. Jadi, tidak ada lagi kata-kata menjadi pilihan yang terakhir," ujar Djoko dalam paparan Capaian Tahun 2023 dan Program Kerja Tahun 2024 Dewan Energi Nasional (DEN) di Jakarta, Rabu (17/1).
Selain itu, menurut Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan DEN, Yunus Saefulhak, asumsi terbaru ini sudah menyesuaikan dengan hitung-hitungan makro yang digunakan pemerintah sampai dengan Indonesia Emas 2045. Sebagai catatan, Revisi RPP KEN ditargetkan bisa selesai pada Juni mendatang.
Sejumlah Orang Terkaya RI Berburu Cuan dari Proyek EBT
Kendati bauran target direvisi, tetapi prospek pengembangan untuk menambah porsi EBT terus berlanjut. Hal ini juga menjadi angin segar bagi sejumlah emiten yang terafiliasi konglomerat RI yang gencar berburu cuan dari proyek EBT.
Prajogo Pangestu - PT Barito Renewables Energy Tbk
Konglomerat RI, Prajogo Pangestu menjadi salah satu yang paling kondang dalam ekspansinya ke bisnis energi ramah lingkungan melalui PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).
BREN baru tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun lalu dengan harga pelaksanaan Rp780 per saham. Saham ini menjadi cukup panas di kalangan pelaku pasar lantaran pernah melejit lebih dari 10 kali lipat dan sempat melengserkan kapitalisasi pasar PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) walau cuma sehari.
Beralih ke bisnis EBT, BREN ini mengelola pembangkit geothermal terbesar pertama dan ketiga di Indonesia dengan total kapasitas 886 megawatt (MW).
Garibaldi 'Boy' Thohir - PT Adaro Energy Tbk (Adaro Green)
Berikutnya, ada konglomerat Garibaldi "Boy" Thohir yang menaungi emiten produsen batubara yakni PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO). Kendati bisnisnya masih mayoritas di energi fosil, tetapi ADRO gencar merancang ekspansi ke bisnis energi hijau.
Proyek bisnis hijau dijalankan melalui pilar Adaro Green yang mewadahi segala bentuk energi terbarukan dan bersih. Salah satunya melalui pembangunan pembangkit energi tenaga surya dan hydro.
Selain itu, ada Adaro Minerals yang menaungi usaha ADRO untuk semua jenis mineral yang diperlukan. Salah satu yang dilakukan adalah membangun green industrial estate di Kalimantan Utara, di situ ADRO membangun alumunium smelter dengan kapasitas sekitar 500 ribu ton.
Grup Salim - Jadi Pemegang Mayoritas SP New Energy
Selanjutnya ada Grup Salim yang tak ketinggalan ikut berekspansi ke bisnis EBT. Beberapa waktu lalu, di bawah naungan Anthoni Salim diketahui mengucurkan dana sekitar US$ 427 juta atau sekitar Rp6,6 triliun (Asumsi kurs Rp15.500/US$) melalui Metro Pacific Investment Corporation (MPIC) untuk menjadi pemegang saham mayoritas perusahaan energi surya SP New Energy.
Sekitar 42% saham MPIC dimiliki oleh perusahaan manajemen investasi dan holding di bawah Anthoni Salim, First Pacific Co. Ltd. Adapun SP New Energy, perusahaan energy EBT asal Filipina tersebut telah menyelesaikan akuisisi sekitar 1,6 miliar saham yang setara dengan 16% saham awal.
Sebelumnya, pada 2011 lalu Grup Salim juga sudah masuk ke bisnis EBT dengan mendirikan PT Tamaris Hidro yang menggarap bisnis pembangkit listrik tenaga air dan mikrohidro.
Grup Sinarmas - PT Dian Swastatika Sentosa Tbk (DSSA)
Grup Sinar Mas yang dibesut konglomerat Eka Tjipta Widjaja juga ikut meramaikan bisnis EBT melalui PT Dian Swastatika Sentosa Tbk. (DSSA) dengan menekuni bisnis di segmen panas bumi (geothermal).
Ekspansi tersebut dimulai dengan pendirian PT Daya Mas Geopatra Energi (DMGE) yang memiliki entitas anak bernama PT Daya Mas Geopatra Parango (DMGP).
DMGE dikendalikan DSSA melalui salah satu entitas anak tidak langsung, PT Daya Sukses Makmur Selaras. Didirikan dengan modal awal Rp1 miliar pada Jumat (18/2/2022), manajemen DSSA mengatakan bahwa untuk saat ini pendirian DMGP tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap kinerja perusahaan.
Grup Astra - PT United Tractors Tbk (UNTR)
Selanjutnya ada Grup Astra melalui PT United Tractors Tbk. (UNTR) juga tak kalah bersaing menggarap peluang di sektor EBT. Ekspansi UNTR dilakukan melalui anak usahanya PT Energia Prima Nusantara (EPN) serta entitas asosiasi PT Arkora Hydro Tbk. (ARKO).
Yang terbaru, EPN juga baru saja menjalin kerja sama dengan PT Indonesia Comnets Plus (PLN Icon Plus) untuk mengembangkan implementasi PLTS untuk mendukung bertambahnya bauran EBT.
Selain itu, EPN telah mengikat perjanjian dengan PT Supreme Energy dengan menyerap 680.000 saham baru PT Supreme Energy Sriwijaya (SES) yang nilainya disepakati sebesar US$42,32 juta.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)