
Bursa Asia Rontok Berjamaah Karena China, Mana yang Paling Menderita?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Rabu (17/1/2024) kemarin terpantau berjatuhan, karena investor cenderung kecewa dengan data ekonomi China pada 2023 yang meleset dari ekspektasi.
Beberapa indeks acuan bursa Asia-Pasifik terpantau ambruk hingga 2%, bahkan ada yang anjlok hingga 3% lebih kemarin.
Berikut pergerakan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Rabu kemarin.
Indeks Hang Seng Hong Kong menjadi yang paling parah koreksinya kemarin yakni ambruk hingga 3,71% ke 15.276,9. Sedangkan Shanghai Composite China, KOSPI Korea Selatan, dan BSE Sensex India anjlok hingga 2% lebih.
Untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), saat perdagangan berlangsung, memang sempat ambles 1%. Namun di akhir perdagangan kemarin, IHSG berhasil memangkas koreksinya.
Sedangkan indeks VNI Vietnam menjadi yang paling baik kinerjanya karena hanya terkoreksi tipis 0,05%.
Banyak faktor yang membuat bursa Asia-Pasifik berjatuhan kemarin, mulai dari meningkatnya ketidakpastian terkait pemangkasan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed), pertumbuhan ekonomi China yang meleset dari ekspektasi pasar, dan makin panasnya ketegangan di Timur Tengah.
Khusus di China, perekonomiannya pada 2023 yang tidak sesuai ekspektasi membuat pasar cenderung kecewa sekaligus khawatir bahwa ketidakpastian masih cukup tinggi di 2024.
NBS melaporkan bahwa produk domestik bruto (PDB) China pada 2023 hanya tumbuh 5,2%.
Hal ini menjadi salah satu pertumbuhan tahunan terlemah di China dalam lebih dari tiga dekade terakhir. China sendiri saat ini masih berjuang melawan krisis properti yang melumpuhkan, lesunya konsumsi, dan gejolak global.
Angka ini muncul seiring PDB kuartal keempat yang sedikit di bawah ekspektasi. PDB selama tiga bulan terakhir tahun 2023 naik hanya 5,2%. Angka tersebut juga berada di bawah perkiraan jajak pendapat Reuters yakni sebesar 5,3%.
Hal ini tentunya juga menjadi kabar kurang baik bagi Asia, karena China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Asia dan mitra dagang terbesar Indonesia, sehingga lesunya ekonomi China tentu tidak menguntungkan Indonesia.
Sedangkan bagi Indonesia, lesunya ekonomi Negeri Tirai Bambu tersebut tidak menguntungkan karena China juga menjadi mitra dagang terbesar di Indonesia, sehingga ketika ekonominya masih lesu, maka China belum akan tertarik kembali untuk membelanjakan produk dari Indonesia.
Selain itu, adanya kekhawatiran pasar terkait ketidakpastian kapan The Fed mulai akan memangkas suku bunga acuannya juga membebani pasar saham di Asia-Pasifik kemarin.
Ketidakpastian muncul setelah beberapa pejabat The Fed berkomentar masih cenderung hawkish. Gubernur The Fed Christopher Waller mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk memangkas suku bunga acuan.
Beberapa pejabat The Fed mungkin berpikiran sama dengan Waller yang masih bernada hawkish. Apalagi, pertemuan The Fed bulan ini menjadi yang pertama kali diadakan pada 2024 dengan kondisi inflasi yang kembali memanas pada akhir tahun lalu dan pasar tenaga kerja masih ketat.
Sebagaimana diketahui,data inflasi konsumen (Consumer Price Index/CPI) AS periode Desember 2023.naik menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 3,1% pada November 2023.
Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI Negeri Paman Sam pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023.
Angka ini tentunya lebih tinggi dari konsensus pasar dalam Trading EconomicsĀ yang memperkirakan CPI AS pada Desember 2023 naik 3,2% (yoy) dan 0,2% (mtm).
Selain itu, pasar tenaga kerja juga masih cukup ketat lantaran pekerjaan yang dicatat di luar pertanian masih tinggi, mencapai 216.000. Angka ini di luar dugaan pasar yang memperkirakan bisa turun ke 170.000 pada Desember lalu. Ditambah juga, klaim pengangguran masih meningkat dan tingkat pengangguran masih berada di bawah 4%.
Dengan masih tingginya inflasi dan masih panasnya data tenaga kerja AS, membuat pasar khawatir bahwa pemangkasan suku bunga bakal tidak terjadi di Maret 2024. Bahkan, ekspektasi pasar akan turunnya suku bunga The Fed di Maret 2024 semakin menurun.
Perangkat CME Fedwatch menunjukkan pelaku pasar melihat kemungkinan 59,5% penurunan suku bunga pada Maret 2024. Hal ini lebih rendah dari ekspektasi pasar sehari sebelumnya yang mencapai 67%. Bahkan pada pekan lalu, ekspektasinya mencapai 79%.
Selain ekonomi China dan prospek pemangkasan suku bunga The Fed, ketegangan di Timur Tengah yang makin memanas juga membuat pasar makin khawatir akan tingginya ketidakpastian hingga tahun ini.
Konflik makin memanas setelah Houthi menyerang kapal komersial milik AS dengan rudal balistik pada Senin, menggarisbawahi risiko yang dihadapi salah satu jalur perdagangan terpenting di dunia.
Aksi ini merupakan balasan Houthi atas penyerangan AS dan Inggris kepada Yaman dan Houthi. Aksi balasan ini tentunya semakin membuat panas di kawasan tersebut.
Alhasil, ketidakpastian terkait memutarnya kapal-kapal ekspedisi dapat membuat harga-harga energi utamanya minyak mentah kembali naik dan biaya pengiriman makin membengkak.
Jika hal ini tidak dapat diminimalisir, maka bukan tak mungkin inflasi global makin sulit turun, dan berimbas dari berubahnya rencana bank sentral utama untuk mulai memangkas suku bunga acuannya pada tahun ini.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)