
Besok Diumumkan! Bukti Jokowi, RI Bisa Kalahkan China?

Jakarta, CNBC Indonesia - Surplus neraca perdagangan diproyeksi akan menyempit pada Desember 2023. Namun, Indonesia diperkirakan bisa mencatat surplus dengan China untuk pertama kalinya sejak 2007.
Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Desember 2023 sekaligus sepanjang periode 2023 pada Senin (15/1/2024).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada Desember 2023 akan mencapai US$ 1,95 miliar.
Surplus tersebut lebih rendah dibandingkan November 2023 yang mencapai US$ 2,41 miliar. Konsensus juga menunjukkan bahwa ekspor akan terkontraksi 8,82 % (year on year/yoy) sementara impor naik 0,74% pada Desember 2023.
Sebagai catatan, nilai ekspor November 2023 terkoreksi 8,6% (yoy) dan turun 0,7% (month to month/mtm) menjadi US$ 22 miliar. Nilai impor November naik 4,9% (yoy) dan menanjak 3,3% (yoy) menjadi US$ 19,59 miliar.
Ekspor diperkirakan melandai pada Desember 2023 seiring dengan melandainya harga komoditas. Sebaliknya, impor diperkirakan akan naik sejalan dengan permintaan Natal dan akhir tahun (nataru).
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz menjelaskan surplus akan mengecil karena ekspor jatuh sejalan dengan melandainya harga komoditas dan perlambatan manufaktur negara mitra dagang.
"Ekspor turun seiring harga (melandainya harga) komoditas seperti CPO dan aluminium. Impor naik sejalan aktivitas nataru, " tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.
Indonesia sangat menggantungkan ekspor kepada komoditas, terutama batu bara dan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO).
Berdasarkan catatan Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada Desember 2023 tercatat US$ 141,8 per ton. Harga tersebut sebenarnya naik dibandingkan November 2023 yang tercatat sebesar US$ 126,98 per ton tetapi jauh lebih rendah dibandingkan Desember 2022 (US$ 379,3 per ton).
Sementara itu, rata-rata harga CPO tercatat MYR 3.745,8 per ton. Harganya lebih rendah dibandingkan November 2023 yang tercatat MYR 3.859,55 per ton. Harganya juga jauh lebih rendah dibandingkan Desember 2022 yang tercatat MYR 3.966,9 per ton.
Sawit dan batu bara menyumbang ekspor sekitar 30% dari total ekspor Indonesia sehingga pergerakan harganya akan sangat menentukan ekspor.
Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro menjelaskan surplus akan melandai karena ekspor yang melemah.
"Aktivitas perdagangan mitra dagang dan dunia melemah. Impor menunjukkan peningkatan terutama untuk bahan mentah dan konsumsi sejalan dengan menguatnya ekonomi domestik," tutur Andry, kepada CNBC Indonesia.
Data aktivitas manufaktur mitra dagang utama Indonesia seperti Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan,India dan ASEAN ambruk berjamaah.
PMI Manufacturing India jatuh ke 54,9 pada Desember 2023, dari 56 pada November. PMI Amerika Serikat melandai ke 47,9 pada Desember 2023, dari 49,4 pada November 2023. PMI Jepang turun dari 47,9 pada Desember 2023 dari 48,3 pada November.
Indonesia Akhirnya Surplus dengan China?
Jika neraca dagang kembali surplus pada Desember 2023 maka Indonesia akan membukukan surplus selama 44 bulan beruntun. Hal itu akan menjadi prestasi bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pencapaian surplus di era Jokowi jauh melewati era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Surplus perdagangan pernah mencapai 42 bulan di era SBY yakni Oktober 2004 hingga Maret 2008.
Satu prestasi besar lain Jokowi yang bisa diukir Jokowi adalah pencapaian surplus dengan China dalam periode setahun. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia terakhir kali mencatatkan surplus tahunan dengan China pada 2007 atau 15 tahun lalu.
Bila melihat data Kementerian Perdagangan dan BPS, Indonesia masih membukukan surplus sebesar US$ 1, 45 miliar dengan China hingga November 2023. Artinya, Indonesia punya modal US$ 1,45 miliar untuk mencatat surplus sepanjang 2023.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan Januari-November 2022 yang tercatat defisit US$ 2,12 miliar. Artinya, Indonesia punya modal US$ 1,45 miliar untuk mencatat surplus sepanjang 2023.
Data BPS menunjukkan rata-rata ekspor dan impor RI dari dan ke China mencapai US$ 5-6 miliar per bulan. Sebelum era pandemi atau 2019, defisit bulanan ada di atas US$ 1 miliar. Kondisi ini berubah sejak era pandemi di mana China melakukan pengetatan besar-besaran yang ikut menggoyang ekonominya. Neraca dagang Indonesia vs China pasca pandemi secara bulanan tidak selalu defisit tetapi kadang mencatat surplus.
Khusus Desember, data 2019-2021 menunjukkan defisit dengan China biasanya melonjak hingga US$ 1 miliar. Sebaliknya, pada Desember 2022, Indonesia mampu membukukan surplus tipis US$ 17,2 juta.
Setelah Indonesia menandatangani perjanjian bebas dagang dengan China melalui ACFTA (ASEAN-ChinaFree Trade Area). ACFTA berlaku 10 tahun atau pada 2014 atau bertepatan dengan tahun terakhir kepemimpinan presiden SBY. Nilai perdagangan Indonesia dan China melonjak menjadi US$ 48,23 miliar dengan ekspor sebesar US$ 17,61 miliar.
Sejak Jokowi memimpin hingga 2021, nilai perdagangan Indonesia-China meningkat dua kali lipat lebih, dari US$ 48,23 miliar pada 2014 menjadi US$ 133,6 miliar pada 2023. Namun, era pasca ACFTA, defisit dengan China juga membengkak.dari US$ 7,25 miliar hingga pernah menembus puncaknya sebesar US$ 18,41 miliar pada 2018. Defisit terus mengecil setelah pandemi Covid-19 hingga menjadi US$ 1,88 miliar pada 2022.
Bila surplus memang terjadi pada periode 2023 maka Jokowi mampu memenuhi janjinya meskipun terlambat satu tahun dari keinginannya pada 2022.
Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, pada awal September 2022 optimis jika Indonesia akan mampu membukukan surplus pada akhir 2022
"Dari sini kelihatan neraca perdagangan kita dengan China yang dulu selalu minus, di 2014 sampai minus US$13 miliar, 2021 minusnya sudah US$2,4 miliar. Tahun ini (2022), kita pastikan sudah surplus dengan RRT, saya pastikan. Karena raw material yang tidak kita ekspor mentahan," kata Jokowi, dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia, Rabu (7/9/2022).
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)