Newsletter

Usai 2 Kabar Buruk dari AS, China Bisa Sebar Sentimen Negatif Hari Ini

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
12 January 2024 06:00
Bendera China dan Amerika Serikat (AS)
Foto: Bendera Amerika Serikat berkibar setengah tiang di US Capitol di Washington, DC, Kamis (8/9/2022) setelah meninggalnya Ratu Elizabeth II dari Inggris. (Photo by OLIVIER DOULIERY/AFP via Getty Images)
  • Pasar keuangan Indonesia ditutup beragam di mana IHSG melemah sementara rupiah menguat dan SBN kembali diincari investor
  • Wall Street ditutup beragam setelah data inflasi AS menunjukkan ekonomi AS kembali memanas
  • Inflasi AS, klaim pengangguran, dan inflasi China diperkirakan akan menggerakkan pasar hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Kamis (11/1/2024) kemarin kembali beragam, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau terkoreksi, sedangkan rupiah berhasil menguat, dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) mulai menurun.

Pasar keuangan hari ini diperkirakan akan melemah setelah inflasi Amerika Serikat (AS) kembali memanas pada Desember 2023. Selengkapnya mengenai sentimen penggerak pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin ditutup melemah 0,1% ke posisi 7.219,964. Padahal sepanjang perdagangan kemarin IHSG bergerak di zona hijau. Meski berakhir di zona merah, tetapi IHSG masih bertahan di level psikologis 7.200.

Nilai transaksi IHSG pada kemarin mencapai sekitar Rp 9 triliun dengan melibatkan 23 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 249 saham terapresiasi, 267 saham terdepresiasi dan 252 saham stagnan.

Secara sektoral, sektor konsumer primer menjadi pemberat IHSG kemarin, yakni sebesar 0,75%. Namun, sektor transportasi dan keuangan dapat menahan koreksi IHSG masing-masing 1,29% dan 0,91%.

Investor asing terpantau kembali membukukan aksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 675,09 miliar di pasar reguler pada perdagangan kemarin.

Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, secara mayoritas menguat. Namun sayangnya, IHSG tidak termasuk ke dalam bursa saham yang menguat. Selain IHSG, ada FTSE KLSE Malaysia, KOSPI Korea Selatan, dan SETi Thailand.

Sementara untuk indeks Nikkei 225 Jepang menjadi bursa saham yang paling kencang penguatannya kemarin yakni mencapai 1,77%.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Kamis kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin ditutup menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15.545/US$ di pasar spot, menguat 0,13% di hadapan dolar AS.

Di Asia-Pasifik, secara mayoritas juga menguat melawan The Greenback (dolar AS). Kecuali ringgit Malaysia yang kalah melawan The Greenback kemarin.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Kamis kemarin.

Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya berbalik menguat, terlihat dari imbal hasil (yield) yang berbalik melandai.

Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau turun 8,3 basis poin (bp) menjadi 6,649%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, maka tandanya investor sedang memburu SBN.

Untuk IHSG, pada perdagangan kemarin sempat bertahan di zona penguatan, bahkan sejak pembukaan perdagangan sesi I kemarin. Namun saatpre-closingberlangsung, IHSG langsung berbalik arah ke zona merah. Meski begitu, koreksi IHSG di akhir perdagangan kemarin masih cenderung tipis-tipis.

Investor kemarin cenderung wait and see menanti rilis data inflasi AS periode Desember 2023 atau akhir tahun 2023. Namun, ada kekhawatiran bahwa inflasi AS pada akhir 2023 berpotensi kembali naik akibat adanya kenaikan harga minyak mentah disebabkan adanya konflik di Timur Tengah.

Kondisi Laut Merah yang semakin memanas pun berpotensi memberikan dampak negatif terhadap inflasi. Semakin lamanya transportasi logistik dan barang, maka scarcity akan berpotensi terjadi di beberapa negara dan inflasi dapat mengalami kenaikan.

Hal ini menjadi penting mengingat jika inflasi AS berada lebih rendah di bandingkan ekspektasi pasar, maka probabilitas pemangkasan suku bunga akan menjadi lebih besar. Hal ini akan menjadi kabar baik bagi pasar keuangan global dan domestik.

Selain itu, data klaim mingguan AS untuk pekan yang berakhir 6 Januari 2024 juga dinanti oleh investor, karena dapat juga menentukan arah kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) berikutnya.

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street ditutup cenderung mendatar pada perdagangan Kamis kemarin waktu AS atau Jumat dini hari waktu Indonesia, karena rilis data inflasi yang lebih tinggi dari ekspektasi pasar dan tanda-tanda masih panasnya pasar tenaga kerja. Keduanya dapat mengurangi harapan penurunan suku bunga lebih awal oleh bank sentral AS tahun ini.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat tipis 0,04% ke posisi 37.711,02 dan Nasdaq naik tipis 0,529 poin ( 0,00%) ke 14.970,18. Namun untuk indeks S&P 500 berakhir turun tipis 0,07% menjadi 4.780,24.

Wall Street yang cenderung sideways di akhir sesi perdagangan Kamis terjadi setelah dirilisnya data inflasi konsumen (consumer price index/CPI) AS periode Desember 2023.

Berdasarkan data dari Biro Statisik AS, inflasi AS pada Desember 2023 naik menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 3,1% pada November 2023. Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI Negeri Paman Sam pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023.

Angka ini tentunya lebih tinggi dari konsensus pasar dalam Trading Economics yang memperkirakan inflasi AS pada Desember 2023 naik 3,2% (yoy) dan 0,2% (mtm).

Namun untuk inflasi inti AS periode Desember 2023, yang tidak termasuk harga pangan dan energi yang fluktuatif juga cenderung turun sedikit menjadi 3,9% (yoy), dari sebelumnya pada November 2023 sebesar 4%. Angka CPI inti juga lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 3,8%.

Kenaikan inflasi AS terjadi karena adanya seasonality natal dan tahun baru. Selain itu, memanasnya konflik di Timur Tengah yang turut menaikkan harga minyak mentah dunia juga berkontribusi menaikkan inflasi Negeri Paman Sam pada akhir 2023.

Di lain sisi, angka klaim pengangguran mingguan Negeri Paman Sam untuk periode pekan yang berakhir 6 Januari 2024 juga masih cukup panas.

Berdasarkan data dari Departemen Ketenagakerjaan AS, angka klaim pengangguran awal turun 1.000 menjadi 202.000 pada pekan yang berakhir 6 Januari lalu.

Ini merupakan level terendah sejak pertengahan Oktober. Angka tersebut juga lebih rendah dari ekspektasi pasar yang memperkirakan orang Amerika mengajukan klaim pengangguran sebanyak 203.000.

Hal ini menandakan bahwa sektor tenaga kerja di Negeri Paman Sam masih cukup panas, sehingga dapat merubah pandangan The Fed terkait pemangkasan suku bunga acuannya di tahun ini.

Angka inflasi terbaru ditambah dengan masih panasnya data tenaga kerja AS membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dapat lebih berhati-hati dalam merubah sikapnya menjadi lebih dovish, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.

Pada bulan lalu mereka menyatakan kemungkinan telah selesai menaikkan suku bunga, sehingga memicu perdebatan mengenai kapan mereka akan mulai menurunkan suku bunga acuannya.

Meski begitu, ekspektasi pasar terkait The Fed yang akan mulai menurunkan suku bunga pada Maret mendatang justru kembali meningkat, meski masih lebih rendah dari perkiraan pasar pekan lalu.

Berdasarkan perangkat CME FedWatch menunjukkan peluang The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) naik menjadi 71,8%, lebih besar dari peluang pada Rabu lalu yang mencapai 66,1%, tetapi masih lebih rendah dari peluang sebesar 79% pada pekan lalu.

Sementara itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) berbalik melandai setelah dirilisnya data inflasi konsumen pada akhir 2023. Yield US Treasury tenor 10 tahun yang merupakan acuan obligasi pemerintah AS turun 6,2 bp menjadi 3,968%.

Pada hari ini, pelaku pasar perlu mencermati sejumlah sentimen penggerak pasar hari ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Kembali memanasnya inflasi AS serta rendahnya klaim pengangguran dari AS diperkirakan akan menjadi sorotan utama pelaku pasar. kedua kabar tersebut bisa memberi sentimen negatif hari ini. Setelah data dari AS, investor akan mencermati data inflasi China yang keluar hari ini.

Adapun berikut sentimen pasar dari dalam dan luar negeri pada hari ini.

1. Inflasi Amerika Serikat

AS pada Rabu atau Kamis malam (11/1/2024) mengumumkan data inflasi konsumen (CPI)  periode Desember 2023. Inflasi Paman Sam pada akhir 2023 naik menjadi 3,4% secara tahunan (year-on-year/yoy), dari sebelumnya sebesar 3,1% pada November 2023.

Sedangkan secara bulanan (month-to-month/mtm), CPI Negeri Paman Sam pada Desember 2023 juga naik menjadi 0,3%, dari sebelumnya sebesar 0,1% pada November 2023.

Angka ini tentunya lebih tinggi dari konsensus pasar dalam Trading Economics yang memperkirakan CPI AS pada Desember 2023 naik 3,2% (yoy) dan 0,2% (mtm). 

Namun untuk inflasi inti AS periode Desember 2023, yang tidak termasuk harga pangan dan energi yang fluktuatif juga cenderung turun sedikit menjadi 3,9% (yoy), dari sebelumnya pada November 2023 sebesar 4%. Angka CPI inti juga lebih tinggi dari ekspektasi pasar sebesar 3,8%.

Kenaikan inflasi AS terjadi karena adanya seasonality Natal dan tahun baru. Selain itu, memanasnya konflik di Timur Tengah yang turut menaikkan harga minyak mentah dunia juga berkontribusi menaikkan inflasi Negeri Paman Sam pada akhir 2023.

Setelah dirilisnya data inflasi konsumen AS semalam, pada malam hari ini giliran data inflasi produsen (PPI) AS periode Desember 2023 yang akan dirilis pada hari ini, Jumat (12/1/2024).

Konsensus pasar dalam Trading Economics memperkirakan PPI pada Desember 2023 diprediksi naik menjadi 0,1% (mtm) dan 1,3% (yoy), dari sebelumnya pada November 2023 sebesar 0% (mtm) dan 0,9% (yoy).

Adapun PPI inti diperkirakan juga naik menjadi 0,2% (mtm) dan 1,9% (yoy) pada Desember 2023, dari sebelumnya sebesar 0% (mtm) dan 2% (yoy) pada November 2023.

Angka inflasi terbaru AS kemungkinan akan membuat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) lebih berhati-hati dalam menyatakan kemenangan dalam perjuangan melawan inflasi, karena hingga saat ini inflasi AS masih belum mendekati target yang ditetapkan di 2%.

Namun, inflasi di negara dengan perekonomian terbesar di dunia ini telah turun tajam sejak mencapai puncaknya sebesar 9,1% pada Juni 2022, ketika perang di Ukraina menyebabkan biaya energi melonjak.

The Fed menanggapinya dengan menaikkan biaya pinjaman secara signifikan untuk mendinginkan perekonomian dan mengurangi tekanan harga.

Pada bulan lalu mereka menyatakan kemungkinan telah selesai menaikkan suku bunga, sehingga memicu perdebatan mengenai kapan mereka akan mulai menurunkan suku bunga acuannya.

Ekspektasi pasar terkait The Fed yang akan mulai menurunkan suku bunga pada Maret masih kencang meski masih lebih rendah dari perkiraan pasar pekan lalu.

Berdasarkan perangkat CME FedWatch menunjukkan peluang The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) naik menjadi 71,8%, masih lebih rendah dari peluang sebesar 79% pada pekan lalu. 

2. Klaim Pengangguran Mingguan Amerika Serikat

Tak hanya inflasi konsumen terbaru di AS, data klaim pengangguran mingguan untuk pekan yang berakhir 6 Januari 2024 juga telah dirilis Kamis malam (11/1/2024).

Berdasarkan data dari Departemen Ketenagakerjaan AS, angka klaim pengangguran awal turun 1.000 menjadi 202.000 pada pekan yang berakhir 6 Januari lalu.

Ini merupakan level terendah sejak pertengahan Oktober. Angka tersebut juga lebih rendah dari ekspektasi pasar yang memperkirakan orang Amerika mengajukan klaim pengangguran sebanyak 203.000.

Hal ini menandakan bahwa sektor tenaga kerja di Negeri Paman Sam masih cukup panas, sehingga dapat menahan The Fed terkait untuk memangkas suku bunga acuannya di tahun ini.

Proyeksi peningkatan klaim pengangguran ini memang berdampak buruk bagi pasar tenaga kerja, akan tetapi bagi keseluruhan ekonomi AS dan prospek inflasi ini berdampak positif lantaran semakin mendukung kondisi pasar tenaga mendingin yang memicu inflasi melandai. 

3. Inflasi China

Setelah data inflasi AS yang mengecewakan, China juga diperkirakan memberi kabar buruk soal inflasi hari ini. Pada hari ini, Jumat (12/1/2024), China akan merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) pada akhir 2023 atau Desember 2023. Rilis data ekonomi China ini sangat penting dicermati pelaku pasar, pasalnya China merupakan penopang ekonomi Asia, serta mitra dagang ekspor dan impor terbesar RI.

Indeks Harga Konsumen (IHK) China untuk periode Desember 2023 diperkirakan masih akan turun atau mengalami deflasi lebih dalam sebesar 0,7% (yoy), lebih dalam dibandingkan deflasi pada November 2023 sebesar 0,5%.

Deflasi China menunjukkan kondisi ekonomi negeri Tirai Bambu tersebut masih cukup lesu. Ini terjadi lantaran efek pandemi Covid-19 yang masih menyelimuti negara tersebut serta krisis sektor properti yang belum usai.

Deflasi yang terjadi di China ini juga menyebabkan prospek perdagangan ekspor-impor terganggu. Untuk impor China pada Desember 2023 yang akan rilis pada Jumat diperkirakan masih akan terkontraksi sebesar -0,5% yoy, menurut penghimpun data Trading Economics.

Di lain sisi, untuk ekspor China pada Desember 2023 diproyeksi akan ada perbaikan dengan pertumbuhan sekitar 0,9% yoy, dibandingkan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 0,5% yoy.

Dengan begitu, neraca perdagangan China di akhir tahun 2023 diperkirakan bisa membaik atau meningkat ke US$ 76 miliar, dibandingkan bulan November 2023 sebesar US$ 68,39 miliar.

China adalah motor utama ekonomi Asia, mitra dagang terbesar bagi Indonesia, serta salah satu investor asing terbesar di Indonesia. Lesunya ekonomi China tentu menjadi kabar buruk bagi Indonesia.

4. Pertumbuhan Ekonomi Inggris

Di Inggris, data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) periode November 2023 diprediksi akan meningkat, namun tidak cukup kuat untuk mencegah risiko resesi pada akhir tahun 2023.

Konsensus pasar memprediksi PDB Inggris pada November 2023 naik menjadi 0,2%, setelah berkontraksi 0,3% pada Oktober 2023. Hal serupa akan diperlukan pada Desember untuk mencegah Inggris memenuhi definisi teknis resesi.

Sementara itu, para pengambil kebijakan bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) berjuang antara prospek ekonomi yang rentan dan tekanan harga yang tinggi.

Gubernur BoE, Andrew Bailey menegaskan kembali dalam kesaksiannya di depan Komite Treasury Inggris pada Rabu lalu bahwa membawa inflasi ke target 2% sangatlah penting.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data transaksi berjalan Jepang periode November 2023 (06:50 WIB),
  2. Rilis data inflasi China periode Desember 2023 (08:30 WIB),
  3. Rilis data neraca perdagangan China periode Desember 2023 (08:30 WIB),
  4. Rilis data pertumbuhan ekonomi Inggris periode November 2023 (14:00 WIB),
  5. Rilis data neraca perdagangan Inggris periode November 2023 (14:00 WIB),
  6. Rilis data produksi industri Inggris periode November 2023 (14:00 WIB),
  7. Rilis data inflasi produsen Amerika Serikat periode Desember 2023 (20:30 WIB).

 

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. RUPS Luar Biasa PT Mineral Sumberdaya Mandiri Tbk (10:00 WIB),
  2. RUPS Luar Biasa PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (14:00 WIB).
  3. RUPS Luar Biasa PT KDB Tifa Finance Tbk (14:00 WIB),
  4. RUPS Tahunan dan Luar Biasa PT HK Metals Utama Tbk (14:00 WIB),

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(chd/chd) Next Article Pekan Sibuk Sebelum Mudik: RI-China-AS Bakal Beri Kabar Super Penting

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular