Newsletter

Dunia Menanti Inflasi Amerika di Tengah Panasnya Konflik Laut Merah

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Kamis, 11/01/2024 06:00 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam di mana IHSG menguat tetapi rupiah melemah
  • Wall Street kompak menguat di tengah sikap wait and see pelaku pasar menunggu data inflasi AS
  • Data inflasi dan tenaga kerja AS serta memanasnya situasi Laut Merah bisa menjadi sentimen penggerak pasar hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Rabu (10/1/2024) kemarin kembali bervariasi, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau menguat, sedangkan rupiah berbalik melemah, dan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) melanjutkan kenaikan.

Pasar keuangan Indonesia diharapkan kompak menguat di tengah wait and see pelaku pasar menunggu data inflasi Amerika Serikat (AS). Selenegkapnya mengenai sentimen pasar hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin ditutup menguat 0,38% ke posisi 7.227,297. Sebelum bergerak di zona hijau, IHSG sempat dibuka terkoreksi, namun beberapa menit setelah dibuka IHSG langsung rebound. Meski berhasil bangkit, tetapi IHSG masih bertahan di level psikologis 7.200.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 9 triliun dengan melibatkan 18 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,4 juta kali. Sebanyak 273 saham menguat, 243 saham melemah, dan 249 saham stagnan.

Secara sektoral, sektor kesehatan menjadi penopang terbesar IHSG pada perdagangan kemarin, yakni mencapai 1,52%. Selain kesehatan, sektor infrastruktur juga menjadi movers IHSG yakni sebesar 1,37%

Investor asing terpantau masih mencatatkan aksi beli bersih (net buy) hingga kemarin, namun jumlahnya mulai berkurang. Asing mencatatkan net buy sebesar Rp 22,92 miliar di pasar reguler pada perdagangan kemarin.

Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, IHSG menjadi posisi runner up terbaik setelah indeks Nikkei 225 Jepang dan sama seperti indeks BSE S&P India.

Sementara dari indeks saham Asia-Pasifik yang melemah, indeks PSEi Filipina menjadi yang paling parah koreksinya kemarin.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Rabu kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin ditutup berbalik melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15.565/US$ di pasar spot, melemah 0,32% di hadapan dolar AS.

Di Asia-Pasifik, rupiah menjadi yang terburuk kedua kemarin, setelah peso Filipina dan di atas yen Jepang. Secara mayoritas, mata uang Asia-Pasifik juga melemah. Hanya yuan China, ringgit Malaysia, rupee India, dan won Korea Selatan yang mampu melawan The Greenback.

Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Rabu kemarin.

Adapun di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya kembali melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali mengalami kenaikan.

Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 0,4 basis poin (bp) menjadi 6,732%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.

Rupiah yang kembali melemah dan yield SBN yang masih melanjutkan kenaikan di tengah adanya kabar yang kurang menggembirakan dari global, di mana Bank Dunia dalam laporan terbarunya 'Global Economic Prospects January 2024' memperkirakan ekonomi global akan melambat ke 2,4% pada tahun ini dibandingkan 2,6% pada 2023.

Ekonomi dunia diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 2,7% pada 2025, proyeksi tersebut lebih rendah dibandingkan pada Juni lalu yakni 3,0%.

Pertumbuhan sebesar 2,6% pada 2023 juga akan menjadi yang terendah dalam 50 tahun, di luar resesi global saat pandemi. Bank Dunia juga menyebut ini adalah kali pertama mereka memperkirakan pertumbuhan ekonomi terus melandai selama tiga tahun beruntun.

Bank Dunia juga mengingatkan adanya risiko besar untuk pertumbuhan ke depan dari konflik di Timur Tengah, gangguan di pasar komoditas, mahalnya ongkos pinjaman, bengkaknya utang, melandainya ekonomi China, inflasi yang masih tinggi, serta perubahan iklim yang ekstrim.

Sementara untuk Indonesia, Bank Dunia mempertahankan proyeksi pertumbuhan untuk tahun ini di angka 4,9%. Namun, mereka memangkas proyeksi 2025 menjadi 4,9%, dari 5,0% pada proyeksi Juni lalu.

Bank Dunia bahkan mengingatkan jika Indonesia tidak akan lagi mendapat berkah lonjakan harga komoditas untuk tahun ini dan depan. Seperti negara Asia, Indonesia juga akan terimbas oleh melandainya ekonomi China.


(chd/chd)
Pages