
Dunia Menanti Inflasi Amerika di Tengah Panasnya Konflik Laut Merah

Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa Wall Street berhasil ditutup menguat pada perdagangan Rabu kemarin atau Kamis dini hari waktu Indonesia meski penguatannya cenderung terbatas karena investor masih menanti rilis data inflasi, klaim pengangguran mingguan, dan perilisan kinerja keuangan emiten bank-bank raksasa di AS.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,45% ke posisi 37.695,73, S&P 500 bertambah 0,57% ke 4.783,45, dan Nasdaq Composite berakhir terapresiasi 0,75% menjadi 14.969,65.
Saham-saham raksasa teknologi kembali menopang Wall Street utamanya S&P 500 dan Nasdaq semalam, dengan saham Microsoft, Meta Platforms, dan Nvidia menjadi penopang terbesar pada indeks S&P 500, karena imbal hasil (yield) benchmark US Treasury tenor 10 tahun bertahan mendekati 4%.
Meski begitu, penguatan Wall Street juga masih cenderung tertahan karena investor masih memasang mode wait and see menanti rilis data inflasi konsumen (Consumer Price Index/CPI) AS periode Desember 2023.
CPI AS pada akhir 2023 diproyeksi akan ada peningkatan tipis akibat seasonality natal dan tahun baru. Dalam basis tahunan (year-on-year/yoy), konsensus pasar menargetkan inflasi akan tumbuh sebesar 3,2% yoy, lebih rendah dibandingkan November 2023 yang tumbuh 3,1%.
Sementara itu, untuk inflasi inti AS diperkirakan tumbuh melandai sebesar 3,8% yoy, dibandingkan sebulan sebelumnya yang tumbuh 4% yoy.
Investor akan melihat laporan tersebut untuk mencari petunjuk kapan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mulai menurunkan suku bunganya.
Tak hanya inflasi konsumen terbaru di AS, data klaim pengangguran mingguan AS untuk pekan yang berakhir 6 Januari 2024 juga akan dirilis malam hari ini waktu Indonesia.
Diproyeksikan, klaim pengangguran per 6 Januari 2023 meningkat ke 210.000, dibandingkan pekan sebelumnya sebanyak 202.000 klaim.
Proyeksi peningkatan klaim pengangguran ini memang berdampak buruk bagi pasar tenaga kerja, akan tetapi bagi keseluruhan ekonomi AS dan prospek inflasi ini berdampak positif lantaran semakin mendukung kondisi pasar tenaga mendingin yang memicu inflasi melandai.
Tentunya, data klaim pengangguran juga ditunggu-tunggu oleh pelaku pasar di global, karena dapat juga menentukan arah kebijakan moneter The Fed berikutnya.
Di lain sisi, salah satu pejabat The Fed masih bernada hawkish. Presiden The Fed New York, John Williams mengatakan bahwa masih terlalu dini untuk menyerukan penurunan suku bunga karena The Fed masih memiliki jarak untuk mengembalikan inflasi ke target 2%.
Ekspektasi pasar terkait The Fed yang akan mulai menurunkan suku bunga pada Maret mendatang mulai kembali menurun dan tentunya lebih rendah dari perkiraan pasar pekan lalu.
Berdasarkan perangkat CME FedWatch menunjukkan peluang The Fed memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) turun menjadi 64,5%, dari sehari sebelumnya yang sebesar 66,3%. Peluang ini juga lebih rendah dari peluang pekan lalu sebesar 79%.
Sementara itu, pasar juga masih menunggu perilisan kinerja keuangan tahun 2023 emiten perbankan raksasa di AS pada Jumat pekan ini. Raksasa perbankan JPMorgan Chase, Bank of America, Citigroup, dan Wells Fargo diperkirakan akan melaporkan laba kuartal IV-2023 yang lebih rendah.
(chd/chd)