Newsletter

AS Beri Kabar Penting, Alarm Bahaya Ekonomi RI Mulai Menyala

Susi Setiawati, CNBC Indonesia
14 November 2023 06:00
ARGENTINA-INFLATION/
Foto: REUTERS/AGUSTIN MARCARIAN

Pelaku pasar perlu mencermati sejumlah isu dan sentimen penting pada perdagangan hari ini, Selasa (14/11/2023). Mayoritas indeks Wall Street yang melemah dikhawatirkan bisa menular ke pasar keuangan domestik. Terlebih, data-data ekonomi Indonesia mulai mengkhawatirkan.

Dari luar negeri, sentimen terbesar akan datang dari pengumuman inflasi Amerika Serikat (AS) untuk Oktober.

Inflasi AS Diproyeksi Melandai
As hari ini, Selasa (14/10/2023), akan merilis data inflasi periode Oktober 2023. Pelaku pasar memperkirakan inflasi AS akan melandai ke 3,3% (year on year/yoy) pada Oktober 2023 tetapi inflasi inti akan tetap berada di angka 4,1%.  Inflasi melandai sebagian besar disebabkan oleh moderasi harga energi.

Diketahui, inflasi AS pada  September 2023 tercatat 3,7% (yoy), turun tipis dibandingkan Agustus 2023 yang tercatat 3,7%.

Sementara itu, inflasi inti, ukuran kenaikan biaya yang tidak termasuk harga energi dan pangan karena volatilitasnya tercatat 4,1%. Artinya harga-harga naik lebih sedikit pada bulan September dibandingkan pada bulan Agustus, ketika harga bensin melonjak 10% dari bulan Juli.

Pemerintah mengatakan biaya tempat tinggal naik 7,2% dibandingkan tahun lalu. Hal tersebut merupakan alasan terbesar kenaikan tersebut, dan hal ini mencerminkan pertumbuhan harga rumah yang berkelanjutan, yang menurut beberapa pengukuran berada pada titik tertinggi sepanjang masa.

Data inflasi menjadi salah satu pertimbangan utama The Fed dalam menentukan kebijakan suku bunganya. The Fed menargetkan inflasi AS turun ke kisaran 2%. Inflasi telah mencapai titik tertinggi dalam 40 tahun pada Juni 2022 yang menembus 9,1% (yoy) dan secara umum telah melambat sejak saat itu.

Ekonomi RI Melambat, Perlukah Was-Was?

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memperkirakan perekonomian Indonesia hanya akan tumbuh 5,01% pada 2023. Proyeksi tersebut merujuk pada asumsi prognosa sesuai dengan Anggaran Tahunan Bank Indonesia (ATBI).
Pertumbuhan tersebut memang masih sejalan dengan proyeksi awal yakni 4,5-5,3% tetapi jauh dari target pemerintah yakni 5,3%  
Perry mengakui pertumbuhan ekonomi kuartal III jauh meleset dari perkiraannya yakni sekitar 5,15%. 

"Perkiraan kami masih bisa diasumsi prognosa ATBI adalah 5,01%," kata Perry saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (13/11/2023).

Perlambatan ekonomi domestik ini salah satunya disebabkan daya beli masyarakat yang mulai tertekan. Tingkat konsumsi rumah tangga pada kuartal III-2023 hanya sebesar 5,06% dari kuartal II yang mampu tumbuh hingga 5,22%. Perlambatan tercermin dari ambruknya penjualan mobil, ritel, hingga kredit perbankan.

Penjualan mobil Oktober tercatat 80.271 unit pada Oktober 2023, naik tipis 0,44% (/mtm) tetapi jeblok 13,9% (yoy).

Capaian ini menjadikan penjualan bulanan terendah ketiga sejak awal tahun 2023, setelah penjualan bulan Mei dan September. Yang tercatat masing-masing 58.981 unit dan 79.919 unit.

Secara keseluruhan, penjualan wholesales (pabrik ke dealer) mobil nasional turun 1,8% (yoy) menjadi 836.049 unit pada Januari-Oktober 2023.

BI  juga mencatat Indeks Penjualan Riil (IPR) Oktober sebesar 206,3, atau secara tahunan tumbuh 1,8% (yoy). Namun, secara bulanan, kinerja penjualan eceran kontraksi 1,5%.

Secara bulanan, penjualan eceran mengalami kontraksi 1,5% (mtm), setelah bulan sebelumnya tumbuh 0,4% (mtm).

Subkelompok sandang tercatat kontraksi sebesar 3,7%, diikutil oleh kelompok bahan bakar kendaraan bermotor yang turun 2,2%, suku cadang dan aksesori serta makanan, minuman dan tembakau yang kontraksi 1,6%.

Perlambatan juga terlihat dari pertumbuhan kredit perbankan yang hanya mencapai 8,96% (yoy) pada September 2023, dari 9,06% (yoy) pada Agustus 2023.



Tekanan ke Rupiah Berlanjut?

Dalam kesempatan yang sama, Perry mengungkapkan potensi masih akan terus tingginya tekanan nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah dalam jangka waktu yang panjang.

Menurut Perry, kondisi tersebut dipicu oleh munculnya fenomena baru, yakni term premia atau meningkat tingginya suku bunga US Treasury karena membengkaknya utang pemerintah AS untuk kebutuhan pemulihan Covid-19 dan pembiayaan perang.

Berdasarkan catatannya, imbal hasil US Treasury tenor 10 tahun telah meningkat sejak kuartal III-2023 menjadi 4,57% dari kuartal II sebesar 3,84%. Lalu pada kuartal IV naik pesat menjadi 5,16% dan baru turun pada paruh kedua 2024 menjadi 4,87%.

Akibat kondisi ini ia mengatakan, aliran modal dari negara-negara berkembang atau emerging market terus keluar menuju aset-aset likuid di negara maju, terutama dolar AS. Kondisi ini menyebabkan fenomena strong dollar.

Dampak rambatan dari tekanan kuat dolar tersebut, kata Perry sebetulnya masih terkendali terhadap rupiah ketimbang depresiasi mata uang negara-negara lain. Rata-rata pergerakan rupiah sepanjang tahun ini pun ia perkirakan di level Rp 15.280.

Berdasarkan data Perry, rata-rata nilai tukar rupiah pada kuartal IV-2023 akan bergerak di level Rp 15.755 dari sebelumnya pada kuartal III di kisaran Rp 15.215 per dolar AS. Pada 2024, berdasarkan asumsi Rencana Anggaran Tahunan Bank Indonesia (RATBI) 2024 sebesar Rp 15.510.

(saw/saw)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular