
Ringgit Sempat Hancur, Malaysia Mau Pakai Cara Ala Soeharto?

Jakarta, CNBC Indonesia - Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menyuarakan saran agar nilai tukar ringgit dipatok pada tingkat yang sama setelah mengalami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Praktek serupa sebelumnya telah diterapkan oleh Malaysia dan Indonesia hampir tiga dekade yang lalu pada Era Soeharto. Lantas, apakah mungkin Malaysia terapkan sistem pengendalian mata uang ala Soeharto?
Data dari Refinitiv mencatat bahwa ringgit telah mengalami pelemahan terburuknya pada Januari 1998, mencapai angka MYR4,79/US$. Baru-baru ini, ringgit Malaysia sempat kembali terdepresiasi 8,8% terhadap dolar AS menyentuh MYR4,79/US$ secara (Year to Date/YTD) pada 23 Oktober 2023. Pada penutupan perdagangan pekan ini, Jumat (10/11/2023), ringgit Malaysia menguat 0,34% dan ditutup pada posisi MYR 4,71/US$.
Ringgit mengalami penurunan signifikan, mencatatkan penurunan sebesar 1,46% pada Oktober 2023, 1,22% pada September, dan 2,88% pada Agustus. Penurunan nilai ringgit jauh lebih parah dibandingkan dengan rupiah (-1,05%) dan Bahth (-2,37%).
Tidak hanya itu, dua tahun terakhir ringgit juga telah terdepresiasi sebesar 3,58% pada 2021 dan 5,67% pada 2022. Anjloknya nilai ringgit berdampak pada aset-aset Malaysia tahun ini, terutama karena kenaikan suku bunga AS yang menarik dana kembali ke negara tersebut, yang merupakan ekonomi terbesar di dunia.
Bank Negara Malaysia (BNM) telah mempertahankan suku bunga utama sebesar 3% sejak Juli 2023, menghasilkan indeks yang berada pada rekor diskon hingga batas atas acuan bank sentral AS (The Fed). Sementara itu, pertumbuhan yang melambat di China, mitra dagang terbesar Malaysia, membebani sektor ekspornya.
Pembuat kebijakan Malaysia tetap berkomitmen untuk memastikan penyesuaian nilai ringgit dilakukan secara teratur, seperti yang diungkapkan oleh Gubernur Bank Negara Malaysia Abdul Rasheed Ghaffour pekan lalu.
Meskipun demikian, Mantan Perdana Menteri Dr. Mahathir Mohamad menyarankan agar negaranya mempertimbangkan kembali kebijakan mematok mata uangnya yang melemah terhadap dolar, mengulangi pendekatan yang pernah diterapkan saat Krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 1990-an.
Dalam wawancara pada hari Rabu (1/11/2023), Mahathir menyampaikan pentingnya pertimbangan terhadap hal ini, sementara Bank Negara Malaysia tidak memberikan tanggapan atas potensi patokan nilai ringgit pada hari Rabu.
Sejak awal tahun ini hingga 2 November 2023, ringgit Malaysia tercatat mengalami pelemahan sebesar 6,95%, sedangkan baht Thailand turun 3,84%, dong Vietnam mengalami depresiasi 2,99%, dan rupiah Indonesia melemah 0,8%.
Dengan penurunan nilai tukar ringgit menjadi yang terburuk di antara negara-negara berkembang di Asia tahun ini, Mahathir mengungkapkan kekhawatiran akan kemungkinan pelemahan lebih lanjut hingga mencapai level MYR5/US$. Ia menekankan potensi dampak negatif terhadap biaya hidup, sambil menyatakan keyakinannya bahwa mematok mata uang dapat membantu mengurangi tekanan inflasi.
Kebijakan Mahatir 1998
Kebijakan yang pernah diterapkan oleh Mahathir pada tahun 1998 selama Krisis Keuangan Asia, termasuk penolakan terhadap dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF), penerapan kontrol modal pada September 1998, dan penetapan patokan ringgit pada MYR3,8/US$, merupakan tindakan yang bertahan hingga tahun 2005.
Langkah-langkah tersebut melibatkan kebijakan nilai tukar tetap, fiskal ekspansif, dan suku bunga rendah, dengan fokus pada pengendalian arus modal. Pada saat itu, kebijakan ini diambil untuk mengatasi anjloknya nilai ringgit dan tekanan terhadap cadangan devisa negara.
Dengan penerapan kebijakan kontrol modal, pemerintah berupaya mencegah keluarnya ringgit ke luar negeri dan menggalang kembali dana yang berada di luar negeri untuk dikembalikan ke Malaysia. Pemerintah menetapkan batas waktu satu bulan sejak kebijakan kontrol modal diberlakukan pada awal September 1998, yang mengharuskan pemegang ringgit di luar negeri mengembalikan asetnya ke Malaysia.
Langkah lebih lanjut melibatkan larangan atas semua transaksi valuta asing yang terkait dengan ringgit di luar Malaysia. Warga negara asing diwajibkan mendepositokan ringgitnya ke lembaga perbankan dan tidak diperbolehkan menariknya selama satu tahun. Selain itu, warga negara Malaysia tidak diizinkan membawa ringgit melebihi nilai MYR1.000 ke luar negeri, dan mereka dilarang menjual ringgit lebih dari MYR10.000. Warga negara asing hanya diizinkan membawa atau menerima ringgit dari luar negeri dalam jumlah maksimal MYR1.000. Selain itu, kegiatan ekspor-impor juga dilarang menggunakan ringgit.
Langkah-langkah tersebut diambil karena pada waktu itu, nilai ringgit mengalami penurunan tajam, menambah tekanan pada cadangan devisa negara. Pada bulan Januari 1998, ringgit bahkan mencapai titik terendahnya, yakni sekitar MYR4,88/US$.
Meskipun IMF pada saat itu menyebut kebijakan nilai tukar ringgit sebagai "langkah mundur", kemudian mereka mengakui bahwa penstabilan nilai tukar ringgit merupakan faktor kunci dalam mendukung pemulihan ekonomi.
Kebijakan Kontrol Nilai Tukar ala Soeharto
Indonesia, mirip dengan Malaysia, juga menerapkan manajemen nilai tukar yang terkontrol pada era Soeharto. Pada periode 1970-1978, Indonesia menerapkan sistem nilai tukar tetap, sedangkan dari 1978-Juli 1997, Indonesia menggunakan sistem nilai tukar mengambang terkendali.
Sistem Nilai Tukar Tetap (1970-1978)
Sistem tersebut diimplementasikan sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1964, dimana Indonesia mengadopsi sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp250 per 1 US$, yang lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai Rp45/US$1. Selama periode ini, devisa juga dikendalikan secara ketat, di mana eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada bank devisa untuk kemudian dijual kepada pemerintah, dengan Bank Indonesia sebagai institusi yang terlibat.
Penerapan sistem pengendalian nilai tukar ini sering kali membuat rupiah menjadi overvalued, sehingga berdampak melemahkan daya saing produk Indonesia di pasar internasional. Pemerintah juga mengadakan tiga kali devaluasi selama periode tersebut. Salah satunya terjadi pada tanggal 17 April 1970, dengan kurs sebesar Rp378 per 1 US$, kemudian pada tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp415 per 1 US$, dan yang terakhir pada tanggal 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp625 per 1 US$.
Sistem nilai tukar mengambang terkendali (1978-Juli 1997)
Sistem tersebut mengizinkan nilai tukar rupiah untuk dipatok dalam skema floating atau mengambang terhadap sekeranjang mata uang dari negara-negara mitra dagang utama Indonesia. Pemerintah akan menetapkan kurs indikatif dan membiarkan nilai tukar berfluktuasi di pasar dengan spread tertentu. Upaya pemerintah untuk menjaga volatilitas rupiah melibatkan intervensi jika nilai tukar rupiah bergerak terlalu drastis di atas atau di bawah spread yang telah ditentukan. Sistem ini berakhir pada tahun 1997 setelah Krisis Moneter melanda Asia Tenggara.
Rupiah terus mengalami depresiasi yang signifikan, mencapai Rp2.650 per 1 US$ pada awal Agustus 1997. Pemerintah kemudian memutuskan untuk tidak lagi melakukan intervensi, beralih ke sistem nilai tukar mengambang bebas (flexible exchange rate). Krisis Moneter yang dimulai dari kebijakan Thailand yang meninggalkan nilai tukar tetap terhadap dolar AS pada Juli 1997 menjalar ke sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Krisis ini mengakibatkan penurunan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Dampaknya juga melibatkan lonjakan inflasi hingga mencapai 77%, sementara ekonomi mengalami kontraksi lebih dari 13%.
Indonesia harus menghadapi konsekuensi serius akibat Krisis Moneter 1997/1998, termasuk keruntuhan pemerintahan, krisis politik, dan kerusuhan sosial massal. Krisis ini bahkan merambah ke sektor politik dan sosial, mengakibatkan jatuhnya kepemimpinan Presiden Soeharto yang telah berlangsung selama 32 tahun.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)