Newsletter

Pasar RI Akan Dibuat Panas BI, Data Dagang-Pendaftaran Capres

Putra, CNBC Indonesia
Senin, 16/10/2023 06:00 WIB
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  •  Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil menguat selama pekan lalu; akan tetapi rupiah masih loyo di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
  •  Wall Street sanggup menghijau minggu lalu di tengah sentimen makro yang ada.
  •  Data neraca dagang, keputusan suku bunga Bank Indonesia (BI), perang Hamas vs Israel, serta pendaftaran capres-cawapres menjadi sentimen utama di pekan ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sukses naik selama pekan lalu, membalikkan posisi pada pekan sebelumnya yang terkoreksi. Berbeda, rupiah masih takluk terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sementara itu, imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) juga makin melandai,

Sepanjang pekan lalu, indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut menguat 0,56% secara point-to-point (ptp), lebih baik dari posisi pekan sebelumnya yang terkoreksi 0,74%. Kendati demikian, pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (13/10/2023), IHSG melemah oo,12% di posisi 6.926,79.

Selama sepekan, nilai transaksi IHSG mencapai Rp 42,7 triliun. Sayangnya, investor asing tercatat masih melakukan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp 100,74 miliar di seluruh pasar sepanjang pekan lalu.


IHSG yang nyaris mencetak penguatan selama lima hari beruntun sepanjang pekan lalu terjadi mengikuti pergerakan pasar saham global yang juga menghijau hampir sepanjang pekan lalu.

Namun, pada perdagangan Jumat akhir pekan lalu, pasar saham global melemah. Hal ini sepertinya investor mulai merealisasikan keuntungannya setelah selama empat hari beruntun menguat.

Di lain sisi, ketidakpastian kembali menghantui pasar di tengah memanasnya situasi di Timur Tengah akibat konflik Israel-Hamas dan masih memanasnya inflasi di Amerika Serikat (AS).

Konflik kedua negara tersebut pun sempat melambungkan harga minyak mentah dunia pada Senin pekan lalu, dan membuat saham-saham minyak di global bahkan di Indonesia pun mendapat 'berkah' dari kenaikan harga minyak mentah tersebut.

Timur Tengah memang memiliki sejarah panjang konflik dan ketegangan, yang seringkali memberikan dampak pada pasar global. Namun, penting untuk dicatat bahwa peristiwa geopolitik terbaru, seperti perang Rusia ke Ukraina sebelumnya, telah menunjukkan bahwa pasar keuangan dapat tetap kokoh meskipun adanya gangguan global yang signifikan.

Ketahanan ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa para investor lebih memprioritaskan faktor lainnya, seperti laju pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19, kebijakan moneter bank sentral negara utama, daripada konflik geopolitik.

Namun, pasar saham global termasuk IHSG penguatannya mulai terpangkas dan pada akhirnya melemah di perdagangan akhir pekan karena disebabkan oleh masih panasnya inflasi AS periode September 2023.

Inflasi yang dirilis pekan lalu untuk periode September 2023 di luar dugaan malah melaju kencang. Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi tumbuh 0,4%, sementara secara tahunan (year-on-year/yoy) tumbuh 3,7%. Angka tersebut meleset dari perkiraan yang proyeksi bisa tumbuh 0,3% (mtm) dan 3,6% (yoy).

Sementara untuk inflasi inti terpantau tumbuh 0,2% (mtm) dan 4,1% (yoy), masih jauh dari target bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) di 2%. Artinya, target tersebut rasanya sudah tidak mungkin untuk dicapai tahun ini, mengingat banyaknya tekanan eksternal terutama masalah pasokan yang ketat dan harga minyak naik akibat mencuat kembali masalah perang di Timur Tengah.

Kondisi pasar tenaga AS juga terpantau masih cukup ketat, dimana data klaim pengangguran mingguan naik ke 209.000 pekan lalu, lebih rendah dari ekspektasi yang proyeksi naik ke 210.000. Ditambah dengan data non farm payroll untuk September 2023 juga tak terduga naik ke 336.000, berbanding terbalik dari ekspektasi yang proyeksi turun ke 170.000, sementara tingkat pengangguran masih bertahan sama dari bulan sebelumnya sebesar 3,8%.

Di lain sisi, hasil risalah dari Federal Open Market Committee (FOMC) Minutes pekan lalu menunjukkan ada kemungkinan the Fed tetap hawkish tetapi ada perubahan fokus dimana saat ini akan seberapa lama bank sentral AS tersebut menahan era suku bunga tinggi dibandingkan sebesar besar suku bunga akan naik lagi.

Akan tetapi, mayoritas pengambil kebijakan menilai bahwa masih ada potensi satu kali menaikkan lagi suku bunga The Fed pada pertemuan mendatang. Walaupun beberapa pemangku kebijakan juga menilai sudah tidak perlu menaikkan lebih lanjut.

Perangkat FedWatch Tool menunjukkan hanya 14,96% pelaku pasar memperkirakan adanya kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada November mendatang. Angka ini turun dibandingkan hari sebelumnya yang mencapai 9,1%.

Sementara, nilai tukar rupiah dalam melawan dolar AS sudah mulai menguat selama 3 hari terakhir di pekan lalu dan semakin konsisten meninggalkan level Rp15.700/US$, akan tetapi secara mingguan masih harus rela ditutup melemah lagi.

Melansir data Refinitiv, mata uang Garuda pada pekan yang berakhir Jumat pekan lalu (13/10/2023) bertengger di Rp15.680/US$. Sementara secara mingguan, rupiah masih  melemah 0,48% terhadap dolar AS.

Pasalnya, mata uang Tanah Air ini sempat menguji posisi Rp15.730/US$ pada Selasa pekan lalu. Oleh karena itu, pelemahan pada minggu ini tetap melanjutkan tren ambruknya rupiah selama enam minggu terakhir.

Sentimen utama yang mendorong rupiah melemah pekan lalu adalah inflasi AS yang hasilnya lebih panas dari perkiraan.

Sementara itu, imbal hasil SBN tenor 10 tahun melandai dengan cepat pada pekan setelah terus menerus melambung. Imbal hasil melandai menjadi 6,78% pada Jumat pekan lalu dari 7,0% pada pekan sebelumnya.


(trp/trp)
Pages