
Cokelat RI Jadi Korban Petaka Bumi, Dunia Ikutan Ketar-Ketir

- El Nino akan terus terjadi dan ini merupakan kabar buruk bagi tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca.
- Setelah sebelumnya beberapa komoditas sudah menjadi korban seperti beras, gula, sawit, kini komoditas andalan Indonesia juga menjadi sasaran baru.
- Efek El Nino yang semakin intensif dan sering terjadi dapat mengurangi secara signifikan jumlah lahan subur untuk budidaya kakao.
Jakarta, CNBC Indonesia - El Nino akan terus terjadi dan ini merupakan kabar buruk bagi tanaman yang sangat sensitif terhadap perubahan cuaca. Setelah sebelumnya beberapa komoditas sudah menjadi korban seperti beras, gula, sawit, kini komoditas andalan Indonesia juga menjadi sasaran baru.
Cuaca ekstrem yang sering terjadi akibat El Nino dan perubahan iklim berdampak negatif terhadap produksi kakao. Suhu yang lebih panas dan perubahan pola curah hujan juga dapat merusak perkembangan buah kakao dan meningkatkan penyebaran hama dan penyakit.
Berdasarkan El Nino-Southern Oscillation Outlook terbaru, kejadian El Nino di dunia diperkirakan akan berlangsung hingga Januari hingga Maret 2024, dengan kemungkinan 71% akan meningkat pada November hingga Januari.
Efek El Nino yang semakin intensif dan sering terjadi dapat mengurangi secara signifikan jumlah lahan subur untuk budidaya kakao. Hal ini tidak hanya mengancam ketahanan pangan, namun juga membahayakan penghidupan para petani.
Produsen Kakao Terkemuka 'Ketar-ketir'
Kakao berasal dari biji pohon kakao dan merupakan bahan penting dalam pembuatan coklat. Tapi itu tidak hanya digunakan dalam makanan dan gula-gula. Cocoa butter, produk sampingan dari pengolahan kakao juga banyak digunakan dalam industri farmasi untuk produk perawatan kulit dan kosmetik.
Afrika menyumbang hampir 75% produksi kakao global, sedangkan Amerika termasuk Brasil dan Ekuador menyumbang 20%, menurut Organisasi Kakao Internasional. Asia-Pasifik memproduksi 5% sisanya, dengan Indonesia dan Papua Nugini menjadi produsen terbesar di wilayah tersebut.
Pantai Gading di Afrika Barat juga produsen kakao terbesar di dunia, menyumbang sekitar 44% dari produksi global, sementara negara tetangganya, Ghana, menyumbang sekitar 14%.
![]() Petani Kakao (Fikri Muhammad/CNBC Indonesia) |
Potensi Kakao Indonesia
Kakao sendiri merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional karena sebagai penyedia lapangan kerja, sumber devisa negara dan sumber pendapatan bagi petani.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan cukup pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Luas areal perkebunan kakao tahun 2001 tercatat sebesar 0.82 juta ha dan di tahun 2020 menjadi 1,53 juta ha atau meningkat sebesar 54,51%. Namun, jika dilihat dari periode berbeda perkembangan luas areal kakao Indonesia selama periode tahun 2013-2022 mengalami penurunan sebesar -1,80% per tahun
Perkebunan kakao menurut status pengusahaan dalam periode 10 tahun terakhir (2012-2021), sebagian besar dikelola oleh Perkebunan Rakyat (97,57%), 1,01% dikelola Perkebunan Besar Negara (PBN) dan sisanya 1,42% dikelola Perkebunan Besar Swasta (PBS).
Berdasarkan data BPS, produksi kakao di Indonesia sebanyak 667.300 ton pada 2022. Jumlah tersebut lebih rendah 3,04% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 688.200 ton.
Melihat trennya, produksi komoditas yang menjadi bahan baku cokelat tersebut mengalami tren menurun sejak 2019 hingga saat ini. Kondisi itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya pohon kakao yang sudah tua, sehingga tak lagi produktif. Adapun, Sulawesi Tengah menjadi provinsi yang paling banyak memproduksi kakao. Jumlahnya tercatat sebanyak 126.000 ton sepanjang tahun lalu.
Perkembangan produksi kakao Indonesia pada periode 2013-2022 juga berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan naik tipis sebesar 0,96% per tahun. . Pada tahun 2013 produksi kakao Indonesia sebesar 721 ribu ton kemudian tahun 2022 (estimasi Ditjen Perkebunan) menjadi sebesar 732 ribu ton.
Dari hasil estimasi Ditjen Perkebunan, produksi kakao tahun 2022 (732 ribu ton) akan naik 3,63% dibandingkan tahun 2021 (707 ribu ton). Produksi tertinggi selama periode tahun 2012-2021 terjadi pada tahun 2018 yaitu sebesar 767,28 ribu ton.
Hasil olahan dari kakao berupa coklat disukai hampir semua orang dari berbagai usia dan status sosial. Tingginya konsumsi cokelat juga didasari fakta bahwa cokelat bermanfaat pada kesehatan manusia. Salah satunya adalah mengurangi resiko penyakit jantung dimana cokelat, terutama cokelat hitam, memiliki kandungan zat flavanoid yang tinggi antioksidan untuk meminimalisir resiko penyakit jantung.
Berdasarkan data rata-rata produksi kakao selama lima tahun terakhir (2016-2020), terdapat sembilan provinsi sentra produksi kakao di Indonesia yang memberikan kontribusi hingga 86,75%.
Namun dari potensi ini, sayangnya Volume ekspor kakao Indonesia pada periode 10 tahun terakhir memiliki tren yang menurun dengan rata-rata -0,39% per tahunnya. Volume eskpor kakao tertinggi pada tahun 2013 (414 ribu ton) dan volume terendah pada tahun 2016 (330 ribu ton).
Volume impor kakao Indonesia secara nominal lebih rendah dari volume ekspornya, tetapi memiliki tren yang menaik sangat signifikan mencapai 29,70% setiap tahunnya.
Pada tahun 2011-2020, rata-rata pertumbuhan nilai ekspor kakao bernilai negatif sebesar -0,25% per tahun. Nilai ekspor kakao tertinggi dicapai pada tahun 2011 sebesar US$ 1,35 milyar. Sementara itu pertumbuhan nilai impor kakao pada periode yang sama jauh lebih tinggi menembus 21,45% per tahun, dengan nilai impor kakao tertinggi terjadi pada tahun 2019 sebesar US$ 776 juta.
Terakhir, yang harus diketahui bahwa Negara tujuan ekspor kakao Indonesia tersebar ke benua Amerika, Eropa dan Asia.
Negara tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Malaysia dengan volume ekspor rata-rata sebesar 124 ribu ton (31,20%) sepanjang tahun 2016-2020. disusul Amerika Serikat (14,84%), India (5,96%), dan RRT (5,53%). Negara tujuan ekspor lainnya dengan pangsa pasar kurang dari 5% adalah Belanda, Filipina, Jerman, Australia, Brazil.
Menurut Kementerian Pertanian, pangsa pasar lain yang masih terbuka lebar untuk dilakukan penetrasi pasar bagi komoditas olahan kakao adalah negara-negara di benua Afrika seperti Mesir yang memiliki minat terhadap cocoa powder asal Indonesia.
Kerugian Akibat Perubahan Iklim
Ketika suhu meningkat, semakin banyak area budidaya kakao yang cocok akan semakin meningkat pada tahun 2050, menurut Climate.gov, portal ilmu pengetahuan dan informasi perubahan iklim yang dijalankan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration.
Dengan meningkatnya ketinggian optimal untuk budidaya kakao, petani kakao mungkin terpaksa memindahkan panen ke tempat yang lebih tinggi.
"Petani kakao yang menghadapi keputusan penting mungkin akan mulai mencari daerah dengan dataran tinggi yang cuacanya lebih mendukung untuk penanaman kakao, atau beberapa mungkin memutuskan untuk meninggalkan budidaya kakao sama sekali," Kerry Daroci, pemimpin sektor kakao di Rainforest Alliance yang dikutip dari CNBC International.
Kerugian finansial akibat perubahan iklim bisa sangat merugikan, terutama karena produsen kakao terkemuka seperti Pantai Gading, Ghana dan Indonesia, rentan terhadap kondisi cuaca ekstrem.
Menurut laporan Economist Intelligence Unit, El Nino dengan intensitas tinggi dapat mengakibatkan gangguan ekonomi yang parah di seluruh negara yang terdampak. Pelaku usaha di sektor pertanian juga berisiko mengalami kenaikan harga bahan baku pertanian yang dapat meningkatkan biaya overhead.
Kerugian finansial akibat El Nino dan perubahan iklim masih belum dapat dihitung di Pantai Gading dan Ghana. Namun, karena keuntungan dari kakao mencakup 70% hingga 100% pendapatan produsen kakao di Ghana, penurunan hasil panen akan berdampak besar pada penghidupan mereka, kata Daroci dari Rainforest Alliance.
Produsen di Afrika Barat bukan satu-satunya yang terkena dampaknya. Di Indonesia, perubahan iklim mengurangi produktivitas sekitar 50%, menyebabkan kerugian sekitar US$ 666 per hektar, dan berdampak pada satu juta hektar.
Saat ini, harga kakao telah melonjak ke "premium tinggi," menurut Organisasi Kakao Internasional.
Pada akhir bulan Agustus, harga kakao berjangka ditutup pada US$ 3.730 per ton di London, dan US$ 3.633 per ton di New York, menurut data terbaru ICCO. Angka tersebut merupakan lonjakan sebesar 78% dari US$ 2.095 per ton di London pada tahun lalu dan peningkatan hampir 50% dibandingkan tahun lalu dari US$ 2.427 per ton di New York.
"Ini mewakili harga kontrak terdekat tertinggi untuk musim 2022/23," kata laporan tersebut. Harga kakao berada pada titik tertinggi dalam 50 tahun, menurut laporan Reuters.
Bagaimana Cara Adaptasi dan Mitigasinya?
Perubahan iklim bukanlah fenomena baru, namun dampak El Nino yang semakin intensif pada tahun ini menjadikan upaya untuk membendung dampak buruknya terhadap produksi kakao semakin mendesak. Artinya, Kita telah mencapai titik krisis iklim di mana pengurangan dampak buruk tidak lagi cukup.
Upaya adaptasi dan mitigasi pertanian merupakan salah satu cara untuk mengatasi ancaman iklim tertentu - namun hal ini memerlukan biaya yang besar.
Adaptasi iklim mengacu pada penyesuaian proses dan struktur untuk mencegah atau meminimalkan potensi kerusakan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Mitigasi melibatkan pengurangan dampak perubahan iklim dengan mengurangi emisi gas rumah kaca.
"Penelitian menunjukkan bahwa investasi dalam inisiatif ini harus meningkat tiga kali lipat pada tahun 2030 dan empat kali lipat pada tahun 2050, Hal ini akan menghasilkan total investasi hingga US$ 8,1 triliun seiring berjalannya waktu, dengan tingkat investasi tahunan sebesar $536 miliar di masa depan." kata Daroci seoranh analis yang dikutip dari CNBC International.
"Meskipun ada kebutuhan mendesak untuk berinvestasi pada solusi berbasis alam, masih terdapat kesenjangan pendanaan yang signifikan," tambahnya.
Secara terpisah, sebuah laporan oleh Badan Perlindungan Lingkungan , sebuah lembaga independen pemerintah AS yang bertanggung jawab atas masalah perlindungan lingkungan menggarisbawahi pendanaan sebagai tantangan utama dalam berinvestasi dalam adaptasi di Ghana mengungkapkan bahwa pemahaman tentang perubahan iklim di negara-negara penghasil kakao utama seperti Afrika Barat dan Indonesia masih sangat sederhana.
Selain itu, metode adaptasi sering kali tidak memberikan manfaat langsung, sehingga menghalangi lembaga keuangan untuk berinvestasi di bidang-bidang tersebut.
Modal sektor swasta dirasa dapat berperan penting dalam penerapan tindakan untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Dukungan dari sektor swasta ini dapat menjadi jembatan bagi pemodal utama untuk membangun ketahanan sektor ini.
Artinya, proyek dan inisiatif yang diselenggarakan oleh organisasi nirlaba juga dapat membantu meringankan beban keuangan petani kakao yang belajar beradaptasi terhadap perubahan iklim.
Rainforest Alliance, sebuah organisasi non-pemerintah, memulai proyek Pemulihan - atau Resilient Ecosystems and Transforming Rural Cocoa Economies, di Pantai Gading dan Ghana.
Proyek ini telah mengalokasikan dana sebesar US$ 7 juta untuk membantu 15.000 petani mengelola 50.000 hektar lahan pertanian, dan bertujuan untuk memperluas tutupan pohon di lanskap produksi kakao di kedua negara.
Meskipun tantangan yang dihadapi petani kakao semakin besar, mungkin ada sedikit penangguhan hukuman. Budidaya kakao mungkin berjalan lebih baik dari perkiraan tahun ini, karena curah hujan yang lebih tinggi mengurangi dampak peningkatan kekeringan akibat El Nino.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)