
Waspada! Perusahaan Zombie Jadi Beban Negara

Jakarta, CNBC Indonesia - Era suku bunga tinggi yang terjadi di berbagai negara pasca Covid-19, semakin memperbesar peluang munculnya perusahaan yang bermasalah dengan bunga kredit atau yang dikenal sebagai perusahaan zombie.
Dilansir dari CNN Indonesia, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan ada beberapa indikator perusahaan disebut zombie.
Pertama, perusahaan tersebut hanya mampu bertahan dengan mengandalkan utang. Perusahaan tersebut menerbitkan utang baru untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo. Kondisi itu setidaknya bisa dilihat dari rasio utang terhadap ekuitas atau modal (debt to equity ratio). Jika rasio utang terhadap ekuitasnya tinggi, maka perusahaan tersebut dapat dikatakan tidak sehat.
Kedua, perusahaan tidak memberikan profitabilitas dan kesulitan membayar utang jatuh tempo disaat suku bunga tinggi. Alhasil, negara turun tangan dalam bentuk bail out untuk memberi dana talangan, insentif pajak, hingga subsidi.
Secara sederhana, perusahaan zombie ditujukan pada perusahaan yang kinerja keuangannya terus merugi, operasional mandek, serta beban utangnya lebih tinggi daripada aset perusahaan.
Perusahaan zombie ini muncul selain karena suku bunga yang tinggi, daya beli masyarakat melemah, perubahan perilaku konsumsi, dampak pembatasan aktivitas ekonomi, termasuk kurangnya insentif dan investasi ekspansi usaha.
Bahkan Bhima menegaskan terdapat 19-20% perusahaan zombie yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Dana Moneter Internasional (IMF) telah memperingatkan Indonesia terhadap potensi timbulnya 'perusahaan-perusahaan zombie' di Indonesia, terutama pada sektor ritel, akomodasi, dan industri pengolahan.
"Rasio utang perusahaan memang terbilang rendah (38,4% dari Produk Domestik Bruto/PDB) tetapi analis kami menunjukkan perusahaan-perusahaan tersebut akan sangat sensitif terhadap dampak kenaikan suku bunga," ungkap IMF dalam laporannya, dikutip Sabtu (8/7/2023).
Berdasarkan catatan IMF, perusahaan yang rentan memiliki "risiko utang" dan memiliki Interest Coverage Ratio (ICR) atau rasio cakupan bunga kurang dari satu. Sementara ICR yang aman bagi perusahaan adalah dua kali.
Menurut data IMF, jumlah perusahaan dengan ICR di bawah satu atau yang memiliki risiko utang naik dari 21% menjadi 28% dari total perusahaan yang disurvei.
IMF mengungkapkan, kenaikan jumlah perusahaan dengan ICR rendah akan berdampak kepada perbankan yang menyalurkan kredit ke perusahaan tersebut. Dengan perkembangan ini, perbankan Indonesia terpaksa bergulat dengan dampak dari kenaikan suku bunga.
Sejauh ini, bank domestik telah meningkatkan loan loss provisions atau cadangan kerugian atas penurunan nilai kredit (CKPN) untuk menjamin risiko atas kehilangan aset dan menyeimbangkan portofolio obligasi pemerintah dari available for sale (AFS) menjadi hold to maturity (HTM) untuk mengurangi kerugian.
Pada 2022 saja disaat suku bunga mulai beranjak naik, setidaknya terdapat lima BUMN yang telah ditutup oleh pemerintahan Jokowi yang secara umum memiliki ekuitas negatif dan mengalami rugi bersih.
Sementara dilansir dari Reuters, perusahaan-perusahaan yang terlilit utang di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika menghadapi perebutan pembiayaan kembali senilai US$500 miliar pada paruh pertama tahun 2024, sebuah tantangan yang dapat mematikan banyak bisnis "zombie" meskipun perkiraan kenaikan suku bunga dapat memberikan sedikit keringanan.
Dunia usaha yang menghadapi kenaikan biaya utang setelah bertahun-tahun mengalami suku bunga rendah harus bersaing untuk mendapatkan cukup uang tunai dalam serbuan refinancing korporasi terbesar yang pernah terjadi selama bertahun-tahun, sama seperti bank yang mengendalikan risiko menjelang peraturan permodalan yang lebih ketat.
Analisis yang dilakukan oleh konsultan restrukturisasi Alvarez & Marsal (A&M) menunjukkan nilai pinjaman dan obligasi perusahaan yang jatuh tempo dalam periode enam bulan lebih tinggi dibandingkan periode setara lainnya antara sekarang dan akhir tahun 2025.
Krisis akan segera terjadi, kata pakar industri keuangan, dengan banyaknya perusahaan-perusahaan kecil dan lemah yang mencari pinjaman swasta baru dan kesepakatan utang pemerintah, pada saat biaya pinjaman pemerintah yang mempengaruhi suku bunga pinjaman melonjak secara global.
Kegagalan untuk mendapatkan uang tunai yang mereka butuhkan pada tingkat yang mampu mereka beli, dapat menyebabkan kebangkrutan dan PHK.
Kondisi di Inggris
Tanda-tanda kesusahan sudah terlihat. Data resmi terbaru dari Kantor Statistik Nasional Inggris menunjukkan tingkat kebangkrutan perusahaan di Inggris dan Wales mencapai 2.308 pada bulan Agustus, naik 19% dibandingkan tahun sebelumnya.
Laporan Red Flag triwulanan Begbies Traynor mengenai kesulitan perusahaan, yang mencakup periode April-Juni, menemukan bahwa 438.702 bisnis di seluruh Inggris berada dalam kesulitan yang "signifikan", naik 8,5% dibandingkan tahun sebelumnya
Sebagai informasi, bahkan salah satu bank besar merujuk 100 usaha kecil setiap bulan ke tim restrukturisasinya, naik sepuluh kali lipat dari 18 bulan lalu, kata Paul Kirkbright, direktur pelaksana praktik restrukturisasi A&M. Dia menolak menyebutkan nama bank tersebut.
Kondisi di Amerika Serikat
Dilansir dari Bloomberg.com, beberapa perusahan mengeluarkan pernyataan kebangkrutan pada Mei 2023 silam. Pengadilan AS menerima tujuh kebangkrutan pada rentang 14-20 Mei 2023. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sejak Februari 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)