
Rupiah Melemah Terus-Terusan, Awas! Emiten Ini Bisa Boncos

Jakarta, CNBC Indonesia -Nilai tukar rupiah makin ambruk akibat perkasanya dolar Amerika Serikat (AS). Dolar AS makin menguat seiring meningkatnya ekspektasi pasar mengenai kebijakan hawkish bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) ke depan.
Pelemahan rupiah terus menghantui pasar Indonesia dan berimplikasi pada banyak hal, terutama semakin besarnya beban perusahaan yang banyak mengimpor bahan baku serta memiliki utang dolar AS.
Pada perdagangan kemarin Selasa (3/10/2023) rupiah berakhir melemah 0,32% ke posisi Rp 15.575/US$ terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Dilansir dari Refinitiv, pagi ini, rupiah telah menembus level psikologis Rp15.600/US$ dan bahkan menyentuh angka Rp15.630/US$ atau melemah 0,35%.
DXY terpantau terus mengalami kenaikan khususnya dalam empat hari terakhir yang menguat secara konsisten dan signifikan. Pada 29 September tercatat DXY berada di angka 106,22 dan pada hari ini DXY berada di posisi 107,11 atau naik 0,83% dalam empat hari.
Pelemahan rupiah dapat berimbas negatif terhadap beberapa emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan tidak menutup kemungkinan akan berimbas terhadap pergerakan harga sahamnya ketika mencatatkan kerugian atas selisih kurs yang berefek pada penurunan kinerja perusahaan.
Emiten yang paling berdampak negatif terhadap pelemahan rupiah adalah emiten yang memiliki hutang besar dalam satuan dolar dan beban-beban yang dibayarkan dengan satuan dolar atau seringnya melakukan impor. Emiten di sektor kontraktor, otomotif, consumer goods dan telekomunikasi tercatat rentan terhadap pergerakan rupiah.
Beberapa emiten di sektor kontraktor dan properti rentan terhadap kenaikan dolar. PT Modernland Realty Ltd. Tbk (MDLN) per 30 Juni 2023 memiliki utang obligasi dalam dolar AS, jika dirupiahkan senilai Rp5,51 triliun rupiah. Selain itu MDLN juga memiliki beban bunga dalam dolar AS, jika dirupiahkan menjadi senilai Rp22,32 miliar dan beban lain-lain senilai Rp 4,9 miliar.
Emiten properti lainnya yakni PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) juga terdapat utang obligasi dalam dolar AS per 30 Juni 2023, jika dirupiahkan senilai Rp3,68 triliun.
PT Pakuwon Jati Tbk (PWON) juga tercatat memiliki utang usaha kepada pihak ketiga dalam dolar AS atau jika dirupiahkan senilai Rp1,3 triliun per 30 Juni 2023. Selain itu, PWON memiliki utang kepada pihak ketiga dalam dolar AS sebesar Rp1,66 miliar.
Group Lippo yakni PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) juga memiliki utang obligasi per 30 Juni 2023 senilai Rp6,4 triliun.
![]() Pergerakan DXY dan Saham |
Dari sektor otomotif yang paling rentan terhadap lemahnya rupiah yakni PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL). Emiten gacoan Lo Kheng Hong ini memiliki porsi utang lebih dari 50% dalam dolar AS yang tentunya akan mendapat dampak negatif dari penguatan dolar AS. Sedangkan sebagian besar penjualan GJTL dalam bentuk rupiah, sehingga eksposur dari nilai kurs dapat berpengaruh signifikan pada kinerja emiten produsen ban ini.
Utang lain-lain GTJL per 30 Juni 2023 dalam dolar AS atau jika dirupiahkan senilai Rp85juta, sedangkan utang usaha dalam dolar AS jika dirupiahkan senilai Rp669,23 miliar. Utang obligasi senilai Rp2,55 triliun.
Bukan hanya dua sektor tersebut, beberapa emiten di sektor consumer goods juga terdapat utang dalam dolar AS. Emiten yang paling terkenal produk mie instannya yakni Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).
ICBP memiliki utang obligasi per 30 Juni 2023 dalam dolar AS atau jika dirupiahkan senilai Rp41,32 triliun. Selain itu terdapat utang usaha ICBP dalam dolar AS senilai US$13,5 juta atau Rp203 miliar. Utang bukan usaha dalam dolar AS senilai US$13,97 juta atau Rp210 miliar dan utang jangka panjang dalam dolar AS senilai US$2,75 miliar atau Rp41,32 triliun.
Salah satu produsen produk Beng-Beng yakni PT Mayora Indah Tbk (MYOR) juga tercatat memiliki porsi utang dalam dolar AS. Pada laporan keuangan per 30 Juni 2023 tercatat MYOR memiliki utang usaha dalam dolar AS atau dirupiahkan senilai Rp2,66 miliar.
Beberapa emiten di sektor telekomunikasi juga terkenal dalam pembelian dalam dolar AS atau impor barang untuk mendukung berjalannya operasional Perseroan yakni PT XL Axiata Tbk (EXCL).
Pasalnya, pendapatan utama perusahaan dalam mata uang rupiah sedangkan belanja modal utama perusahaan dalam mata uang dolar AS. Perusahaan terutama rentan terhadap pergerakan kurs mata uang asing yang akan timbul terutama dari utang usaha grup dalam mata uang dolar AS.
Pada tanggal 30 Juni 2023, grup memiliki komitmen atas sejumlah pembelian untuk perluasan jaringan dengan nilai keseluruhan sebesar US$ 325,8 juta atau setara dengan Rp 4,89 triliun.
Begitu juga dengan PT Indosat Tbk (ISAT), per 30 Juni 2023, Grup mempunyai komitmen kontraktual atas pembelian barang modal sehubungan dengan pembelian peralatan telekomunikasi dan jasa terkait sebesar US$3.990 dan Rp9,61 triliun dengan jumlah barang dan jasa yang belum diterima sebesar US$2.586 dan Rp5,06 triliun Komitmen yang signifikan terkait pengeluaran barang modal dari PT Huawei Tech Investment ("Huawei"), PT Nokia Solutions and Networks ("Nokia"), PT Ericsson Indonesia ("Ericsson"), dan PT ZTE Indonesia.
Perusahaan telekomunikasi milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) juga memiliki utang usaha dalam valuta asing termasuk dolar AS pada laporan keuangan per 30 Juni 2023 senilai Rp2,15 triliun.
Ambruknya ruoiah membuat perusahaan-perusahaan yang banyak melakukan impor untuk bisnisnya akan semakin terbebani dalam melakukan pembiayaan. Dan hal tersebut akan membuat hutang perusahaan dalam dolar AS semakin tinggi. Hal ini tentunya akan menggerus penghasilan dari perusahaan atas selisih kerugian kurs.
Dalam jangka panjang akan berefek pada peningkatan beban, penurunan laba yang berakibat pada penurunan harga saham. Tentunya hal ini akan mendorong investor untuk mencari perusahaan lain yang lebih menguntungkan.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(saw)