
Satu Dekade OBOR China: Dunia Ikut Untung atau Buntung?

Jakarta, CNBC Indonesia - Belt and Road Initiative (BRI) menjadi ambisi besar pemerintahan China di bawah Presiden Xi Jinping. Selama satu dekade terakhir, Tiongkok telah menggunakan apa yang disebut Belt and Road Initiative (BRI) untuk menciptakan hubungan yang lebih baik melalui pinjaman infrastruktur besar-besaran. Hampir 150 negara telah berpartisipasi.
Belt and Road Initiative (BRI) dulu bernama proyek OBOR (One Belt One Road) adalah strategi pembangunan infrastruktur global yang diadopsi oleh pemerintah Tiongkok pada tahun 2013 untuk berinvestasi di lebih dari 150 negara dan organisasi internasional.
Sudah 10 tahun berjalan program tersebut berjalan dan berhasil dijalankan meski tidak semulus yang diharapkan Pemerintah Tiongkok. Investasi agresif Tiongkok di seluruh dunia telah membantu memperluas perdagangan dan pengaruh internasionalnya.
Namun inisiatif yang berfokus pada infrastruktur ini kehilangan kekuatan di tengah perlambatan ekonomi Tiongkok dan lonjakan gagal bayar yang dipicu oleh berbagai faktor, termasuk Covid-19. Negara ini kini tampaknya memikirkan kembali cara mereka berinvestasi di luar negeri, dan Presiden Xi Jinping berupaya meningkatkan profitabilitas proyek-proyek Belt and Road Initiative (BRI).
Perdagangan Tiongkok dengan peserta Belt and Road Initiative (BRI) tumbuh 76% dari 2013 hingga 2022, melampaui peningkatan perdagangan Tiongkok secara keseluruhan sebesar 51%, menurut badan bea cukai Tiongkok.
Pembiayaan dan investasi Belt and Road Initiative (BRI) stabil pada 2022 sebesar US$67,8 miliar di 147 negara, dibandingkan US$68,7 miliar pada 2021.
Sejak tahun 2013 hingga 2022, keterlibatan Belt and Road Initiative (BRI) secara kumulatif berjumlah US$962 miliar, kontrak konstruksi sekitar US$573 miliar, dan investasi non-keuangan sebesar US$389 miliar.
![]() |
Keterlibatan Belt and Road Initiative (BRI) Tiongkok tidak didistribusikan secara merata di seluruh wilayah. Negara-negara Belt and Road Initiative (BRI) di Asia Timur mengalami peningkatan investasi Tiongkok sebesar 151% dan peningkatan kontrak konstruksi sebesar 76% dan menjadi wilayah yang menjadi penerima dominan (34% dari total) keterlibatan Tiongkok.
![]() |
Fokus keterlibatan BRI di luar negeri Tiongkok tetap berada di bidang infrastruktur, khususnya energi (36%) dan transportasi (18%), yang meningkat dari nilai gabungan sebesar 60% pada tahun 2021.
Pada tahun 2022, khususnya sektor keuangan dan teknologi mengalami pertumbuhan keterlibatan yang signifikan masing-masing sebesar 3,450% dan 7,536% dibandingkan tahun 2021.
![]() |
Kemudian, data menunjukkan bahwa keterlibatan melalui investasi BRI meningkat secara signifikan pada 2022 dari rata-rata sekitar 25% pada 2013-2022 menjadi sekitar 46% pada tahun 2022. Logam dan pertambangan merupakan sektor investasi terbesar kedua bagi keterlibatan Tiongkok di negara-negara BRI.
Ikatan ekonomi yang lebih kuat dengan negara-negara berkembang juga memperkuat pengaruh Tiongkok di kancah internasional. Belt and Road Initiative (BRI) menjaga Tiongkok agar tidak terisolasi di dalam PBB.
Surplus perdagangan Tiongkok dengan negara-negara Belt and Road Initiative (BRI) juga meningkat. Angka tersebut mencapai total US$197,9 miliar pada tujuh bulan pertama 2023 dan berada di jalur menuju angka tertinggi baru dalam setahun penuh.
Surplus ini, yang mencakup sekitar 40% dari total surplus China, membantu Beijing mengurangi ketergantungan pada perdagangan dengan AS di tengah meningkatnya ketegangan bilateral.
Namun negara-negara Belt and Road Initiative (BRI) menghadapi defisit perdagangan yang meningkat, sementara harapan untuk meningkatkan akses ke pasar Tiongkok memudar.
Italia, yang pada tahun 2019 menjadi satu-satunya anggota negara maju Kelompok Tujuh (G-7)yang bergabung dengan inisiatif ini, mengalami defisit perdagangan dengan Tiongkok sebesar dua kali lipat dalam tiga tahun hingga tahun 2022.
Hingga Agustus 2023, terdapat 155 negara yang terdaftar sebagai anggota Belt and Road Initiative (BRI). Negara-negara yang berpartisipasi mencakup hampir 75% populasi dunia dan menyumbang lebih dari setengah PDB dunia.
Hasil Kerjasama Belt and Road Initiative (BRI)
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Wang Wenbin baru-baru ini menyoroti hasil nyata dari kerja sama Belt and Road Initiative (BRI). Selama dekade terakhir, inisiatif ini telah meletakkan dasar bagi sekitar 3.000 proyek kerja sama dan merangsang investasi sebesar US$1 triliun.
Proyek-proyek ini mencakup pembangunan pelabuhan, jalur kereta api, jalan raya, dan infrastruktur energi, yang berkontribusi terhadap peningkatan konektivitas dan pembangunan ekonomi di wilayah-wilayah yang berpartisipasi.
Fokus BRI pada pembangunan infrastruktur berdampak besar pada konektivitas global. Melalui pembangunan jalan baru, jalur kereta api, dan pelabuhan, inisiatif ini telah memfasilitasi transportasi barang dan manusia yang lebih efisien di wilayah yang luas. Peningkatan konektivitas ini tidak hanya mengurangi biaya transportasi tetapi juga membuka jalur perdagangan baru, mendorong pertumbuhan ekonomi dan integrasi regional.
BRI telah memperluas jangkauannya ke Eropa melalui China-Europe Railway Express, yang menghubungkan kota-kota di Tiongkok ke berbagai tujuan di Eropa. Jaringan kereta api ini telah mengurangi waktu transit barang, memperkuat hubungan ekonomi antara Tiongkok dan Eropa, dan memberikan alternatif terhadap jalur maritim tradisional.
Investasi BRI di bidang infrastruktur telah berfungsi sebagai katalis bagi pembangunan ekonomi di wilayah-wilayah yang berpartisipasi. Proyek-proyek ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja tetapi juga menarik lebih banyak investasi dan peluang bisnis. Bagi banyak negara berkembang, BRI menawarkan bantuan untuk memodernisasi infrastruktur mereka dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
BRI telah mencapai keberhasilan yang signifikan, hal ini bukannya tanpa kontroversi. Salah satu kekhawatiran utama seputar BRI adalah beban utang yang mungkin dibebankan pada negara-negara peserta.
Beberapa negara, terutama negara dengan perekonomian lemah, telah meminjam banyak uang dari Tiongkok untuk membiayai proyek infrastruktur.
Meskipun investasi-investasi ini telah memulai perkembangannya, terdapat kekhawatiran mengenai kemampuan negara-negara tersebut untuk membayar kembali pinjaman mereka. Mengatasi masalah keberlanjutan utang sangat penting untuk mencegah negara-negara jatuh ke dalam perangkap utang.
Kini, Tiongkok mengurangi sebagian besar pinjaman infrastrukturnya yang berkantung besar. Namun Tiongkok tetap merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, dan tentu saja masuk akal jika Tiongkok mengembangkan pasar dan perekonomian yang dapat menjadi tempat mengimpor komoditas atau mengekspor produk-produk unggulan industrinya yang kelebihan kapasitas.
Bagaimana di Indonesia?
Sejak mempromosikan program ambisiusnya BRI pada 2013, Xi Jinping sudah beberapa kali ke Indonesia termasuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2013.
Dalam pertemuan itu, Indonesia meneken puluhan kesepakatan kerja sama dengan China terkait dengan pertambangan, bubur kertas, properti, jalur kereta api, infrastruktur dan semen. Total nilai komitmen kerja sama mencapai $28,2 miliar.
Pada 2017, kerja sama terkait dengan program BRI berlanjut. Presiden Joko Widodo berada di antara 29 kepala negara dan perwakilan yang ikut serta dalam "Belt and Road Forum for International Cooperation". Dalam kesempatan itu, Presiden Xi mengumumkan telah menyiapkan anggaran $55,09 miliar untuk mendukung proyek BRI untuk perluasan jaringan antara Asia, Afrika dan Eropa.
![]() Investor asing terbesar semester I-2023 |
Di antara perusahaan China yang berkomitmen investasi adalah Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited (Huayou) untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. Terdapat pula Contemporary Amperex Technology Co., Limited (CATL), Beijing Shuang Zhong Li Investment Management Co Ltd dan Oriental Mining and Minerals Resources Co Ltd & Rui long Investment Co Ltd.
Program BRI Membuat Investasi China Melesat.
Pada 2013, total investasi China hanya menembus US$ 297 juta yang menempatkan mereka pada posisi 12 investor terbesar di Indonesia. Pada 2015, China naik ke peringkat ke-9 dengan investasi US$ 628 juta hingga mencapai posisi ketiga pada tahun 2017.
Investasi China di Indonesia hampir selalu berada di bawah US$ 1 miliar sebelum tahun 2019. Sejak 2019, investor China gemar menanamkan modalnya di Indonesia sehingga investasi hampir selalu di atas US$ 1 miliar. Investasi mereka sempat melambat dan berada di bawah US$ 1 miliar pada kuartal II-IV 2022 atau setelah badai pandemi Covid-19 melanda dunia.
Pada 2021, investasi China menembus US$ 3,2 miliar. Jumlah tersebut hanya kalah dari Singapura dan Hong Kong. Investasi terus meningkat menjadi US$ 8,2 miliar pada 2022.
Pada Semester I-2023, investasi China di Indonesia sudah menembus US$ 3,8 miliar.
![]() Investasi China |
Salah satu fokus investasi China adalah pengembangan smelter di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah.
Di sektor infrastruktur, China dan Indonesia juga bekerja sama membangun mega proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Waduk Jatigede di Sumedang, Jawa Barat, dan Tol Medan-Kualanamu
Namun, proyek infrastruktur China banyak yang mendapat sorotan tajam. Salah satunya adalah Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Kereta api cepat ini adalah proyek Belt and Road Initiative (BRI) andalan Tiongkok di Indonesia. Beijing menyebut proyek kereta api berkecepatan tinggi sebagai simbol hubungan erat antara Indonesia dan Tiongkok, namun proyek tersebut menghadapi beberapa kemunduran sejak dimulai pada tahun 2016.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)