KTT ASEAN 2023

Laut China Selatan Simpan Harta Karun, Pantas Sampai Rebutan!

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
06 September 2023 17:56
This satellite image provided by Maxar Technologies shows Chinese vessels anchored the Whitsun Reef located in the disputed South China Sea. Tuesday, March 23, 2021. The United States said Tuesday it’s backing the Philippines in a new standoff with Beijing in the disputed South China Sea, where Manila has asked a Chinese fishing flotilla to leave a reef. China ignored the call, insisting it owns the offshore territory. (©2021 Maxar Technologies via AP)
Foto: AP/

Jakarta, CNBC Indonesia - KTT ASEAN ke-43 yang berlangsung di Jakarta tahun ini mengusung isu penting seputar dalam kawasan maritim yang strategis di Asia Tenggara yaitu Laut China Selatan (LCS). Kawasan strategis ini diperebutkan raksasa ekonomi, sehingga memerlukan solidaritas Negara ASEAN dalam menghadapi tantangan geopolitik dan ekonomi.

Kekayaan bangsa di Asia Tenggara secara geografis tentunya menjadi daya tarik perekonomian global. Berkah ini juga menimbulkan tantangan dari Negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia yaitu China.

Negeri Tirai Bambu memiliki pengaruh yang signifikan dalam dinamika ekonomi ASEAN. Sebagai Raja manufaktur global dengan kontribusi sekitar 28,7%, tentunya menciptakan hubungan ekonomi signifikan antara banyak negara di Asia Tenggara dengan China mengingat kedekatan geografis.

China membutuhkan bahan baku untuk industri manufakturnya, sumber daya energi, dan produk jadi lainnya, sementara negara-negara ASEAN menyediakan komoditas dan barang-barang yang dibutuhkan oleh China. Ini menjadikan China sebagai mitra dagang terbesar ASEAN pada 2021, dengan kontribusi sebesar 20% atau sekitar US$669,2 miliar.

Kendati demikian, di laut negara Asia Tenggara dan China sengit memperebutkan wilayah sangat penting dengan nilai ekonomi dan militer yang besar yaitu Laut China Selatan (LCS) yang memiliki potensi besar.

Potensi Laut China Selatan

Kawasan Laut China Selatan mengalami dinamika yang kompleks antara ASEAN dengan China. Di Laut China Selatan, terdapat klaim wilayah yang diperdebatkan yang melibatkan beberapa negara ASEAN.

Laut China Selatan diminati karena merupakan wilayah strategis perdagangan dengan jalur transportasi yang dilewati berbagai negara, terdapat kekayaan alam minyak dan gas di Natuna, dan kekayaan ikan serta terumbu karang. Dari segi ekonomi, LCS adalah salah satu rute komersial paling vital bagi industri logistik global dan merupakan subwilayah ekonomi penting di Indo-Pasifik. Nilai total perdagangan yang melintasi wilayah ini mencapai US$3,37 triliun pada tahun 2016, termasuk 40% dari perdagangan gas alam cair (LNG) global.

Impor LNG China 40% melalui Selat MalakaFoto: Source: U.S. Energy Information Administration based on Chinese import statistics from Global Trade Tracker yang dikutip dari EIA
Impor LNG China 40% melalui Selat Malaka

Wilayah ini juga mengandung sumber daya alam yang signifikan, seperti cadangan minyak dan gas alam yang belum dimanfaatkan sebanyak 11 miliar barel minyak dan 190 triliun kaki kubik cadangan gas alam.

Laut China Selatan tentunya juga menyimpan ikan layur, makarel, scraper hitam, teri, udang, kepiting yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat ASEAN. 

Dari perspektif keamanan, mengendalikan LCS memungkinkan China untuk membangun dan memperkuat pangkalan militer, yang dapat digunakan sebagai pertahanan terhadap ancaman regional eksternal.

Perebutan Kawasan Strategis Laut China Selatan

Sengketa Laut China Selatan berawal dari aksi semena-mena Tiongkok dalam menarik 10 garis putus-putus termasuk lautan strategis ini. Permulaan konflik ini menyebabkan Filipina dan beberapa negara lainnya mengecam keras aksi klaim China.

China yang berharap LCS dapat menjadi sarana pertahanan militer dan pertambahan nilai ekonomi tampak membuat negara saingannya, Amerika Serikat (AS) tidak mau kalah. Melansir situs Departemen Pemerintahan AS, Filipina akan mendapat dukungan sekutunya AS dalam menanggapi aksi berbahaya dari penjaga pantai dan militer China.

Sebelumnya, Tiongkok sempat menembakkan Meriam air dan melakukan manuver yang membahayakan keselamatan kapal dan awak kapal Filipina pada 5 Agustus 2023.

Tindakan tersebut tidak sejalan dengan hukum internasional dan merupakan ancaman status quo di LCS. China telah bertindak tanpa landasan hukum yang sah terhadap operasi maritim Filipina.

Sebagaimana dijelaskan dalam keputusan pengadilan internasional yang mengikat secara hukum yang dikeluarkan pada bulan Juli 2016, Tiongkok tidak memiliki klaim sah atas wilayah maritim di sekitar Second Thomas Shoal pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina.

Perebutan kawasan LCS antara China dan AS bukan tanpa sebab. Kawasan ini merupakan jalur komunikasi laut terpenting untuk perekonomian Tiongkok. China khawatir akan terjadinya blokade wilayah tersebut dan ancaman serangan militer, khususnya dari "kekuatan tertentu" yang dimaksud dalam konteks ini adalah Amerika Serikat. 

AS sebagai pesaing China tidak dapat tinggal diam dengan melakukan berbagai aksi yang terpantau dari keberpihakannya pada Filipina untuk membendung China. 

Kunci Penyelesaian Masalah Melalui Solidaritas ASEAN

Solidaritas ASEAN adalah kunci dalam menyelesaikan konflik di Laut China Selatan. Dengan 10 negara anggota, ASEAN memiliki kekuatan kolektif untuk mempengaruhi negosiasi dan tindakan internasional terkait sengketa di wilayah tersebut.

Prinsip-prinsip kerja sama ASEAN, seperti musyawarah dan mufakat, membantu dalam menghindari eskalasi konflik. Forum diplomatik ASEAN adalah tempat penting untuk dialog dengan negara-negara yang terlibat, termasuk Tiongkok, dan mencari solusi damai.

Keberlanjutan penyelesaian konflik juga ditekankan melalui pematuhan terhadap hukum internasional, seperti UNCLOS. Solidaritas ASEAN juga memberikan dukungan bagi negara-negara kecil yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, melindungi kedaulatan mereka.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mza/ras)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation