
Mimpi China Geser AS Jadi Raja Ekonomi Dunia Sulit Digapai

Jakarta, CNBC Indonesia - Misi besar China menggeser Amerika Serikat (AS) sebagai negara dengan perekonomian terbesar dunia suit tergapai. China bahkan terancam semakin jauh meninggalkan AS.
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat seiring dengan upaya para pengambil kebijakan untuk memperbaiki penurunan pasar properti, dengan fokus permasalahan pada pengembang besar Country Garden. China yang saat ini bersatus sebagai negara dengan size ekonomi kedua terbesar di dunia sebelumnya dihantam oleh skandal Evergrande.
Kekhawatiran banyak pihak bahkan semakin meningkat mengenai apakah negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia ini sedang mendekati titik krisis. Terlebih,sekitar 70% kekayaan rumah tangga Tiongkok terikat pada sektor real estate, perlambatan besar di sektor ini juga berdampak pada sektor perekonomian lainnya.
Perjuangan Tiongkok untuk menghidupkan kembali pertumbuhan dan menopang pasar properti yang dilanda krisis pada tahun ini berarti Tiongkok tidak akan pernah secara permanen mengambil alih kekuasaan Amerika Serikat sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia, menurut sebuah perkiraan baru-baru ini.
Dikutip dari The Japan Times, China diperkirakan membutuhkan waktu hingga pertengahan 2040-an agar produk domestik bruto (PDB) Tiongkok bisa melebihi produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat.
Data Bank Dunia mencatat nilai PDB menyentuh US$ 25,46 triliun pada 2021 atau setara dengan 25,31% PDB global. China ada di bawah AS dengan nilai PDB mencapai US$ 17,96 triliun.
Sebelum pandemi Covid-19 menghantam, Tiongkok diprediksi akan mengambil alih posisi AS dan mempertahankan posisi terdepan pada awal dekade berikutnya. Namun, pandemi mengubah peta tersebut karena China menutup perbatasan dan memberlakukan kebijakan Covid-19 dengan sangat ketat dari awal 2020 hingga akhir 2022.
Ekonomi China memang mampu tumbuh 6,3% (year on year/yoy) pada kuartal I-2023 tetapi angka tersebut di bawah ekspektasi pasar (7,3%). Beijing juga berjuang melawan deflasi dan krisis real estat parah yang mengancam akan menjatuhkan beberapa raksasa properti lokal, termasuk Country Garden.
Harga Konsumen (CPI) China turun atau deflasi sebesar 0,3% (year on year/yoy) pada Juli 2023. Deflasi ini merupakan yang pertama sejak Februari 2021.
Indeks Harga Produsen (PPI) juga mengalami deflasi yakni 4,4% (yoy). Kontraksi ini telah turun selama 10 bulan berturut-turut dan lebih buruk dari perkiraan pasar penurunan 4,1%, setelah penurunan 5,4% pada bulan sebelumnya, yang merupakan penurunan tertajam sejak Desember 2015.
Konsumsi rumah tangga, dalam persentase terhadap produk domestik bruto (PDB), termasuk yang terendah di dunia bahkan sebelum adanya Covid-19. Para ekonom mengidentifikasi hal ini sebagai ketidakseimbangan struktural utama dalam perekonomian yang terlalu bergantung pada investasi berbahan bakar utang.
Para ekonom menyalahkan lemahnya permintaan domestik sebagai penyebab melemahnya minat investasi di sektor swasta dan menyebabkan Tiongkok mengalami deflasi pada Juli. Jika hal ini terus berlanjut, deflasi dapat memperburuk perlambatan ekonomi dan memperparah masalah utang.
Ketidakseimbangan antara konsumsi dan investasi lebih parah dibandingkan Jepang sebelum memasuki "dekade yang hilang" yaitu stagnasi pada tahun 1990an.
Ekonomi China saat ini telah menghadapi tekanan deflasi dan situasi seperti ini kemungkinan bakal semakin cepat terjadi pada beberapa kuartal mendatang. Ini diakibatkan fakta tadi, warga malas belanja! Inilah jadi asal muasal istilah balance sheet recession menghantui China sama seperti yang pernah dihadapi Jepang.
China dikhawatirkan mengalami dekade yang hilang ataulost decade. Pada periode tersebut perekonomian China dikhawatirkan stagnan, pertumbuhannya rendah dan terkadang berkontraksi.
![]() |
Data yang lemah menjadi downrisks dan ekonomi Tiongkok akan kesulitan memenuhi target pertumbuhan ekonominya sekitar 5% pada 2023 tanpa belanja pemerintah yang lebih banyak.
Angka pertumbuhan sebesar 5% masih merupakan tingkat pertumbuhan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan yang dicapai oleh negara-negara besar lainnya, namun bagi negara yang menginvestasikan sekitar 40% dari PDB-nya setiap tahun sekitar dua kali lipat dari Amerika Serikat, para ekonom mengatakan angka tersebut masih merupakan angka yang mengecewakan.
Ada juga ketidakpastian mengenai keinginan pemerintah untuk memberikan stimulus fiskal yang besar, mengingat tingginya tingkat utang daerah.
![]() |
Tekanan yang terjadi di pasar properti, yang menyumbang sekitar seperempat aktivitas perekonomian, semakin meningkatkan kekhawatiran mengenai kemampuan pembuat kebijakan untuk menahan penurunan pertumbuhan.
Beberapa ekonom memperingatkan bahwa investor harus terbiasa dengan pertumbuhan China yang jauh lebih rendah. Sebagian kecil dari mereka bahkan meningkatkan prospek stagnasi seperti yang terjadi di Jepang.
![]() |
Namun ekonom lain mengatakan banyak konsumen dan usaha kecil mungkin sudah merasakan penderitaan ekonomi yang sama seperti saat resesi.
Prospek Ekonomi China
Para ekonom kini memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok melambat menjadi 3,5% pada 2030 dan mendekati 1% pada 2050. Angka tersebut lebih rendah dari proyeksi sebelumnya masing-masing sebesar 4,3% dan 1,6%.
China sempat mengalami masa "tergelap" dalam hal pertumbuhan ekonomi pada 2022 lalu. Ekonomi Tiongkok hanya tumbuh 3% sepanjang 2022, jika tidak memperhitungkan 2020 yang merosot akibat pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi tersebut menjadi yang terendah dalam nyaris 50 tahun terakhir.
Pembukaan kembali pada Desember 2022 memberikan harapan perekonomian akan bangkit kembali tahun ini. Namun, harapan tersebut mulai layu.
Ppemulihan ekonomi telah kehilangan tenaga karena ekspor anjlok dan kemerosotan sektor real estate semakin parah. Tiongkok hari ini melaporkan jika aktivitas jasa mereka turun ke 51,8 pada Agustus 2023, terendah dalam delapan bulan. Aktivitas jasa menurun karena permintaan yang terus melandai.
Amerika Serikat dan negara-negara Kelompok Tujuh (G7) semakin melihat bukti persoalan struktural yang mengakar di Tiongkok, melihat peluang yang pada akhirnya akan memperkuat kekuasaan Barat dalam melawan pesaing geopolitik yang melemah. G7 juga mempertimbangkan dampak dari perlambatan tersebut. Kendala yang terjadi tahun ini telah mengguncang komoditas dan saham.
Tiongkok menghadapi tantangan yang lebih dalam dan berjangka panjang. Tiongkok mencatat penurunan populasi pertamanya pada tahun lalu sejak tahun 1960an, sehingga meningkatkan kekhawatiran akan melemahnya produktivitas.
Biro Statistik Nasional China melaporkan bahwa populasi turun menjadi 1,412 miliar tahun lalu dari 1,413 miliar pada 2021. Tingkat populasi terkontraksi untuk pertama kalinya sejak 1960.
Sebaliknya, AS tampaknya berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan prediksi banyak ekonom beberapa bulan lalu. Pasar tenaga kerja yang kuat, belanja konsumen yang kuat, dan inflasi yang moderat telah meningkatkan kepercayaan terhadap kemampuan perekonomian untuk menghindari resesi saat ini.
Dikutip dari The Japan Times, ekonomi AS diperkirakan tumbuh sebesar 1,7% pada 2022-2023, dengan perkiraan jangka panjang menunjukkan penurunan secara bertahap menjadi 1,5% pada tahun 2050.
Diketahui, perekonomian AS tumbuh pada sebesar 2,1% pada kuartal II-2023, lebih lemah dibandingkan proyeksi awal sebesar 2,4% dan ekspansi pada kuartal pertama sebesar 2,0%. Revisi ke bawah pada investasi inventaris swasta dan investasi tetap non-perumahan sebagian diimbangi oleh revisi ke atas pada belanja pemerintah negara bagian dan lokal.
Tingkat pertumbuhan melambat baik untuk belanja konsumen dan konsumsi pemerintah. Sementara itu, investasi tetap non-perumahan mengalami peningkatan paling signifikan dalam hampir satu tahun. Ekspor juga turun tajam sementara investasi tetap perumahan merosot selama sembilan periode berturut-turut.
![]() |
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)