
Songsong Era Baru, ASEAN Siap Jadi Pusat Pertumbuhan Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia akan menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-43 Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) tahun 2023 di Jakarta Convention Center, 5-7 September 2023 mendatang.
Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) diagendakan akan memimpin 12 pertemuan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN tersebut. Acara tersebut akan dihadiri oleh 11 pemimpin negara ASEAN, 9 pemimpin atau perwakilan negara mitra wicara ASEAN, dan 9 pemimpin perwakilan organisasi internasional.
Indonesia bukan hanya menjadi tuan rumah, namun Indonesia juga berupaya mendorong ASEAN menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia.
"ASEAN sebagai Episentrum Pertumbuhan" adalah tema Keketuaan Indonesia di ASEAN pada tahun 2023.
Kawasan ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) merupakan salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia pada 2022.
Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara pada tahun 2023 sebesar 4,7% untuk ASEAN karena melemahnya permintaan global.
Perlu dicatat bahwa perkiraan tersebut bervariasi, dan hal ini sebagian bergantung pada cara organisasi mengkategorikan wilayah tersebut. Analis Credit Suisse memperkirakan pertumbuhan enam negara ASEAN yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam akan melambat menjadi 4,4% pada tahun 2023 dari proyeksi 5,6% pada tahun 2022.
Angka-angka ini menempatkan pertumbuhan ekonomi regional jauh di atas rata-rata global. Dana Moneter Internasional (MF) memperkirakan pertumbuhan global sebesar 3,2% pada tahun 2022 dan 2,7% pada tahun 2023. Oleh karena itu, ASEAN tetap menjadi tujuan investasi internasional yang menarik, memberikan investor akses ke salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat secara global.
Negara-negara ASEAN dapat memperoleh keuntungan dari posisi geopolitik yang istimewa di masa depan seiring dengan meningkatnya persaingan Amerika Serikat (AS) dengan Tiongkok dan kedua negara adidaya berupaya memperdalam hubungan di kawasan.
Kedua negara telah menyoroti komitmen mereka untuk berdagang dengan perekonomian ASEAN dan Tiongkok khususnya melalui akses terhadap perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP). AS hanya memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara ASEAN tertentu.
Persaingan negara adidaya ini bukan satu-satunya faktor yang dapat memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ASEAN pada tahun 2023. Beberapa negara di kawasan ini memiliki sektor pariwisata internasional yang besar, dan lingkungan epidemiologi yang semakin membaik akan berkontribusi terhadap pemulihan industri ini pada tahun 2023.
Menurut Goldman Sachs, Thailand dan Malaysia dapat mencatatkan pertumbuhan sebesar 4% pada tahun depan jika dilakukan normalisasi pariwisata dan perjalanan global. Neraca berjalan negara-negara tersebut harus diseimbangkan kembali pada tahun depan seiring dengan pulihnya sektor pariwisata.
Malaysia, Filipina, dan Thailand kemungkinan akan mengalami pemulihan sektor pariwisata ke tingkat sebelum pandemi pada 2023. Namun masih ada keraguan mengenai apakah wisatawan Tiongkok akan segera kembali meskipun pembatasan baru-baru ini dicabut. Pada bulan Desember, otoritas imigrasi Tiongkok mengatakan akan melanjutkan penerbitan visa bagi penduduk daratan untuk bepergian ke luar negeri mulai tanggal 8 Januari.
Analis S&P Global berpendapat bahwa perlambatan global akan berdampak lebih kecil terhadap perekonomian yang didorong oleh permintaan domestik seperti Indonesia dan Filipina.
Kedua negara tersebut, menurut prediksi organisasi tersebut, akan mengalami pertumbuhan setidaknya sebesar 5% pada tahun 2023. Perusahaan yang berbasis di AS ini berpendapat bahwa perekonomian domestik akan mengalami pertumbuhan sebesar 5% pada tahun 2023.
Namun, semua hal di atas merupakan hal sekunder dibandingkan dengan kondisi perekonomian yang ada di atas. Melemahnya pertumbuhan dan bahkan resesi di negara maju, akan mengurangi permintaan aktivitas ekonomi di negara-negara ASEAN.
Sementara itu, banyak bank sentral di Asia Tenggara telah menaikkan suku bunga sebagai respons terhadap kenaikan suku bunga global, arus keluar modal, depresiasi mata uang, dan percepatan inflasi seiring dengan kenaikan harga pangan dan energi global.
Sebagaimana telah disebutkan, penurunan inflasi akan memungkinkan bank sentral untuk mengambil pendekatan yang lebih dovish menjelang semester kedua tahun ini.
Prospek Ekonomi Asia Tenggara 2023
Pertumbuhan di negara-negara berkembang di Asia telah menunjukkan ketahanan dalam menghadapi ketidakpastian global. PDB rata-rata tingkat pertumbuhan negara-negara berkembang di Asia diperkirakan akan meningkat menjadi 5,3% pada tahun 2023 dan 5,4%
pada tahun 2024. Rata-rata pertumbuhan PDB riil ASEAN diperkirakan mencapai 4,6% pada tahun 2023 dan 4,8% pada tahun 2024, lebih lemah dibandingkan tahun 2022.
Berikut tabel pertumbuhan PDB riil di ASEAN, Tiongkok dan India 2021 hingga 2024 dalam persentase.
![]() |
ASEAN Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi
ASEAN mencatat pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 5%, termasuk yang tertinggi di dunia pada tahun 2000-2022. Pada tahun 2022, populasi ASEAN mencapai 672 juta jiwa, sekitar 9 persen dari total populasi dunia, dan kawasan ini menyumbang 6,4% terhadap PDB global.
Tidak termasuk data dari Kamboja, ASEAN mencatat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja sebesar 3,2% dari tahun 2000 hingga 2022.
Khususnya, berdasarkan rata-rata sederhana untuk tahun 2022, sekitar 68% penduduk di enam negara dengan perekonomian terbesar di kawasan ASEAN yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, dan Vietnam berada dalam rentang usia kerja 15 hingga 64 tahun.
Ditambah dengan situasi politik yang stabil, faktor-faktor tersebut menempatkan ASEAN sebagai salah satu mitra perdagangan dan investasi yang paling menarik secara global.
Kemudian, ASEAN telah menunjukkan perdagangan dan investasi yang menjanjikan pada periode yang sama. Pada tahun 2022, total perdagangan ASEAN menyumbang 7,7% dari total perdagangan dunia atau 17,6% dari total perdagangan Asia Timur.
Pada tahun yang sama, total investasi asing langsung (FDI) di ASEAN menyumbang 26,7% dari total FDI di Asia Timur dan 11,6 persen dari total FDI di seluruh dunia.
ASEAN juga menunjukkan perkembangan yang mengesankan di era digital. Perdagangan digital dunia diperkirakan mencapai US$10 triliun pada tahun 2030, dimana US$1 triliun atau 10 persennya akan dikontribusikan oleh ASEAN. Pada tahun 2020, sekitar 80% pengguna internet di ASEAN terlibat dalam belanja online (Ing dan Markus, 2023).
Selain perdagangan, inovasi digital, termasuk kecerdasan buatan (AI), mempunyai potensi untuk mengubah dan merevolusi berbagai industri dan sektor, mulai dari layanan kesehatan dan pendidikan hingga keuangan, energi, dan transportasi.
Meskipun memiliki faktor-faktor pendorong pertumbuhan utama yang menjadi episentrum pertumbuhan, ASEAN menghadapi setidaknya tiga tantangan utama.
Pertama, ketegangan perdagangan AS dan Tiongkok yang sedang berlangsung, yang kini telah meluas ke bidang teknologi dan keamanan, kemungkinan besar tidak akan mereda terlepas dari pemerintahan politik mana yang memegang kekuasaan di AS.
Perang yang sedang berlangsung di Ukraina sejak tahun 2022 telah memperumit lanskap geopolitik global, yang telah menempatkan ASEAN di garis bidik ketegangan ini.
Kawasan ini sering kali mendapat tekanan untuk memilih salah satu pihak di tengah meningkatnya persaingan strategis.
Kedua, sentralitas ASEAN semakin diuji seiring dengan semakin banyaknya kerangka ekonomi dan inisiatif kerja sama ekonomi yang dipimpin oleh negara-negara maju.
Salah satu inisiatif yang baru-baru ini diluncurkan adalah Kerangka Ekonomi Indo-Pasifik (IPEF) yang dipimpin AS, yang telah membuat ASEAN terpecah belah.
IPEF terbuka (dan dengan pertimbangan politik) hanya untuk negara-negara ASEAN yang relatif maju dan berpendapatan menengah ke atas, sehingga tidak termasuk Kamboja, Republik Demokratik Rakyat Laos, dan Myanmar. Perlu diingat bahwa IPEF bukanlah perjanjian perdagangan dan tidak menawarkan akses pasar preferensial.
IPEF lebih bersifat simbolis bagi pemungutan suara domestik AS dibandingkan sebagai langkah kebijakan yang efektif bagi para anggotanya.
Perpecahan di dalam ASEAN dapat menyebabkan kesenjangan ekonomi dan politik yang lebih besar dan berpotensi menciptakan perbedaan dalam kebijakan regional yang akan membawa konsekuensi yang kurang menguntungkan secara ekonomi dan politik.
Ketiga, ASEAN menghadapi inkonsistensi dalam kebijakan dalam negerinya. Selain menghadapi komplikasi internasional, kebijakan dalam negeri ASEAN, sampai batas tertentu, dianggap tidak pasti dan tidak konsisten antar provinsi, lembaga, dan dalam kaitannya dengan komitmen internasional dan regional.
Inkonsistensi ini sering kali tercermin dalam kebijakan yang berpihak pada sektor tertentu melalui dukungan dan subsidi yang besar serta hambatan non-tarif, persyaratan kandungan lokal, dan pengurusan bea cukai lintas batas yang rumit dan mahal.
Kebijakan-kebijakan tersebut dapat menyebabkan pembangunan ekonomi yang tidak merata di kawasan dan berpotensi menghambat kemampuan ASEAN untuk sepenuhnya mewujudkan potensinya sebagai sebuah blok ekonomi yang bersatu.
Untuk memastikan keberhasilannya di kancah internasional, ASEAN harus memprioritaskan mempertahankan sentralitas dan solidaritasnya sebagai satu kesatuan daripada terburu-buru bergabung dengan banyak perjanjian perdagangan atau kerangka ekonomi yang dipimpin oleh negara-negara maju.
Penting bagi ASEAN untuk secara hati-hati mempertimbangkan hal-hal yang penting bagi kawasan dengan menekankan efektivitas perjanjian dan mekanisme kerja sama dalam hal ini untuk mendorong pembangunan ASEAN dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.
ASEAN harus mengelola keterbukaannya dalam perdagangan dan investasi dan memastikan konsistensinya dengan komitmen bilateral, regional, dan multilateral.
Inilah saatnya bagi ASEAN untuk membela kepentingan terbaik rakyatnya dan mengambil kebijakan yang paling bermanfaat bagi mereka.
Indonesia Dorong ASEAN Jadi Pusat Pertumbuhan Ekonomi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan Indonesia akan mendorong seluruh negara ASEAN bersatu dalam kekuatan produksi agar kawasan Asia Tenggara bisa menjadi pusat pertumbuhan dunia. Hal ini sejalan dengan salah satu pilar kepemimpinan Indonesia di ASEAN, yaitu episentrum pertumbuhan.
Jokowi mengatakan ia yakin negara-negara ASEAN dapat menjadi episentrum produksi produk-produk yang sangat kompetitif, seperti televisi, baterai, dan kendaraan listrik.
Strategi utama Indonesia untuk meningkatkan integrasi ekonomi dan memperkuat daya saing dalam menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia adalah transformasi digital dengan memperluas transaksi mata uang lokal dan mempercepat negosiasi Digital Economic Framework Agreement (DEFA).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI, Airlangga Hartarto mengatakan untuk mendorong pencapaian tersebut, ASEAN perlu memanfaatkan berbagai kerja sama ekonomi di kawasan, baik dalam bentuk perjanjian perdagangan bebas ASEAN plus 1 maupun Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang telah digagas oleh Indonesia pada tahun 2011.
Selain itu, ASEAN perlu memperkuat konektivitas udara dan laut, mewujudkan Jaringan Listrik ASEAN, dan mendorong ketahanan pangan dengan memperkuat rantai pasokan dan sistem logistik regional. Secara khusus, blok tersebut harus menjalin kerja sama antar sektoral untuk menjamin keamanan pangan dan mengembangkan mekanisme untuk memperkuat sistem peringatan dini.
ASEAN jugs perlu meningkatkan agenda keberlanjutannya melalui pengembangan energi terbarukan trans ASEAN seperti tenaga surya, tenaga air, ekosistem kendaraan listrik, dan kerangka ekonomi hijau regional, lanjut Airlangga.
Indonesia juga memiliki tujuan untuk mendorong pembangunan regional yang berkelanjutan melalui ASEAN Indo Pacific Forum (AIPF) di mana sektor publik dan swasta akan diundang untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek di kawasan untuk mendukung infrastruktur ramah lingkungan, memperkuat rantai pasokan, transformasi digital, dan ekonomi kreatif, serta keuangan inovatif dan berkelanjutan.
CNBC Indonesia Research
