Batu Bara Pesta Pora di Agustus, Sinar Emas Emas Meredup

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
30 August 2023 16:10
FILE PHOTO: A tug boat pulls a coal barge along the Mahakam River in Samarinda, East Kalimantan province, Indonesia, March 2, 2016. REUTERS/Beawiharta/File Photo
Foto: REUTERS/Beawiharta/File Photo

Jakarta, CNBC Indonesia - Komoditas utama bergerak beragam sepanjang Agustus ini. Minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara mengalami kenaikan harga sepanjang Agustus sedangkan emas dan minyak masih harus merana. Berbagai sentimen menggerakkan harga berbagai komoditas bulan ini. 

Sepanjang  Agustus, komoditas yang mampu menguat diantaranya batu bara yang menjadi juara dengan kenaikan 14,7%, harga CPO naik 1,5%. Sementara itu, harga minyak mentah brent terkoreksi tipis 0,08% dan minyak WTI turun tipis 0,78%. Harga emas pun menjadi yang terburuk bulan ini dengan koreksi 1,35%.

Terdapat berbagai sentimen yang mampu menggerakkan harga komoditas bulan ini, mulai dari ketidakpastian cuaca, Ancaman El Nino, kekhawatiran pidato hawkish Jerome Powell, perbaikan permintaan komoditas, dan berbagai sentimen lainnya. 

Selain itu, sentimen suku bunga tinggi tidak dapat diabaikan sebab ini mengoreksi harga komoditas. Di sisi lain, normalisasi suku bunga berpotensi malah mendorong kebangkitan harga-harga komoditas ini. Berikut sentimen lengkap dari setiap komoditasnya. 

Batu bara

Batu bara menjadi juara kenaikan harga bulan Agustus ini. Komoditas terkotor ini di saat bersamaan merupakan yang termurah dan terefisien dalam menghasilkan energi. Hal ini menjadi daya tarik bagi negara dengan tingkat manufaktur tinggi, seperti China yang merupakan konsumen batu bara terbesar, diikuti oleh India, dan Uni Eropa.

Bulan ini, China sangat gencar dalam mengoleksi batu bara. Hal ini bermula dari gelombang panas (heatwaves) yang memecahkan rekor menyebabkan peningkatan pendingin ruangan, sehingga permintaan pembangkit listrik batu bara melesat.

Tiongkok juga diperkirakan mengalami peningkatan impor batu bara termal pada sepanjang Agustus. Hal ini disebabkan tingginya harga pembangkit listrik akibat terbatasnya pasokan.

Bahkan, impor batu bara China dari Australia yang berkualitas tinggi mencatatkan rekor tertinggi dalam tiga tahun untuk periode Juli. Para analis dan pelaku pasar memperkirakan impor batu bara Australia akan tetap tinggi sepanjang tahun, sebabbatu bara Australia lebih murah dibanding harga batu bara dalam negeri China.

Di sisi lain, India memang terpantau sedang kelebihan pasokan dengan stok 77 juta ton bahan bakar untuk ketenagalistrikan (22/8).

Namun, tanpa adanya tambahan produksi yang signifikan, India perlu melakukan impor kembali untuk mengamankan kebutuhan. Hal ini akan mengurangi pasokan global. Peningkatan kembali permintaan India sebagai konsumen terbesar kedua akan berpengaruh signifikan untuk turut mendorong harga batu bara menguat.

Selain itu, Hellenic Shipping News menyatakan Pembangkit listrik berbasis batubara yang diimpor diminta untuk beroperasi dengan kapasitas penuh hingga akhir Oktober.

Eropa pun tidak bisa lepas dan harus kembali dengan batu bara. Bahan bakar energi ini sedang bersiap menjelang musim dingin belahan bumi utara yang membutuhkan energi tinggi.

Pembangkit listrik dari reaktor nuklir Perancis yang berkontribusi 70% negaranya mengalami kendala akibat korosi tegangan. Hal ini membuat Perancis harus kembali ke batu bara sebagai sumber Pembangkit listriknya.

Tidak hanya Perancis, Jerman bahkan lebih ekstrim dengan membongkar ladang energi baru terbarukan melalui tenaga angin, untuk mengeruk batu bara di bawahnya. Satu turbin angin telah dicopot, dan tujuh turbin lainnya dijadwalkan untuk dipindahkan untuk menggali tambahan 15 juta hingga 20 juta ton batubara 'coklat', yang merupakan sumber energi paling berpolusi.

Kabar dari gas sebagai sumber energi utama Eropa dan substitusi batu bara masih mengkhawatirkan akibat ketidakpastian negosiasi pemogokan serikat kerja Chevron. Di sisi lain, blok Woodside Energy telah berhasil menghindari pemogokan pada proyek LNG andalannya.

CPO

Penguatan harga CPO utamanya ditopang oleh melemahnya ringgit yang menjadi mata uang perdagangan sawit. Ringgit Malaysia (MYR) kemarin memang menguat 0,19% terhadap dolar tetapi secara keseluruhan bulan ini ambruk. Ringgit Malaysia sudah jatuh 2,78% sepanjang bulan ini. Melemahnya ringgit membuat minyak sawit lebih menarik bagi pemegang mata uang asing.

"Pelemahan ringgit membantu menaikkan harga hari ini, meskipun produksi mendapatkan daya tarik di Malaysia dan permintaan masih lesu, sehingga pasar secara keseluruhan masih rentan untuk menjual dengan kekuatan," kata Paramalingam Supramaniam, direktur pialang Pelindung Bestari yang berbasis di Selangor yang dikutip dariReuters.

Minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak terkait saat mereka bersaing untuk mendapatkan bagian di pasar minyak nabati global.

India diperkirakan akan mengalami curah hujan monsun terendah dalam delapan tahun terakhir, dengan pola cuaca El Niño terlihat mengurangi curah hujan di bulan September setelah bulan Agustus yang diperkirakan akan menjadi bulan terkering dalam lebih dari satu abad, dua pejabat departemen cuaca mengatakan kepada Reuters pada hari Senin.

Sebagai informasi, India merupakan konsumen CPO terbesar dunia yang diikuti dengan China di posisi kedua. Ketidakpastian cuaca berdampak pada proyeksi penurunan produksi CPO India. Hal ini akan meningkatkan permintaan India, sehingga mendorong kenaikan harga CPO.

Minyak Mentah

Minyak mentah masih berada di zona merah melemah tipis Agustus ini. Walau harga masih terkoreksi sebulan ini, kabar positif turut menghampiri komoditas minyak mentah.

Kabar positif diantaranya dari pelemahan indeks dolar Amerika Serikat (AS) ditambah dengan Badai Idalia yang akan melanda Floridaakan berdampak potensial terhadap pasokan dan permintaan energi.

Pelemahan greenback membuat harga minyak dalam mata uang dolar lebih murah bagi investor yang memegang mata uang lain, sehingga meningkatkan permintaan.

Stok minyak mentah AS turun sekitar 11,5 juta barel dalam pekan yang berakhir 25 Agustus, menurut sumber pasar yang mengutip angka American Petroleum Institute pada hari Selasa.

Sementara itu, Badai Idalia diperkirakan mencapai kekuatan kategori 3 yakni diklasifikasikan sebagai badai besar, dengan kecepatan angin maksimum setidaknya 111 mph (179 kpj) sebelum menghantam Pantai Teluk Florida pada dini hari Rabu, menurut Pusat Badai Nasional (NHC) yang berbasis di Miami.

Badai tersebut kemungkinan akan berdampak pada sistem distribusi bahan bakar dan mempengaruhi konsumsi bahan bakar di wilayah yang terkena dampak tepat menjelang hari libur federal Hari Buruh pada 4 September mendatang.

Sistem cuaca ini diperkirakan tidak akan berdampak pada platform produksi minyak utama di Teluk Meksiko, AS. Perusahaan minyak Chevron akan terus melanjutkan produksinya sebagai fasilitas minyak dan gas Teluk Meksiko yang dioperasikan Chevron.

Meskipun Idalia mungkin tidak menimbulkan risiko pasokan yang besar, hal ini menunjukkan peningkatan risiko potensi pemadaman listrik dalam beberapa pekan ke depan di Teluk Meksiko.

Selain itu kekhawatiran pasokan masih menghantui. Jumlah rig minyak AS, yang merupakan indikator awal produksi di masa depan, menurun pada bulan Agustus selama sembilan bulan berturut-turut, menurut laporan perusahaan jasa energi Baker Hughes pada hari Jumat kemarin.

Namun, terdapat faktor yang perlu diperhatikan dari penurunan harga minyak kali ini. Harga minyak Brent dan WTI berada di atas US$ 80 per barel pada awal bulan, sehingga belum terdapat sentimen yang dapat menguatkan harga minyak menembus level US$90.

Faktor selanjutnya adalah era suku bunga tinggi menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di mayoritas negara dunia. Minyak mentah sebagai komoditas yang digunakan di seluruh dunia tentunya terdampak adanya masalah ini.

Permasalahan minyak yang datang dari sisi gangguan pasokan berpotensi dapat menjadi bullish saat suku bunga mulai direnggangkan. Hal ini disebabkan perbaikan rantai pasokan memerlukan waktu panjang. Selain itu, harga minyak saat ini tergolong sangat tinggi di tengah kebijakan pengetatan keuangan yang seharusnya menahan laju komoditas energi.

Emas

Emas menjadi pecundang dengan penurunan terburuk sepanjang bulan Agustus. Salah satu faktornya datang dari pidato Jerome Powell dalam pertemuan Jackson Hole yang mengindikasikan akan masih hawkish.

Pernyataan tersebut didasari pandangan terbaru terkait kebijakan moneter dimana The Fed "siap" menaikan suku bunga lebih lanjut apabila "diperlukan". Pernyataan tersebut merujuk pada kesiapan bank sentral yang potensi melanjutkan kebijakan ketat guna mengendalikan inflasi capai target 2%.

Meski emas terkoreksi sepanjang bulan ini, komoditas mewah ini berpotensi menguat kedepannya. Kabar terbaru menunjukkan Job Openings and Labor Turnover Summary (JOLTS) turun lebih buruk dibandingkan ekspektasi pasar.
JOLTS mengukur jumlah lapangan pekerjaan baru di luar sektor pertanian AS selama kurun waktu sebulan.

Jumlah lapangan pekerjaan baru JOLTS turun 338.000 menjadi 8,83 juta pada Juli 2023. Jumlah tersebut adalah yang terendah sejak Maret 2021 dan di bawah ekspektasi pasar sebesar 9,47 juta.

Penurunan pada Juli juga memperpanjang tren negatif karena JOLTS opening kini sudah turun menjadi tiga bulan beruntun. Kabar buruk ini tentu saja menjadi hal yang membahagiakan bagi pelaku pasar ataupun pemilik emas ke depannya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mza/ras)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation