CNBC Indonesia Research

Nikel Loyo! Segini Potensi Cuan VALE, ANTM Cs Sampai Desember

Putra, CNBC Indonesia
30 August 2023 07:10
smelter Vale
Foto: Vale

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten nikel cenderung tertekan seiring minimnya katalis positif dan melemahnya harga nikel akhir-akhir ini di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Harga saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO), misalnya, melorot 10,53% dalam sebulan terakhir. Per 25 Agustus 2023, saham INCO berada di Rp5.950/saham. Sejak awal tahun (year to date/YtD), saham anak usaha Vale Canada Ltd ini ambles 16,20%.

Saham emiten BUMN PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga belum kemana-mana. Dalam sebulan saham ANTM hanya naik 1,02% ke Rp1.990/saham. Demikian pula, scara YtD saham ANTM naik tipis 0,25% saja.

Dua saham emiten nikel pendatang baru, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) besutan Harita Group dan anak usaha Merdeka Group (MDKA) PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) juga tengah defisit momentum.

Saham NCKL, yang melantai (listing) di bursa pada 12 April 2023, turun 0,53% dalam sebulan dan anjlok 24,80% sejak awal penawaran saham perdana (initial public offering/IPO).

Kemudian, saham MBMA yang kendati naik 1,38% dalam sebulan tapi minus 7,55% sejak listing pada 18 April 2023.

Kinerja saham induk MBMA, yakni MDKA, malah lebih buruk. Saham MDKA jeblok 4,73% dalam sebulan dan turun tajam 21,84% sejak awal tahun. Menyoal valuasi, lantaran kinerja bottom-line tertekan, rasio harga saham dibandingkan dengan laba (price-to earnings ratio/PER) MDKA sangat tinggi, mencapai 413,1 kali.

MBMA sendiri tampak memiliki PER yang sangat murah, 1,16 kali. Namun, apabila melihat rasio multiples lainnya, price to-book value/PBV (harga saham dibandingkan dengan nilai buku), valuasi MBMA kemahalan, mencapai 15,65 kali.

Valuasi emiten tambang Kiki Barki PT Harum Energy Tbk (HRUM) menjadi yang termurah, terutama berkat topangan pendapatan dari batu bara yang harganya meninggi pada tahun lalu, yakni 4,78 kali dengan PBV yang masih di 1,63 kali.

ANTM juga memiliki valuasi PER dan PBV yang murah, 7,19 kali dan 1,89 kali.

Harga Nikel

Nikel berjangka (futures) di London Metal Exchange (LME) sedang tertekan. Dalam sebulan, harganya merosot 7,37% ke US$20.795/ton. Sedangkan, secara YtD ambles 30,79%.

Kendati memang, level harga saat ini masih terbilang cukup tinggi, setidaknya sejak 2011-2012 lalu.

Penurunan harga nikel terjadi di tengah kekhawatiran penurunan permintaan akibat ketidakpastian prospek perekonomian global dan lemahnya data China.

Prospek nikel secara umum masih belum bergairah, dengan pasar menghadapi surplus permintaan-penawaran terbesar dalam setidaknya satu dekade.

Sedangkan, harga nikel pig iron (NPI) di China sempat diperdagangkan di bawah US$13 ribu/ton untuk pertama kalinya sejak pandemi Covid-19 tahun 2020.

Ini berkat efek gabungan dari kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi global dan Tiongkok, lemah permintaan baja tahan karat (stainless steel), dan biaya energi yang lebih rendah menyebabkan penurunan harga NPI.

Ekonomi China Loyo

Riset ING pada 10 Juli 2023 menyebut, nikel menjadi logam dengan kinerja terburuk di LME sepanjang tahun ini dengan harga merosot lebih dari 37% pada paruh pertama tahun ini.

Menurut proyeksi ING, kinerja buruk ini kemungkinan akan terus berlanjut menjelang paruh kedua tahun 2023 seiring harga komoditas ini berpotensi akan menguji level yang lebih rendah di tengah gambaran makro yang lemah dan surplus pasar yang berkelanjutan.

Seperti sempat disinggung di atas, berdasarkan analisis ING, salah satu pendorong utama penurunan harga adalah pemulihan permintaan China yang mengecewakan.

China adalah produsen dan konsumen baja tahan karat terbesar di dunia - yang merupakan kunci permintaan nikel, menyumbang 70% dari total konsumsi logam tersebut.

Data terbaru dari China menunjukkan bahwa negara tersebut masih berjuang untuk pulih setelah lockdown Covid-19 yang berkepanjangan.

Aktivitas manufaktur Tiongkok berkembang lebih lambat pada bulan Juni - indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) Caixin, yang mencakup sebagian besar bisnis kecil dan berorientasi ekspor, mencapai 50,5 pada bulan lalu, turun dari 50,9 pada bulan Mei.

PMI resmi, yang cenderung berfokus pada perusahaan-perusahaan besar milik negara, menunjukkan aktivitas manufaktur masih berada di wilayah kontraksi selama tiga bulan berturut-turut.

Terlepas dari rebound atau kebangkitan jangka pendek di sektor manufaktur setelah kebijakan nihil-Covid dicabut pada awal Desember 2022, sektor manufaktur Tiongkok masih tertinggal.

Indeks PMI resmi untuk sektor manufaktur berada di bawah titik impas 50 sejak bulan April.

Suplai dari Indonesia

Lonjakan output Indonesia menjaga pasar nikel tetap surplus pada kuartal ketiga 2023.

Pasokan dari Indonesia terus melonjak untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat dari sektor baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV).

Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia. Indonesia memiliki cadangan logam terbesar di dunia dengan sebagian besar produksi Indonesia berasal dari Kelas 2, bahan dengan kemurnian lebih rendah, yang digunakan dalam produksi baja tahan karat.

Produksi tambang nikel Indonesia tumbuh sebesar 48% menjadi 1,58 juta ton pada 2022, didorong oleh dimulainya proyek nikel pig iron (NPI) dan baja tahan karat, dan sebesar 41% lagi dalam tiga bulan pertama 2023, menurut data dari International Nickel Study Group (INSG).

Peleburan nikel (nickel smelting) telah meluas di Indonesia sejak pemerintah memberlakukan larangan permanen ekspor bijih nikel pada Januari 2020 sebagai upaya untuk menarik investor asing, mendorong pengolahan dalam negeri, dan lebih jauh lagi hilirisasi penggunaan bahan bakunya.

Larangan tersebut telah menarik investor asing, terutama dari China, untuk membangun smelter lokal dan membantu meningkatkan nilai ekspor Indonesia.

Surplus Nikel Kelas 2, Kelas 1 Masih Ketat

Meskipun total pasar nikel diperkirakan akan mengalami surplus pada 2023, nikel Kelas 1, jenis yang dapat dikirim ke LME, relatif ketat. Ini seiring stok LME berada pada titik terendah dalam sejarah, yang seharusnya membatasi tekanan penurunan pada harga nikel tahun ini.

Produksi nikel primer dunia adalah 2.610Mt pada 2021 dan 3.060Mt pada 2022 dan diperkirakan akan mencapai 3.374Mt pada 2023, mengutip data INSG.

Sementara itu, penggunaan nikel primer dunia sebesar 2.779 juta ton pada 2021 dan 2.955 juta ton tahun 2022. INSG memperkirakan akan meningkat menjadi 3.134 juta ton pada 2023.

Setelah defisit sebesar 169kt pada 2021, pasar mengalami surplus sebesar 105kt pada tahun 2022 dan diperkirakan akan mengalami surplus sebesar 239kt pada tahun 2023.

Jika dulu surplus pasar disebabkan oleh nikel Kelas 1, tapi pada 2023 surplus tersebut disebabkan oleh nikel Kelas 2.

Proyeksi Harga Nikel

ING memperkirakan harga nikel akan tetap berada di bawah tekanan dalam jangka pendek seiring dengan meningkatnya surplus di pasar global dan melambatnya perekonomian global sehingga meredam permintaan baja tahan karat.

Menurut ramalan ING, proyeksi harga rata-rata nikel US$21.000/t pada kuartal ketiga dan US$20.000/t pada kuartal keempat. Namun, penurunan akan terbatas karena ketatnya pasar pengiriman LME.

"Akan tetapi, harga akan tetap berada pada tingkat yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga rata-rata sebelum krisis nikel di LME karena peran nikel dalam transisi energi global dan daya tarik logam ini bagi investor sebagai logam ramah lingkungan yang penting akan mendukung harga yang lebih tinggi dalam jangka panjang," jelas ING, dikutip CNBC Indonesia, Senin (28/8).

Ke depan, ING memperkirakan harga rata-rata nikel akan berada di US$20.000/t pada 2024 dan US$23.000/t pada 2025.

Melihat analisis di atas, tampaknya belum banyak katalis yang akan mendorong saham nikel dalam jangka pendek. Namun, adanya peluang investasi yang besar di sektor ini, termasuk seiring hilirisasi nikel, bisa menawarkan kesempatan yang baik untuk mengoleksi saham nikel sebagai antisipasi siklus komoditas ke depan.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(trp/trp)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation