
Banjir Pasokan Bikin Harga Nikel Gigit Jari, Apa Efeknya ke Emiten RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten nikel cenderung tertekan seiring produksi Indonesia sebagai produsen terbesar dunia yang meningkat, sehingga harga nikel melemah. Tidak hanya itu, hal ini menyebabkan banyaknya perusahaan nikel luar negeri yang menutup tambangnya.
Penurunan harga saham nikel sudah terlihat sepanjang 2024. Melansir Refinitiv, secara year to date (YTD), harga saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO), melorot 15,08%. Saham emiten BUMN PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) juga terkoreksi 17,30%.
Dua saham emiten nikel pendatang baru, PT Trimegah Bangun Persada Tbk (NCKL) besutan Harita Group dan PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) juga terkoreksi. PT Merdeka Battery Materials Tbk (MBMA) menjadi satu-satunya yang menguat.
Saham NCKL, yang melantai (listing) di bursa pada 12 April 2023, turun 17% (YTD). Saham MDKA juga terkoreksi 10,74% (YTD). Kemudian, saham MBMA yang listing pada 18 April 2023 menjadi satu-satunya saham nikel yang menguat sebesar 16,07% (YTD).
Anjloknya Harga Nikel Menjadi Sentimen Koreksi Harga Saham
Mengutip Trading Economics, harga nikel per 7 Februari 2024 berada di level US$ 15.753 per ton, harga nikel telah terkoreksi 1,6% secara bulanan. Harga nikel juga terkoreksi dari titik tertingginya pada 7 Maret 2022 yang berada di US$ 48.226 per ton. Secara YTD, harga nikel telah turun sebesar 2,46%.
Penurunan harga nikel berdampak pada keuntungan pemilik tambang nikel menyusut. Hal ini disebabkan oleh pasokan global yang berlebih membuat harga nikel jatuh, mendorong sejumlah produsen besar dan kecil untuk menghentikan produksi.
Pasokan berlebih disebabkan oleh masifnya produksi penghasil terbesar dunia, yaitu Indonesia. Data menunjukkan bahwa persediaan nikel telah meningkat hampir 90% sejak Juni di London Metal Exchange, memperlihatkan adanya kelebihan pasokan global. Colin Hamilton, direktur pelaksana riset komoditas di BMO Capital Markets Ltd., mengatakan, "Tekanan di pasar nikel global menjadi semakin nyata."
Situasi ini terjadi bersamaan dengan penurunan impor nikel ke China, yang mengalami penurunan hingga level terendah dalam 10 tahun terakhir. Reuters melaporkan bahwa China mulai meningkatkan impor logam jenis lain dari Indonesia sebagai gantinya. Sebagian besar impor dari Indonesia adalah nickel pig iron (NPI) yang digunakan untuk baja tahan karat di China. Namun, saat ini, China lebih memilih bentuk lain seperti nikel matte. Impor matte dari Indonesia melonjak dari 10.800 ton pada 2020 menjadi 300.500 ton pada 2023, dengan Indonesia menyumbang 93% dari total impor.
Meski demikian, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menanggapi isu ini dengan menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menutup tambang nikel. "Biar saja tambang dunia tutup, asalkan kita tidak ikut-ikutan," kata Luhut di Jakarta (7/2/2024). Indonesia dianggap sebagai "biang kerok" atas penutupan tambang nikel global karena banyaknya fasilitas pemurnian nikel di negara ini yang membanjiri pasar dunia.
Saham emiten nikel cenderung mengalami tekanan karena peningkatan produksi nikel di Indonesia, yang merupakan produsen terbesar dunia. Hal ini menyebabkan harga nikel melemah dan banyak perusahaan nikel luar negeri menutup tambangnya. Penurunan harga saham nikel terlihat sepanjang tahun 2024, dengan saham beberapa emiten, seperti INCO, ANTM, NCKL, MDKA, kecuali MBMA yang menguat.
Sentimen koreksi harga saham dipicu oleh anjloknya harga nikel, yang turun 1,6% secara bulanan dan 2,46% secara year to date (YTD). Penurunan harga nikel ini juga mempengaruhi keuntungan pemilik tambang nikel karena adanya pasokan global yang berlebih, terutama karena produksi besar-besaran di Indonesia. Selain itu, penurunan impor nikel ke China juga berdampak, dengan China beralih ke impor logam jenis lain dari Indonesia.
Meskipun terjadi penutupan tambang nikel di beberapa negara, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menutup tambang nikel. Indonesia dianggap sebagai penyebab penutupan tambang nikel global karena fasilitas pemurnian nikel yang melimpah di negara ini. Dengan demikian, situasi ini menciptakan tantangan bagi emiten nikel di pasar saham yang harus menghadapi tekanan harga dan kondisi pasokan global yang berlebih.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)