CNBC Insight

Zaman Belanda Jakarta Jadi 'Surga' Kini Neraka Polusi

Muhammad Fakhriansyah, CNBC Indonesia
25 August 2023 10:45
Sejumlah karyawan melihat gedung bertingkat yang tertutup oleh kabut polusi di Jakarta, Senin, (14/8). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Maraknya polusi udara di Jakarta membuat banyak orang geleng-geleng kepala. Pasalnya, Jakarta kerap berada di peringkat teratas versi AQI kualitas udara terburuk di dunia. Bahkan, beberapa kali mencapai level beracun dan sangat tidak sehat. 

Banyak pihak yang memperdebatkan sumber utama polusi di DKI Jakarta dan sekitarnya. Ada yang menuding ini disebabkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara. Namun, ada pula yang menyebutkan bahan bakar kendaraan bermotor juga menjadi pencemar emisi karbon.

Terlepas dari itu berbagai upaya pun sudah dilakukan pemerintah. Mulai dari pembuatan hujan buatan, penerapan Work From Home bagi ASN, hingga upaya pemberhentian sementara sumber polusi udara seperti PLTU batu bara.

Kendati demikian, buruknya kualitas di Jakarta sudah dirasakan sedari dulu, bahkan sejak zaman kompeni. 

Jakarta Pernah Jadi 'Surga"

Sejak awal pendiriannya pada 1619, Jakarta atau Batavia tidak dirancang sebagai kota metropolitan. VOC merancangnya sebagai kota berpenduduk sedikit. VOC bahkan memberlakukan kuota batas maksimal sekitar 10 ribu penduduk yang tinggal di Batavia. Ini dilakukan untuk mempertahankan kualitas hidup masyarakat.

Agar lebih nyaman, J.P Coen bahkan merancang Batavia layaknya kota-kota di Belanda. Ada gedung mewah, rumah khas Belanda, banyak pohon, dan sungai lengkap dengan perahu kecil. Berkat kebijakan ini Batavia lantas dijuluki Koningen van het Oosten atau Ratu dari Timur, saking indahnya.

Seiring waktu, Batavia yang jadi pusat administrasi dan ekonomi dalam sekejap menjadi magnet masyarakat. Masyarakat dari berbagai daerah, baik itu datang secara sukarela atau dipaksa, ingin tinggal di sana.

Situasi ini lantas membuat VOC memperluas wilayahnya ke Barat, Timur, dan Selatan. Sayang, alih-alih membawa keuntungan, kedatangan para migran ini justru menjadi awal bencana di Batavia.

Akibatnya, sejak tahun 1680-an, Batavia menjadi sangat padat. Dalam catatan Hendrik E. Niemeijer dalam Batavia Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012), Batavia yang idealnya hanya dapat menampung 10 ribu orang, kini dihuni 15-20 ribu orang.
Dampaknya membuat Batavia menjadi kelebihan penduduk, sehingga menimbulkan segudang masalah.

Belakangan, mereka berperilaku jorok karena kerap membuang sampah dan kotoran di sungai. Sungai yang semula jadi sumber air alami untuk hidup menjadi tidak bisa diakses. Alhasil, air bersih menjadi langka. Tidak hanya itu, kotornya air sungai juga mengundang penyakit berbahaya.

Nyamuk dan bakteri dapat tumbuh bebas. Muncullah penyakit endemik seperti DBD, malaria, dan kolera. Belum lagi, sungai yang kotor karena sampah membuat Batavia menjadi rentan banjir ketika hujan datang.

Dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011), masalah tersebut kian rumit ketika VOC sebagai pengurus administrasi kota tidak peduli terhadap situasi yang ada.

Kongsi dagang Belanda itu malah semakin membabat habis lahan hijau dan memperbolehkan pabrik-pabrik berdiri. Masifnya pendirian pabrik membuat Batavia semakin kotor. Limbah industri mencemari air dan udara. Masyarakat pun semakin tidak nyaman dan angka harapan hidup masyarakat pun menurun. Sedangkan, VOC tidak bisa berbuat banyak karena masalah sudah terlanjur meluas. 

Ajibatnya, akumulasi dampak dari semua ini membuat kualitas hidup masyarakat Batavia turun drastis. Banyak dari penduduk yang meninggal karena wabah penyakit. Seketika, julukan 'Ratu dari Timur' lenyap. Bagi mereka yang punya uang pindah kota adalah opsi terbaik. Namun, mereka yang miskin terpaksa berdiam diri dan beradaptasi dengan kotornya Batavia, yang tak berubah sampai sekarang.

(mfa/mfa)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation