
Hari Ini BI akan Tentukan Nasib: Ikut AS, China, Atau Jepang?

Hari ini investor akan menyimak sejumlah kabar, baik dari dalam ataupun luar negeri, yang akan menjadi penggerak pasar.
Dari dalam negeri, investor yang jelas tengah menunggu keputusan suku bunga BI yang akan diumumkan siang nanti. BI diperkirakan akan tetap mempertahankan suku bunga acuan di level 5,75% pada bulan ini untuk menjaga nilai tukar di tengah meningkatnya ketidakpastian global.
BI akan menggelar RDG sejak Rabu kemarin dan akan mengumumkan hasil RDG pada hari ini
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksi bank sentral RI akan menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR). Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, semuanya memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 5,75%.
Suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.
Suku bunga sebesar 5,75% sudah berlaku sejak Januari tahun ini. BI mengerek suku bunga sebesar 225 bps dari 3,50% pada Juli 2022 menjadi 5,75% pada Januari tahun ini.
Suku bunga kemudian dipertahankan pada level tersebut dalam enam pertemuan terakhir.
Kubu MH Thamrin diperkirakan masih akan menahan suku bunga meskipun inflasi jauh melandai. BI belum bisa memangkas suku bunga karena masih besarnya tekanan eksternal, terutama dari Amerika Serikat (AS).
Pelaku pasar keuangan global kini memperkirakan ada potensi bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) mengerek suku bunga pada pertemuan September mendatang.
Potensi kenaikan tersebut tercermin dalam risalah rapat Federal Open Market Committee (FOMC) yang keluar pekan lalu serta merangkaknya inflasi AS.
Dalam risalah tersebut The Fed menegaskan kembali pentingnya memerangi inflasi. Pernyataan ini secara implisit menegaskan jika The Fed tak ragu menaikkan suku bunga demi menjaga inflasi.
Inflasi AS merangkak ke 3,2 % (year on year/yoy) pada Juli tahun ini, dari 3,0% (yoy) pada Juni.
Survei yang dilakukan CMEFedWatch Tool menunjukkan jika 88,5% pasar bertaruh Teh Fed akan mempertahankan suku bunga sementara 11,5% memperkirakan adanya kenaikan pada September mendatang.
Ekspektasi kenaikan suku bunga AS membuat dolar AS melambung dan imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS terbang. Indeks dolar terbang ke level tertinggi dalam dua bulan ke 103,5 pada Kamis pekan lalu (17/8/2023).
Sementara itu, imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun menembus 4,34% atau bergerak di level tertingginya dalam 16 tahun terakhir.
Penguatan dolar AS menandai mata uang Greenback tengah dicari sementara mata uang lain dibuang, seperti rupiah. Kondisi ini membuat nilai tukar rupiah terpuruk.
Mata uang Garuda sudah ambruk sekitar 1,59% sepanjang Agustus ini. Pelemahan jauh lebih dalam dibandingkan Juli yang tercatat 0,56%.
Dalam RDG bulan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan nilai tukar kini menjadi fokus BI saat ini setelah inflasi tidak lagi menjadi kekhawatiran. Artinya, BI belum memiliki ruang untuk memangkas suku bunga selama rupiah dalam tekanan hebat seperti saat ini.
Padahal, inflasi ataupun prospek ekonomi dalam negeri menopang BI untuk melonggarkan kebijakan.
Inflasi Indonesia melandai dengan cepat dari 5,95% (yoy) pada September 2022 menjadi 3,08% (yoy) pada Juli 2023. Inflasi inti juga sudah melandai dari 3,36% (yoy) pada Desember 2022 menjadi 2,43% (yoy) pada Juli 2023.
Padahal, BI sebelumnya memproyeksi inflasi baru akan bergerak di angka 3% pada September 2023.
Ekonomi Indonesia di luar dugaan juga mampu tumbuh 5,17% (yoy) pada kuartal II-2023. Ekonomi yang masih kencang ini membuktikan permintaan dalam negeri sudah pulih setelah diterjang pandemi.
Kendati demikian, ada kekhawatiran baru bagi BI yakni defisit transaksi berjalan dan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Transaksi berjalan dan NPI sama-sama berbalik arah menjadi defisit pada kuartal II-2023 dari surplus pada kuartal sebelumnya.
Defisit disebabkan oleh melemahnya ekspor serta besarnya capital outflow.
Transaksi berjalan Indonesia membukukan defisit sebesarUS$1,9 miliar atau 0,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II-2023. Defisit ini adalah yang pertama sejak kuartal II-2021
NPI mencatat defisit sebesar US$ 7,37 miliar pada kuartal II-2023. Defisit ini adalah yang pertama sejak kuartal III-2022. Defisit pada April-Juni 2023 juga berbanding terbalik dengan surplus sebesar US$ 6,52 miliar pada Januari-Maret 2022.
Defisit pada transaksi berjalan menjadi risiko baru bagi rupiah karena menandai melemahnya fundamental ekonomi, terutama dari sisi ekspor dan pasokan dolar.
Ekspektasi kenaikan suku bunga acuan serta masih besarnya tren kenaikan suku bunga global juga membuat BI dalam persimpangan untuk menentukan suku bunga acuan ke depan.
Seperti diketahui, sejumlah bank sentral justru kini semakin mengetatkan kebijakan moneternya untuk menjaga nilai tukar atau menekan inflasi. Di antaranya adalah bank sentral Argentina, bank sentral Eropa, dan bank sentral Turki.
Bank sentral Jepang (BoJ) juga mengetatkan kebijakan moneternya meski baru tahap melonggarkan yield curve control dan belum pada tahap menaikkan suku bunga.
Selain BI, dua bank sentral lain juga akan memutuskan suku bunga pada hari ini yakni bank sentral Korea Selatan (Korsel) dan bank sentral Turki.
Bank sentral Korea diperkirakan akan menahan suku bunga acuan di level 3,5% pada hari ini. Suku bunga level tersebut sudah ditahan dalam empat pertemuan terakhir sejalan dengan melandainya inflasi.
Sebaliknya, bank sentral Turki mengambil langkah moneter ekstrem dengan mendongkrak suku bunga utama sebesar 250 bps menjadi 17,5% pada Juli. Langkah pengetatan ini melanjutkan kebijakan agresif bank sentral Turki yang mengerek suku bunga gila-gilaan sebesar 650 bps pada Juni 2023.
Keputusan yang diketuk Juni dan Juli tersebut merupakan imbas dari lonjakan inflasi Negara Bulan Sabit. Inflasi Turki melesat hingga menyentuh 85,51% (year on year/yoy) pada Oktober 2022. Inflasi sebenarnya sudah melandai menjadi 47,83% pada Juli 2023 tetapi bank sentral Turki mengatakan akan ada pengetatan moneter lebih lanjut secara bertahap sampai gambaran inflasi di negara tersebut membaik.
Kenaikan suku bunga 650 basis poin tersebut adalah yang pertama di negara itu sejak Maret 2021. Namun, besarannya masih di bawah ekspektasi analis yang meramalkan kenaikan hingga 1.150 basis poin menjadi 20%.
Perbedaan mencolok antara Turki dan Korea Selatan menunjukkan jika kebijakan suku bunga di tingkat global bergerak tak sejalan meskipun sebagian besar masih dalam fase pengetatan.
Bank sentral AS The Fed, bank sentral Eropa, bank sentral Inggris, bank sentral Swiss, bank sentral Argentina, bank sentral Rusia, dan bank sentral Turki adalah bank sentral yang masih memberlakukan kebijakan ketat.
Sebaliknya, bank sentral China (PBoC) justru melawan arus dengan memangkas suku bunga pada bulan ini guna menopang pertumbuhan.
Terdapat pula bank-bank sentral yang mempertahankan suku bunga seperti bank sentral Jepang, bank sentral Arab Saudi, bank sentral India, dan bank sentral Korea Selatan.
Sentimen penting lain yang harus menjadi perhatian adalah data klaim tunjangan pengangguran AS untuk pekan yang berakhir pada 19 Agustus 2023. Pada pekan sebelumnya, klaim pengangguran merosot 11.000 menjadi 239 ribu. Penurunan jumlah warga AS yang mengklaim pengangguran ini menunjukkan jika pasar tenaga kerja AS masih panas.
Kondisi ini bisa membawa The Fed kembali pada pengetatan suku bunga.
Selain itu, kehadiran Indonesia dalam KTT BRICS (Brasil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan), selama tiga hari mulai Selasa (22/8) hingga Kamis (24/8) mendatang tidak lepas dari sorotan mata pelaku pasar.
Simposium ekonomi Jackson Hole, seperti yang sudah disinggung di paragraf-paragraf atas, akan dimulai pada hari ini waktu AS. Investor akan mencermati simposium ini. Bos The Fed Powell sendiri akan pidato di Jackson Hole pada Jumat.
(trp/mae)