
Eropa Bakal Nyesel Seumur Hidup Jika Jegal Harta Karun RI Ini

- Pertanian merupakan salah satu sektor penting dalam sistem perekonomian Indonesia.
- Subsektor perkebunan dari potensi kakao Indonesia dinilai paling menjanjikan bagi perdagangan Indonesia.
- Namun, ada tantangan hebat yang mengancam komoditas perkebunan ini, yang dapat menghambat RI mendapatkan 'durian runtuh'.
Jakarta, CNBC Indonesia - Salah satu sektor yang cukup penting yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia yakni sektor pertanian.
Indonesia bisa tampil percaya diri di hadapan masyarakat dunia karena memiliki sektor pertanian yang mulai berkembang ke arah lebih baik.
Dalam sektor pertanian, ada sub sektor perkebunan yang paling strategis dan memberikan kontribusi yang besar terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia karena merupakan komoditas ekspor andalan dari sektor pertanian.
Salah satu hasil perkebunan andalan Indonesia yakni Kakao, yang dapat mendatangkan banyak rejeki ke petani dan devisa negara.
Belakang beberapa komoditas pertanian dijegal karena alasan berkontribusi terhadap deforestasi, istilah yang menggambarkan pembukaan lahan dengan cara menebang hutan atau pohon menjadi lahan non-hutan.
Komisi Uni Eropa (UE) pada 6 Desember 2022 lalu menyetujui Undang-Undang (UU) produk bebas deforestasi. Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan. Kebijakan Uni Eropa yang dikemas dalam The European Green Deal (EGD).
Dengan target mencapai netralitas karbon apa tahun 2050 dan mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 55% pada tahun 2030.
Begitu diadaptasi dan diimplementasikan, UU ini akan menutup rantai pasok yang masuk ke kawasan itu dari produk-produk yang dianggap menyumbang deforestasi dan degradasi lahan dan langsung berdampak pada komoditas pertanian di Tanah Air.
![]() A worker harvests arabica coffee cherries at a plantation near Pangalengan, West Java, Indonesia May 9, 2018. Picture taken May 9, 2018. REUTERS/Darren Whiteside |
Padahal, Lapangan Usaha Pertanian Kehutanan dan Perikanan menempati posisi kedua dengan kontribusi sebesar 13,28% atau Rp. 2.254 triliun terhadap total PDB sebesar Rp. 16.971 triliun.
Untuk diketahui, hingga tahun 2021 sektor pertanian mengalami pertumbuhan sekitar 1,84% dengan kontribusi terhadap perekonomian nasional hingga sebesar 13,28%.
Pada pertengahan tahun 2022, sektor pertanian juga menunjukkan pertumbuhan positif 1,37% dan memiliki kontribusi hingga 12,98% terhadap perekonomian nasional.
Sedangkan dari subsektor perkebunan, rata-rata kontribusi terhadap PDB RI mencapai 3,51% selama periode 2016-2021. Sedangkan tanaman pangan 3,03%, peternakan 1,61%, hortikultura 1,52 persen, dan jasa peternakan lainnya 0,19%.
Komoditas ekspor utama dari sub sektor Perkebunan berdasarkan nilai ekspornya pada tahun 2021 terdiri dari kelapa sawit dengan kontribusi mayoritas sebesar 74,48%, dimana Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia.
Selain itu ada pula karet menempati posisi kedua dengan nilai kontribusi 10,15%, disusul kelapa yakni 4,06%, kakao dengan nilai kontribusi sebesar 2,97%, kopi dengan nilai kontribusi 2,10% dan komoditas perkebunan lainnya dengan kontribusi sebanyak 6,23%.
Dari semua komoditas ini, sayangnya ini bakal kena jegal Uni Eropa imbas bagian dari rangkaian kebijakan Uni Eropa yakni EGD.
Melansir dari White and Case, Peraturan Deforestasi UE ini mengamanatkan uji tuntas ekstensif pada rantai nilai untuk semua operator dan pedagang yang berurusan dengan produk tertentu yang berasal dari ternak, kakao, kopi, kelapa sawit, karet, kedelai, dan kayu.
Ketujuh produk ini ditekankan syarat agar produk yang ditargetkan harus bebas deforestasi untuk dapat dijual di pasar UE atau diekspor darinya. Selain itu, barang yang relevan juga harus tercakup dalam pernyataan uji tuntas dan diproduksi sesuai dengan undang-undang setempat yang berlaku.
Maka bisa disimpulkan bahwa ekspor Indonesia juga diramal bakal terganggu jika komoditas penyumbang PDB Indonesia dari sektor ini terganggu.
Di lain sisi, mungkin persoalan sawit sudah sering di basah, namun kini yang menjadi menarik adalah komoditas pertanian dari Kakao alias bahan baku coklat.
Mengapa menarik di bahas? Bukan tanpa alasan, Uni Eropa dinilai bakal terdampak dari kebijakan yang ia buat sendiri.
![]() A farmer collects latex at a rubber plantation in Buon Ma Thuot City, in Vietnam's central highland April 2, 2010. REUTERS/Kham |
Bak senjata makan tuan, pasalnya Uni Eropa mengkonsumsi produk yang dilarangnya. Sudah bukan rahasia bahwa masyarakat Eropa sangat menyukai cokelat, baik dalam bentuk padat maupun dalam sajian minuman hangat.
Di tahun 2022, nilai impor kakao Uni Eropa tercatat mencapai senilai UUS$ 7,41 miliar. Meski menurun dibanding tahun sebelumnya, namun angka ini tetap yang paling besar dari negara-negara lain.
Tingginya tingkat konsumsi cokelat di kalangan rakyat Eropa tentu jadi daya tarik sendiri bagi produsen dan eksportir kakao Indonesia.
Menariknya, mayoritas justru impor dari berbagai negara. Salah satu pemasok terbesar produk cokelat Uni Eropa adalah Indonesia. Industri pengolahan kakao ada di Indonesia semua. Pabrik cokelat di dunia yang besar ada di Indonesia, Mars, Cargill, Nestle ada di Indonesia.
Pada daftar berikut ada 10 perusahaan cokelat dengan penjualan terbesar di dunia berdasarkan data yang dirilis tahun 2022. Dengan data ini, adakah perusahaan multinasional yang melibatkan Uni Eropa di dalamnya?
Lihat saja, Lindt & Sprungli AG merupakan perusahaan dengan penjualan coklat terbesar mencapai angka US$ 4,6 miliar. Perusahaan makanan manis dari Swissyang didirikan pada tahun 1845 dan terkenal akan truffle cokelat dan cokelat batangannya, di antara permen lainnya.
Selain itu, bercokol pula nama Nestle SA yang merupakan perusahaan produsen makanan dan minuman terbesar di dunia yang berkantor pusat di Vevey, Swiss dan telah beroperasi selama 150 tahun. Ia juga berdiri di Indonesia dan namanya tentu sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia.
