
Eropa Bakal Nyesel Seumur Hidup Jika Jegal Harta Karun RI Ini

Selama ini, kontribusi subsektor perkebunan tercermin dari besarnya penyerapan tenaga kerja. Tenaga kerja subsektor perkebunan merupakan terbesar ketiga setelah peternakan dan tanaman pangan dengan nilai 19,08%.
Kemudian neraca perdagangan perkebunan juga selalu positif selama periode 2015-2019. Sedangkan neraca perdagangan subsektor lainnya negatif.
Meskipun subsektor perkebunan telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional, namun nilai tambah produk perkebunan masih rendah. Hal ini tercermin dari volume ekspor hasil produk olahan komoditi perkebunan masih didominasi oleh produk mentah atau intermediate.
Dari sisi Kakao sendiri merupakan salah satu komoditas perkebunan strategis yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional karena sebagai penyedia lapangan kerja, sumber devisa negara dan sumber pendapatan bagi petani.
Saat ini Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara produsen kakao dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.
Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan cukup pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Luas areal perkebunan kakao tahun 2001 tercatat sebesar 0.82 juta ha dan di tahun 2020 menjadi 1,53 juta ha atau meningkat sebesar 54,51%.
Namun, jika dilihat dari periode berbeda perkembangan luas areal kakao Indonesia selama periode tahun 2013-2022 mengalami penurunan sebesar -1,80% per tahun
Perkebunan kakao menurut status pengusahaan dalam periode 10 tahun terakhir (2012-2021), sebagian besar dikelola oleh Perkebunan Rakyat (97,57%), 1,01% dikelola Perkebunan Besar Negara (PBN) dan sisanya 1,42% dikelola Perkebunan Besar Swasta (PBS).
Berdasarkan data BPS, produksi kakao di Indonesia sebanyak 667.300 ton pada 2022. Jumlah tersebut lebih rendah 3,04% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang mencapai 688.200 ton.
Melihat trennya, produksi komoditas yang menjadi bahan baku cokelat tersebut mengalami tren menurun sejak 2019 hingga saat ini.
Kondisi itu salah satunya disebabkan oleh banyaknya pohon kakao yang sudah tua, sehingga tak lagi produktif. Adapun, Sulawesi Tengah menjadi provinsi yang paling banyak memproduksi kakao. Jumlahnya tercatat sebanyak 126.000 ton sepanjang tahun lalu.
Perkembangan produksi kakao Indonesia pada periode 2013-2022 juga berfluktuasi dengan rata-rata pertumbuhan naik tipis sebesar 0,96% per tahun. Pada tahun 2013 produksi kakao Indonesia sebesar 721 ribu ton kemudian tahun 2022 (estimasi Ditjen Perkebunan) menjadi sebesar 732 ribu ton.
Dari hasil estimasi Ditjen Perkebunan, produksi kakao tahun 2022 (732 ribu ton) akan naik 3,63% dibandingkan tahun 2021 (707 ribu ton). Produksi tertinggi selama periode tahun 2012-2021 terjadi pada tahun 2018 yaitu sebesar 767,28 ribu ton.
Hasil olahan dari kakao berupa coklat disukai hampir semua orang dari berbagai usia dan status sosial.
Tingginya konsumsi cokelat juga didasari fakta bahwa cokelat bermanfaat pada kesehatan manusia.
Salah satunya adalah mengurangi resiko penyakit jantung dimana cokelat, terutama cokelat hitam, memiliki kandungan zat flavanoid yang tinggi antioksidan untuk meminimalisir resiko penyakit jantung.
Menurut studi yang dilakukan Universitas New England pada tahun 2014, zat flavanoid yang terkandung di cokelat juga berfungsi untuk meningkatkan memori otak pada manusia.
Berdasarkan kajian Kementerian Pertanian, dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia apabila dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao yang berasal dari Ghana.
Kakao Indonesia mempunyai keunggulan yaitu tidak mudah meleleh atau titik leleh tinggi (high melting point) meskipun rasa agak masam karena rendahnya kandungan Free Fatty Acid (FFA), namun karena keunggulannya maka kakao Indonesia sangat dibutuhkan dalam industri pengolahan coklat, khususnya untuk industri kosmetik dan farmasi.
Sejalan dengan keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik untuk ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan cukup terbuka.
Namun dari potensi ini, sayangnya Volume ekspor kakao Indonesia pada periode 10 tahun terakhir memiliki tren yang menurun dengan rata-rata -0,39% per tahunnya.
Volume ekspor kakao tertinggi pada tahun 2013 (414 ribu ton) dan volume terendah pada tahun 2016 (330 ribu ton).
Sedangkan volume impor kakao Indonesia secara nominal lebih rendah dari volume ekspornya, tetapi memiliki tren yang menaik sangat signifikan mencapai 29,70% setiap tahunnya.
Pada tahun 2011-2020, rata-rata pertumbuhan nilai ekspor kakao bernilai negatif sebesar -0,25% per tahun. Nilai ekspor kakao tertinggi dicapai pada tahun 2011 sebesar US$ 1,35 milyar.
Sementara itu pertumbuhan nilai impor kakao pada periode yang sama jauh lebih tinggi menembus 21,45% per tahun, dengan nilai impor kakao tertinggi terjadi pada tahun 2019 sebesar US$ 776 juta.
Terakhir, yang harus diketahui bahwa Negara tujuan ekspor kakao Indonesia tersebar ke benua Amerika, Eropa dan Asia.
Negara tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah Malaysia dengan volume ekspor rata-rata sebesar 124 ribu ton (31,20%) sepanjang tahun 2016-2020. disusul Amerika Serikat (14,84%), India (5,96%), dan RRT (5,53%).
Negara tujuan ekspor lainnya dengan pangsa pasar kurang dari 5% adalah Belanda, Filipina, Jerman, Australia, Brazil.
Menurut Kementerian Pertanian, pangsa pasar lain yang masih terbuka lebar untuk dilakukan penetrasi pasar bagi komoditas olahan kakao adalah negara-negara di benua Afrika seperti Mesir yang memiliki minat terhadap cocoa powder asal Indonesia.
Di sisi lain, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terus berupaya meningkatkan kinerja industri pengolahan kakao di Indonesia agar lebih produktif dan berdaya saing global.
Apalagi, industri pengolahan kakao merupakan salah satu kelompok industri yang memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(chd/chd)