
Punya "Tambang Emas" Baru yang Diburu Dunia, RI Malah Gigit Jari

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga kakao dunia telah mengalami peningkatan signifikan sejak 2021 karena kurangnya pasokan dan melonjaknya permintaan dunia. Lonjakan harga ini kurang bisa dinikmati Indonesia karena produksi yang terus menurun.
Menurut data dari World Bank Commodities Price Data, harga kakao meningkat dari $2,43/kg atau sekitar Rp 37.628/kg (US$1= 15.485) pada 2021 menjadi $8,52/kg (Rp 131.932/kg) pada kuartal kedua 2024. Peningkatan harga ini mencerminkan kondisi pasar yang ketat, terutama dipengaruhi oleh penurunan produksi di beberapa negara produsen utama serta gangguan yang disebabkan oleh perubahan iklim dan penyakit tanaman.
Lonjakan harga juga tercermin dari pasar future kakao. Merujuk Refinitiv, harga kakao di kontrak future sdah menembus US$ 9.821 per ton atau setara dengan Rp 152,08 triliun. Harga kakao menguat 13,7% dalam sepekan, melonjak 21,4% dalam sebulan dan terbang 134,06% sepanjang tahun ini.
Harga kakao melesat sejak 2021 bahkan sempat mencetak rekor sepanjang masa pada 19 April 2024 yakni menembus US$ 11.878/ton atau Rp 183,93 juta/ton.
Kakao bahkan menjadi komoditas dengan kenaikan harga paling tinggi dalam setahun terakhir. Kakao hanya kalah dari telur di Amerika Serikat (AS) yang melonjak lebih dari 200%. Kenaikan kakao bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan emas yakni sekitar 30%.
![]() Buah Kakao. (Dok. Freepik) |
Kenaikan harga kakao didukung dari sisi pasokan yang mulai terganggu. Kondisi cuaca yang tidak mendukung, penyelundupan, dan penyakit pucuk bengkak berkontribusi terhadap kenaikan harga kakao atau cokelat, yang mengakibatkan rendahnya hasil panen di Pantai Gading, yang memproduksi hampir 40% biji kakao dunia, dan Ghana, yang memproduksi 20%.
El Nino, pola cuaca yang menyebabkan kekeringan di Afrika Barat, berdampak signifikan terhadap produksi kakao di negara-negara tersebut.
Angin musiman yang kencang dan kurangnya curah hujan juga berkontribusi terhadap kelangkaan ini, sehingga memaksa para pedagang berebut pasokan dan menaikkan harga kakao.
Dunia bahkan terus menghadapi defisit pasokan kakao terbesar lebih dari 60 tahun dan konsumen mungkin mulai merasakan dampaknya pada akhir tahun ini atau awal tahun 2025. Organisasi Kakao Internasional memperkirakan defisit pasokan sebesar 374,000 ton untuk musim 2023 hingga 2024, meningkat 405% dari defisit 74,000 ton pada musim sebelumnya.
![]() Buah Kakao. (Dok. Pixabay) |
Tanaman telah terserang penyakit polong hitam dan virus tunas bengkak serta banyak pohon yang telah melampaui potensi hasil maksimalnya karena belum ada penanaman besar-besaran sejak awal tahun 2000an.
Hujan deras memperburuk masalah penyakit pada tanaman dan fenomena cuaca El Niño juga menyebabkan kondisi lebih kering yang mengakibatkan lebih rendahnya hasil panen kakao pada tahun-tahun sebelumnya. Angin musiman yang merusak tahun ini lebih ekstrem, dan juga mempengaruhi hasil panen.
Sayangnya, berkah kakao global kurang bisa dimaksimalkan di Indonesia. Indonesia, salah satu produsen kakao terbesar di dunia, terus mencatatkan penurunan produksi berturut-turut sejak 2018.
Pada 2018, produksi mencapai 751,7 ribu ton, namun angka ini terus menurun hingga mencapai 640,7 ribu ton pada 2023. Penurunan produksi ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk perubahan iklim yang tidak menentu, serangan hama, dan kurangnya investasi dalam teknologi pertanian yang modern.
Sebagai contoh, di Indonesia, penggunaan teknologi yang lebih canggih untuk pemupukan dan pengendalian hama masih terbatas, terutama di kalangan petani kecil yang mendominasi sektor ini. Hal ini kontras dengan beberapa negara produsen lainnya seperti Pantai Gading dan Ghana, di mana pemerintah setempat telah mulai mengadopsi pendekatan yang lebih terstruktur untuk menangani tantangan yang dihadapi industri kakao mereka.
Perbandingan dengan Negara Produsen Lain
Di Afrika Barat, yang mencakup negara-negara seperti Pantai Gading dan Ghana-dua produsen kakao terbesar dunia-produksi kakao juga menghadapi tantangan serupa. Namun, pemerintah di negara-negara ini telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah, seperti meningkatkan akses petani terhadap pestisida dan melakukan program peremajaan tanaman. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan produksi kakao pada musim panen 2024-2025. Meskipun demikian, masalah seperti penyakit Swollen Shoot dan perubahan iklim masih menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan produksi.
Berbeda dengan Indonesia, Pantai Gading dan Ghana menerapkan harga pembelian di tingkat petani (farm-gate prices) yang ditentukan oleh pemerintah, yang bertujuan untuk melindungi petani dari fluktuasi harga yang tidak terduga. Namun, kebijakan ini juga membatasi insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi, terutama di tengah lonjakan harga pasar global.
Prospek Masa Depan dan Dampaknya pada Pasar Kakao Global
Meskipun produksi di Afrika Barat diperkirakan akan meningkat, harga kakao global diproyeksikan tetap tinggi. Ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk peningkatan permintaan global yang terus bertumbuh, terutama dari negara-negara dengan tingkat konsumsi cokelat yang tinggi, serta ketidakpastian cuaca yang terus berlanjut.
Di Indonesia, jika tren penurunan produksi ini tidak segera diatasi, maka bisa ada kemungkinan hilangnya atau berkurangnya pangsa pasar kakao dunia yang signifikan. Pemerintah dan para pemangku kepentingan perlu mengambil langkah-langkah yang lebih agresif, seperti memperbaiki infrastruktur pertanian, meningkatkan akses petani terhadap teknologi dan sumber daya, serta memperkuat program penelitian dan pengembangan untuk menciptakan varietas tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan iklim dan penyakit.
Ekspor kakao Indonesia ada beragam bentuk mulai dari bubuk, biji, pasta hingga kelompok mentega, lemak, dan minyak.
Ekspor bubuk kakao terbesar adalah India dan China, Ekspor biji kakao dan pasta kakao terbesar adalah Malaysia dan Amerika Serikat (AS). Sementara itu pasar terbesar ekspor mentega, lemak, dan minyak kakao adalah AS dan India.
Secara keseluruhan, ekspor kakao Indonesia ke AS pada tahun 2023 sebanyak 48.158,29 ton dengan nilai US$187,26 juta. Angka ini meningkat 0,4% dari volume ekspor pada 2022.
Negara Paman Sam merupakan negara tujuan ekspor kakao Indonesia terbesar kedua setelah India. Pada 2023, AS tercatat telah menyumbang 48,4% dari total ekspor kakao Indonesia.
Kementerian Pertanian menyebut Indonesia menduduki peringkat terbesar ke-2 sebagai negara eksportir mentega, lemak dan minyak kakao di dunia setelah Belanda dengan kontribusi 2022 sebesar 12,55% terhadap total ekspor dunia.
Pangsa ekspor yang besar tersebut bisa terancam jika produksi Indonesia terus menurun. Padahal, dengan kontribusi yang luar biasa besar, kakao seharusnya menjadi "tambang emas" baru Indonesia untuk mendongkrak devisa dan semakin berperan besar dalam perdagangan dunia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]