
China Umumkan 'Bencana', Dunia Langsung Panas Dingin

- China sedang menghadapi kondisi yang kompleks di tengah kondisi lingkungan geopolitik internasional saat momen pemulihan pasca Covid-19 di negara tersebut.
- Serangkaian data indikator ekonomi China belum ada yang baik alias semua memunculkan gejolak.
- Terbaru datang dari rilis data pertumbuhan ekonomi China kuartal II-2023, produksi industri, penjualan retail, serta tingkat pengangguran yang belum membahagiakan.
Jakarta, CNBC Indonesia - Kesengsaraan negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tampak terus berlanjut. Hingga kini, belum ada kabar menyenangkan pasca rilis indikator ekonomi terbaru dari negara tersebut. Terbaru, ada data pertumbuhan ekonomi, produksi industri, penjualan retail, dan tingkat pengangguran yang belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan.
Ekonomi Negeri Tirai Bambu semakin sengsara setelah rilis data pertumbuhan ekonomi China pada kuartal II-2023 di bawah ekspektasi pasar meskipun negara yang dipimpin Xi Jinping ini sudah berupaya keras mendorong pemulihan pasca pandemi Covid-19.
Pada Senin (17/7/2023), Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal kedua tumbuh sebesar 6,3% secara year-on-year (yoy), angka ini meleset dari ekspektasi. Berdasarkan perkiraan ekonom yang di survei Reuters pada kuartal II-2023 ini pertumbuhan ekonomi China mencapai 7,3%.
Sementara secara quartal to quartal (qtq) laju pertumbuhan ekonomi China tercatat 0,8% dari kuartal pertama. Angka ini tercatat lebih lambat dari pertumbuhan kuartal sebelumnya yang tercatat 2,2%.
Juru bicara Biro Statistik Nasional Fu Linghui mencatat China menghadapi lingkungan internasional geopolitik dan ekonomi yang kompleks.
Dia juga mengatakan China masih bisa mencapai target pertumbuhan setahun penuh. Sebagaimana diketahui, pada Maret pemerintah China sudah menetapkan target pertumbuhan sekitar 5% untuk tahun 2023.
Selain data pertumbuhan ekonomi, data penjualan ritel untuk periode Juni dilaporkan turun ke 3,1%. Angka ini sedikit di bawah perkiraan 3,2%. Meskipun masih positif, namun angka penjualan ritel periode ini jatuh jauh dari bulan sebelumnya yakni 12,7%.
Dalam penjualan eceran, produk katering, olahraga dan hiburan bersama dengan alkohol dan tembakau naik paling tinggi. Sementara, mobil, produk kantor, dan barang penggunaan sehari-hari mengalami penurunan penjualan di periode Juni dari tahun lalu.
Sementara itu, penjualan online barang fisik tumbuh sebesar 6,7% pada Juni dari tahun lalu, lebih lambat dari pada Mei, menurut perhitungan CNBC dari data resmi yang diakses melalui Wind Information.
Dari sisi produksi industri untuk Juni naik 4,4% dari tahun lalu, angka ini lebih baik dari perkiraan ekonom sebesar 2,7%.
Investasi aset tetap untuk paruh pertama tahun ini naik 3,8%, lebih baik dari prediksi 3,5%. Dalam investasi aset tetap, yang masuk ke real estat turun lebih jauh pada basis year-to-date di bulan Juni daripada di bulan Mei. Investasi di bidang manufaktur tumbuh dengan kecepatan yang stabil, sementara pertumbuhan investasi infrastruktur melambat.
Tingkat pengangguran untuk orang-orang di kota-kota adalah 5,2% pada bulan Juni. Ketika ditanya tentang prospek paruh kedua, juru bicara Fu mengatakan dia memperkirakan investasi real estat akan tetap rendah dalam waktu dekat.
Dia juga mengatakan pengangguran kaum muda mungkin akan meningkat lebih lanjut sebelum menurun setelah Agustus.
Di saat yang sama, pemerintahnya juga melaporkan tingkat pengangguran untuk kelompok usia 16-24 mencapai level tertinggi baru 21,3% di bulan Juni, naik dari 20,8% di bulan Mei.
China mengakhiri kontrol Covid-19 pada bulan Desember. Ini menandakan bahwa rebound ekonomi Negeri Tirai Bambu telah kehilangan tenaga.
Krisis Properti Masih Berlanjut
Sektor real estate yang masif telah berjuang untuk pulih, sementara ekspor anjlok karena penurunan permintaan global.
Sektor perumahan di China dalam dua tahun terakhir sudah mengalami krisis. Kasus gagal bayar utang Evergrande Group, developer properti terbesar kedua di China pun menyeruak 2021 lalu.
Banyak proyek menjadi terbengkalai akibat kehabisan dana, pembeli pun tak mau melanjutkan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Situasi kini memang sudah membaik setelah otoritas China mengambil langkah-langkah penyelamatan, tetapi masih jauh dari kata usai. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan China untuk berbuat lebih banyak menyikapi situasi ini.
"Langkah-langkah kebijakan terbaru pihak berwenang disambut baik, tetapi dalam pandangan kami tindakan tambahan akan diperlukan untuk mengakhiri krisis real estate," kata Thomas Helbling, wakil direktur di Departemen Asia Pasifik IMF.
Belanja Konsumen Lesu
Laju inflasi China turn ke level nol pada Juni 2023. Ini menjadi alarm peringatan berlanjutnya pelemahan permintaan dan menambah kekhawatiran bahwa ancaman deflasi di depan mata.
Biro Statistik Nasional (NBS) China melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) tidak berubah pada Juni 2023 dari tahun sebelumnya (year-on-year/yoy).
Rumah tangga di China mulai menujukan tanda-tanda balance sheet recession, di mana masyarakat memiliki keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja. Data ini menunjukkan bukti bahwa pemulihan ekonomi tengah kehilangan momentum.
Istilah Balace Sheet Recession dikeluarkan melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990an.
Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.
Di China, permintaan konsumen yang lesu tidak menyebabkan perubahan harga di bulan Juni. Bank Rakyat China mengatakan pekan lalu pihaknya memperkirakan penurunan pada bulan Juli, tetapi inflasi yang diantisipasi akan meningkat kembali akhir tahun ini.
Perjalanan domestik telah menjadi titik terang dalam pemulihan. Penduduk perkotaan lebih dari dua kali lipat pengeluaran pariwisata mereka pada semester pertama tahun ini dari tahun lalu, menjadi CNY 1,98 triliun (US$ 280 miliar).
Namun, dikatakan pengeluaran penduduk pedesaan untuk perjalanan hanya naik sekitar 40% selama waktu itu.
Pemerintah China mengatakan akan memperluas langkah-langkah dukungan properti. Pihak berwenang juga telah mengumumkan dukungan luas untuk ekspor.
Negara ini juga telah memperpanjang keringanan pajak untuk pembelian mobil listrik, industri yang berkembang yang ingin didukung oleh pemerintah.
Tetapi Beijing sebaliknya menunjukkan keengganan untuk memulai stimulus yang lebih besar, terutama karena utang pemerintah daerah melonjak. Pertemuan Politbiro diharapkan akhir bulan ini dapat memberikan rincian lebih lanjut tentang kebijakan ekonomi.
Melemahnya ekonomi China ini menjadi kekhawatiran global. China adalah negara dengan ekonomi size terbesar di dunia, eksportir terbesar di dunia, sekaligus konsumen terbesar untuk sejumlah komoditas mulai dari batu bara hingga emas.
Ekonomi China yang macet bisa membuat laju perdagangan global melemah serta pertumbuhan global melandai.
Perlambatan ekonomi China akan berdampak kepada Indonesia yang menggantungkan sekitar 30% ekspor non-migasnya ke China.
Tiongkok juga merupakan salah satu investor terbesar untuk Indonesia sehingga perlambatan di China bisa menahan ekspansi perusahaan China.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)