Fundamental Pundit

Hidup Susah Bangkrut Tak Mau, Celana Dalam GT Man Rugi Terus!

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
12 July 2023 13:20
Ilustrasi pabrik garmen (AFP via Getty Images)
Foto: Ilustrasi pabrik garmen (AFP via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Ricky Putra Globalindo (RICY) merupakan perusahaan tekstil dan garmen yang memiliki produk dikenal oleh banyak pria yaitu GT Man. Bisnis tekstil termasuk dalam industri yang cukup mengalami masa berat selama pandemi, namun RICY mampu bertahan berkat utangnya yang terus bertambah.

Permasalahannya sampai kapan produsen pakaian dalam ini akan terus menambah utangnya. Faktor industri tekstil terus menambah utang disebabkan oleh sifat dasarnya yang memerlukan pengelolaan arus kas yang baik. Nature bisnisnya yang memiliki margin tipis dan piutang yang sering tertahan.

Alhasil, industri ini memerlukan penambahan modal, baik melalui utang atau investasi. Persoalan ini diperburuk lagi dengan kinerja perusahaan yang masih menunjukkan kerugian. Saldo laba dari RICY berbalik arah akibat pandami, sehingga menunjukkan nilai negatif.

Tanpa ada perbaikan kinerja, investor hanya perlu menunggu waktu, hingga perusahaan menerima gugatan pailit atau melakukan penambahan modal.

Laba bersih

Sejak pandemi, industri tekstil cukup tertekan seiring dengan penurunan aktivitas ekonomi akibat lockdown. Produk tekstil dan garmen turut mengalami penurunan permintaan akibat masyarakat cenderung banyak menghabiskan waktu di rumah, sehingga tidak dapat berbelanja pakaian.

Penurunan kinerja dalam tiga tahun terakhir memang disebabkan oleh penurunan permintaan tercermin dari sisi topline atau pendapatan yang setara kinerja 2016, berada di kisaran Rp 1,2-1,4T.

Namun, perbedaannya tahun 2016 perusahaan masih mampu mencetak laba yang disebabkan dari beban pokok penjualan (COGS) nya yang masih belum tinggi. Rendahnya COGS tahun 2016 juga tercermin dari harga rata-rata katun 2016 yang rendah senilai US$0,65 per pound. Sedangkan, kapas pada tahun 2021 dan 2022 berada pada harga yang lebih tinggi 43-72% dibanding 2016. 

Kinerja bottomline atau laba bersih RICY yang ambruk disebabkan oleh penurunan permintaan yang menyebabkan penurunan pendapatan sekaligus harga kapas yang tinggi. Permasalahan ini menyebabkan laba bersih yang telah diakumulasikan sejak 2011-2022 menjadi negatif Rp 92 miliar atau menjadikan saldo labanya negatif akibat kerugian dalam tiga tahun terakhir.

Beruntungnya, kinerja kuartal-I 2023 dapat menunjukkan laba bersih mencapai Rp 7 miliar disebabkan oleh keuntungan dari selisih kurs mencapai Rp 21 miliar. Keuntungan kurs tidak dapat dikategorikan sebagai kinerja operasional perusahaan, sehingga perusahaan berpotensi kembali merugi pada kuartal selanjutnya jika tidak mengakui akun tersebut.

Saldo laba negatif

Saldo laba merupakan laba yang dikumpulkan dan ditahan atau tidak dibagikan perusahaan, sehingga dapat digunakan untuk pengembangan bisnis. Laba yang dikumpulkan tersebut dalam laporan keuangan akan dicatat dalam laporan ekuitas perusahaan.

Alhasil, tergerusnya saldo laba berpotensi menyebabkan ekuitas perusahaan akan menjadi negatif, jika terus terjadi.

Per kuartal-I 2023, RICY membukukan saldo laba negatif Rp 92 miliar. Nilai tersebut sangat buruk untuk perseroan, mengingat laba bersih tahunan tertinggi yang dicapai RICY terjadi pada 2019 senilai Rp 19 miliar.

Dengan asumsi perusahaan dapat kembali membukukan kinerja terbaiknya secara konsisten, RICY baru dapat kembali membukukan saldo laba positif dalam 4,8 tahun atau setara 15 kuartal.

Kerugian yang timbul memaksa perseroan untuk menambah utangnya agar dapat bertahan hidup.

Utang yang terus meningkat

RICY konsisten meningkatkan utangnya yang telah terjadi selama 11 tahun. Utang RICY yang terus menumpuk disertai modal yang terus menurun menyebabkan kesehatan keuangan perusahaan makin tidak terjaga.

Permasalahan ini ditunjukkan dengan rasio neraca keuangan perseroan yang tidak sehat. Perbandingan utang dan modal (Debt to Equity Ratio/DER) perseroan mencapai 5,7. Nilai tersebut dapat diintepretasikan bahwa utang perusahaan lebih besar 5,7 kali lipat dibanding modalnya.

Tingginya utang yang dimiliki membatasi keleluasaan RICY untuk mengembangkan bisnisnya berebasiskan pendanaan utang atau biasa disebut leverage. Perusahaan cukup agresif dalam melakukan belanja modal atau capex dalam periode 2012-2017 berada di kisaran Rp 40-110 miliar.

RICY yang terus melakukan penambahan utang menggambarkan bahwa perusahaan belum memiliki kemampuan untuk membiayai pengembangan dengan modal sehingga mengharuskan berutang.

Arus kas yang tidak konsisten

Faktor arus kas bersih atau free cash flow (FCF) RICY menunjukkan nilai positif dalam dua tahun terkahir disebabkan oleh pencatatan arus kas yang tidak memperhitungkan beban keuangan.

Sebagai informasi, FCF merupakan pergerakan kas perusahaan, khusus dari segi operasional yang telah dikurangi dengan pengeluaran ekspansi atau capex.

Padahal, utang RICY yang terus bertumbuh menyebabkan perusahaan harus mencatat beban keuangan yang tinggi mencapai kisaran Rp 73-109 per tahun sejak 2018. Hal tersebut yang menjadi faktor terdapat selisih yang jauh antara laporan laba rugi dan arus kas.

Dalam 11 tahun terakhir, akumulasi FCF perusahaan menunjukkan nilai negatif Rp 76 miliar. Sedangkan, arus kas operasi RICY mencapai Rp 470 miliar. Hal ini mengindikasikan kas yang diperoleh dari kinerja operasional harus dikeluarkan untuk pengembangan usaha.

RICY yang tengah agresif mengembangkan bisnisnya harus dilanda krisis, sehingga akan kesulitan dalam memperkecil utang akibat bisnisnya melambat.

Pertumbuhan piutang usaha

Perusahaan tekstil yang dasar bisnisnya memilki banyak pelanggan akan cukup kesulitan dalam menagih pembayaran. Hal tersebut menyebabkan piutang usaha RICY terus bertumbuh mencapai Rp 426 miliar atau setara 29% dari total aset.

Tidak hanya itu, piutang usaha tersebut juga terdapat yang berasal dari pihak berelasi. Nilai tersebut cukup tinggi mencapai 20,9% dari keseluruhan piutang perusahaan.

Tingginya nilai piutang usaha akan menjadi potensi permasalahan likuiditas perusahaan. Meskipun perusahaan mencatat laba, keuntungan tersebut akan tidak berarti, jika perusahaan tidak dapat mengkonversi keuntungan tersebut menjadi kas.

Layakkah investasi?

Meskipun produk cukup dikenal masyarakat, manajemen keuangan menjadi persoalan penting bagi perseroan. Perlambatan kinerja akibat pandemi covid-19 masih belum menunjukkan perbaikan hingga saat ini.

Keuntungan kurs pada kuartal satu tidak dapat menjamin perusahaan dapat mempertahankan laba ke depannya. Dengan menghilangkan nilai tersebut, kinerja RICY malah akan menunjukkan kerugian.

Tidak hanya itu, kerugian yang signifikan dalam 3 tahun terakhir menjadi risiko perseroan, menjadi penyebab saldo laba RICY menunjukkan nilai negatif. Harga kapas yang melonjak dan permintaan produk yang menurun menjadi faktor RICY membukukan kerugian.

RICY yang telah agresif eskpansi dalam periode 2012-2017 menyebabkan utangnya menjadi tinggi. Di tengah ekspansinya, perseroan malah tersendat pandemi yang mengharus melakukan penambahan utang, sehingga rasio DER mencapai 6 kali.

Beratnya industri ini juga dialami oleh banyak perusahaan tekstil lainnya. Salah satu perusahaan tekstil terbesar Indonesia, Sritex (SRIL) sedang dalam masa gugatan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang) dan terancam bisnisnya bangkrut. Hal terjadi juga terjadi pada pesaingnya, Duniatex.

Perusahaan tekstil yang masih bertahan di bursa salah satunya adalah Pan Brothers (PBRX). Emiten ini mampu bertahan melalui penambahan modal. Hal ini menunjukkan industri tekstil yang sulit dan semakin tertekan akibat pandemi covid-19.

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation