
Ungguli Kompetitor, Ini Prospek Cerah Bisnis Campina (CAMP)

- PT Campina Ice Cream Industry Tbk (CAMP) mengalami pertumbuhan dari sisi topline, middle line, dan bottom line.
- Pertumbuhan diiringi beban marketing yang meningkat, namun efisiensi dan pertumbuhan lainnya yang terkendali menghasilkan margin all time high.
- Prospek sektor industri susu dan olahannya yang menarik didukung komitmen pemerintah dan pengusaha yang menarik minat investasi asing.
Jakarta, CNBC Indonesia - PT Campina Ice Cream Industry Tbk (CAMP) menjadi daya tarik investasi yang menarik berkat pertumbuhan kinerja dan margin, prospek industri susu dan olahannya, dan valuasi yang rendah di industrinya.
Perusahaan es krim asal Indonesia ini mengalami pertumbuhan laba bersih sebesar 21%, menjadi Rp 34 miliar secara tahunan pada kuartal-I 2023. Pertumbuhan ini disebabkan beban umum dan administrasi yang menurun 14%, di tengah pertumbuhan pendapatan sebesar 4%.
Efisiensi tersebut berasal dari beban sewa perusahaan yang menurun sampai setengahnya lebih. Hal ini berdampak positif pada margin perusahaan yang terus bertumbuh, sehingga margin laba usaha dan laba bersih mencapai titik tertingginya 15% dan 13%.
Bisnis perseroan yang bergerak di industri olahan susu menjadi es krim tentunya dapat memberikan nilai tambah yang cukup besar. Apabila dibandingkan dengan kompetitor, margin laba kotor (GPM) Campina merupakan yang tertinggi dibanding peers.
Namun, tingginya GPM disebabkan perusahaan es krim memerlukan margin yang tebal untuk menutupi beban pendingin atau freezer sebagai sarana penyimpanan produk. Hal ini menyebabkan tingginya beban penyusutan aset tetap yang menggerus bottomline perseroan.
Namun, sejak pandemi (2020), penurunan penjualan menyebabkan perusahaan mulai memperhatikan persoalan tersebut, sehingga efisiensi dilakukan.
Campina sebagai merek es krim yang telah berdiri sejak 1972 menjadikan produknya melekat di pikiran masyarakat. Melansir Top Brand Index, Campina berada di posisi kedua dengan persentase 28,3%.
Salah satu pendukungnya adalah manajemen CAMP yaitu Sabana Prawira Widjaja selaku pemilik merek susu terbesar Indonesia. Kemampuan tersebut yang menjadikan Campina dapat mempertahankan dan mengembangkan mereknya.
Tidak hanya dari segi potensi perkembangan market share, kepemilikan Sabana dalam bisnis Campina berpotensi menekan beban pokok produksi perusahaan (COGS), mengingat PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk (ULTJ) berpotensi untuk mengembangkan hulu dari produksi susu untuk menunjuang efisiensi.
Hal tersebut juga akan mengurangi fluktuasi harga, sebab 78% susu Indonesia masih berasal dari impor. Potensi tersebut tentunya juga akan berpotensi menjadi berkah emiten CAMP yang membeli bahan baku dari ULTJ.
Ketatnya Persaingan Industri Es Krim
Industri es krim Indonesia awalnya hanya terdapat sedikit pemain besar yaitu Walls, Campina, dan Diamond. Namun, margin keuntungan yang tebal menjadikan daya tarik pendatang baru untuk ikut bersaing.
Tahun 2014, es krim Aice mendisrupsi pasar es krim dengan harganya yang murah dan inovasi yang menyesuaikan minat masyararakat Indonesia, seperti mochi. Keberhasilan Aice menyasar pasar Indonesia mendorong mereknya mencapai sekitar 10% Top Brand Index.
Baru-baru ini industri es krim komersil kembali kedatangan pemain baru. Melansir BisnisIndonesia, Glico Wings masuk pasar Indonesia sejak November 2016. Banyaknya pemain baru, berpotensi semakin menggerus pangsa pasar Campina, sehingga perusahaan yang tidak memiliki kelebihan harus terpaksa menurunkan harga jual untuk bersaing yang akan memangkan margin keuntungannya.
Salah satu keunggulan Campina adalah luasnya jaringan distribusi penjualan produknya. Hampir di seluruh convenience store dan modern trade terdapat freezer Campina sejak bertahun-tahun lalu. Hal ini juga menjadi keunggulan perusahaan sebagai sarana peningkatan brand awareness.
Selain itu, emiten CAMP juga mampu meningkatkan nilai penjualannya lebih tinggi dibandingkan peningkatan beban pemasarannya. Hal ini mengindikasikan biaya marketing yang dikeluarkan dapat memicu pertumbuhan pendapatan.
Namun, persoalannya Campina tidak dapat membuat inovasi produk yang memiliki keunggulan yang tak dapat ditiru pesaingnya. Laporan keuangan perusahaan tidak terlihat adanya beban R&D. Meskipun perusahaan yang memiliki beban R&D yang rendah mengindikasikan efisiensi kinerja, permasalahannya saat ini ketatnya persaingan menjadikan perlunya inovasi untuk membangun competitive advantage.
Namun, terdapat beban konsultasi, audit, dan lawyer yang meningkat signifikan. Beban ini meningkat 13 kali lipat, menjadi Rp 3,9 miliar. Lonjakan beban ini diimbangi dengan penurunan beban sewa sebanyak Rp 14 miliar lebih. Ini menjadi petunjuk bahwa konsultasi yang dilakukan perusahaan menghasilkan efisiensi kinerja.
Valuasi Campina dibanding Emiten di Industri Susu dan Olahannya
Perhitungan valuasi emiten CAMP akan tepat jika menggunakan perbandingan dengan industrinya. Salah satunya menggunakan metode EV to EBIT atau kapitalisasi pasar ditambah utang berbunga dikurang kas dibandingkan dengan laba sebelum beban bunga dan pajak.
Perhitungan ini tidak mengikutkan depresiasi dan amortisasi untuk mendapatkan nilai yang konservatif, mengingat beban depresiasi dari freezer yang cukup tinggi.
CAMP memiliki valuasi terendah, jika dibandingkan dengan pesaingnya. Secara historis, CAMP memang layak untuk mendapat valuasi tersebut yang didukung oleh pertumbuhan kinerja laba bersih yang cukup tinggi. Namun, perhitungan ini juga perlu memperhatikan dan mengikuti perkembangan bisnis emiten CAMP, sebab kinerja historis belum tentu dapat kembali terulang di masa depan.
Prospek Industri Susu
Harga susu di Indonesia relatif lebih mahal, jika dibandingkan negara-negara yang produksinya telah mencukupi konsumsinya. Hal ini disebabkan industri hulu sapi Indonesia hanya mencukupi 22% kebutuhan domestik. Permasalahan tersebut menyebabkan Indonesia harus melakukan impor susu.
Selain itu, konsumsi susu perkapita Indonesia yang masih rendah menjadi potensi pertumbuhan permintaan ke depan.
![]() Penjualan susu per kapita (US$) |
Harga susu Indonesia sebesar US$ 1,51 per liter. Ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan India sebagai produsen susu terbesar yaitu US$ 0,81 per liter. Impor susu akan menyebabkan industri bergantung fluktuasi harga jual pasar.
Namun, kabar baiknya adalah pengembangan industri hulu susu mendapat dukungan dari pemerintah dengan adanya kebijakan yang ingin mengembangkan konsumsi susu, meningkatkan jumlah sapi dan produktivitasnya, dan mengejar kebutuhan nasional.
Hal ini juga mendapat dukungan dari pengusaha. CAMP akan berpotensi mendapat keuntungan dari keseriusan program huluisasi pemerintah, mengingat CAMP dapat membeli harga bahan baku susu lebih murah.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(mza/mza)