Macro Insight

China Lagi Genting, Ekonomi Sang Naga Mulai Sakit

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
21 June 2023 12:10
Ilustrasi bendera China. (VCG via Getty Images/VCG)
Foto: Ilustrasi bendera China. (VCG via Getty Images/VCG)
  • Ekonomi Negeri Tirai Bambu sedang tidak baik-baik saja. Sejumlah data ekonomi dalam beberapa minggu terakhir jauh dari harapan
  • China tampaknya tertatih-tatih di ambang deflasi karena optimisme pembukaan kembali melemah.
  • Bank-bank investasi terkemuka, termasuk Goldman Sachs dan JPMorgan, baru-baru ini memangkas estimasi PDB setahun penuh mereka untuk China, dan memperingatkan adanya hambatan di masa depan.

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Rakyat China memangkas dua lagi suku bunga acuannya pada Selasa (20/6/2023) untuk pertama kalinya dalam 10 bulan untuk menopang pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Bank sentral China (PBoC) memangkas suku bunga pinjaman satu tahun sebagai patokan untuk pinjaman korporasi sebesar 10 basis poin dari 3,65% menjadi 3,55%.

Selain itu, bank sentral Tiongkok juga memangkas suku bunga pinjaman lima tahun yang digunakan untuk harga hipotek dipangkas sebesar 10 basis poin dari 4,3% menjadi 4,2%, untuk pertama kalinya sejak Agustus.

Ini merupakan kedua kalinya dilakukan China. Kamis pekan lalu bank sentral juga menurunkan dua suku bunga utama lainnya dan memompa miliaran yuan  ke pasar keuangan.

Pejabat China menurunkan tingkat fasilitas pinjaman jangka menengah (MLF), bunga pinjaman satu tahun kepada lembaga keuangan, 10 basis poin menjadi 2,65 %.PBoC juga mengatakan menawarkan 237 miliar yuan atau sekitar Rp497 triliun dana kepada bank melalui fasilitas pinjaman jangka menengah.

"Dengan sendirinya, pemotongan 10bps terlalu kecil untuk membuat banyak perbedaan pada kondisi moneter, terutama karena suku bunga pasar antar bank sudah di bawah suku bunga kebijakan," Julian Evans-Pritchard dan Zichun Huang dari Capital Economics menulis dalam sebuah catatan.

"Tetapi PBoC cenderung menggunakan perubahan suku bunga kebijakan sebagai alat sinyal, dengan pengangkatan berat dilakukan oleh alat lain seperti penyesuaian persyaratan cadangan dan kuota pinjaman bank," tambah mereka.

Pemangkasan suku bunga terbaru terjadi setelah dua langkah pelonggaran moneter minggu lalu. Kamis lalu, PBoC memangkas fasilitas pinjaman jangka menengah satu tahun untuk pertama kalinya dalam 10 bulan, dan menurunkan tingkat pembelian kembali tujuh hari pada Senin pekan lalu.

Langkah bank sentral kemarin diharapkan setelah banyak data ekonomi dalam beberapa minggu terakhir sangat jauh dari harapan. China tampaknya tertatih-tatih di ambang deflasi karena optimisme pembukaan kembali melemah.

 

Kondisi Ekonomi Negeri Tirai Bambu

Data ekonomi dari China terus mengecewakan dalam pekan terakhir. Sektor manufaktur mengalami kontraksi yang dalam, kemudian impor anjlok. Data yang dirilis hari ini menunjukkan pertumbuhan penjualan ritel dan produksi industri yang lebih rendah dari ekspektasi pasar.

Berdasarkan data Biro Statistik Nasional (NBS), Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.

Angka ini benar-benar di luar ekspektasi analis, termasuk produksi dan investasi, meningkatkan kekhawatiran tentang momentum pertumbuhan China.

Sektor manufaktur yang berkontraksi juga terlihat dari impor China dilaporkan anjlok 4,5% pada Mei. Bahkan, anjloknya impor sudah terjadi dalam tiga bulan beruntun impor.

Selain data yang mengecewakan, sektor perumahan di China dalam dua tahun terakhir sudah mengalami krisis. Kasus gagal bayar utang Evergrande Group, developer properti terbesar kedua di China pun menyeruak 2021 lalu.

Banyak proyek menjadi terbengkalai akibat kehabisan dana, pembeli pun tak mau melanjutkan cicilan Kredit Pemilikan Rumah (KPR).

Situasi kini memang sudah membaik setelah otoritas China mengambil langkah-langkah penyelamatan, tetapi masih jauh dari kata usai. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan China untuk berbuat lebih banyak menyikapi situasi ini.

China disebut perlu segera melakukan penyeimbangan perekonomian oleh Direktur Pelaksana Dana Moneter International (IMF) Kristalina Georgieva, dari pertumbuhan yang ditopang investasi berubah menjadi konsumsi.

Bank-bank investasi terkemuka, termasuk Goldman Sachs dan JPMorgan, baru-baru ini memangkas estimasi PDB setahun penuh mereka untuk China dan memperingatkan adanya hambatan di masa depan.

Dewan Negara China berjanji untuk meluncurkan langkah-langkah yang lebih kuat pada waktu yang tepat untuk meningkatkan momentum pembangunan ekonomi, mengoptimalkan struktur ekonomi, dan mendorong pemulihan ekonomi yang berkelanjutan.

Bagaimana Dampaknya?

Michael Pettis, profesor finansial Guanghua School of Management di Peking University yang berlokasi di Beijing bahkan memprediksi pertumbuhan China tidak akan lebih tinggi dari 2% - 3% dalam beberapa tahun ke depan jika melakukan penyeimbangan ekonomi.

Dalam tulisannya yang dimuat oleh Carnegie Endowment, Pettis menyebut China negara dengan investasi sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia.

Penyeimbangan ekonomi perlu dilakukan dengan mendorong lebih banyak konsumsi. Namun, ketika itu dilakukan, maka pertumbuhan ekonomi China tidak akan lebih tinggi dari 3% selama bertahun-tahun, kecuali terjadi peningkatan konsumsi yang substansial.

Sementara itu Rory Green, ekonom di TS Lombard pada bulan lalu menyebut rumah tangga di China mulai menunjukkan tanda-tanda balance sheet recession, yakni keinginan untuk melakukan menabung atau membayar utang, tetapi enggan untuk meminjam dan berbelanja.

Istilah Balance Sheet Recession memang dikeluarkan oleh Richard Koo melihat kondisi ekonomi Jepang pada era 1990an.
Resesi jenis ini terjadi saat utang swasta maupun rumah tangga sangat tinggi, atau ketika perusahaan maupun rumah tangga fokus untuk menabung guna membayar utang ketimbang melakukan belanja atau investasi. Hal ini membuat perekonomian perlahan-lahan mengalami penurunan.

Jika itu terjadi, ada risiko China akan mengalami dasawarsa yang hilang (lost decade) seperti Jepang 30 tahun lalu, di mana pertumbuhan ekonominya terus melambat hingga mengalami kontraksi.

Jadi, ini merupakan salah satu upaya China untuk tetap bisa menopang ekonominya. Namun sepertinya sulit sekali untuk ekonominya tumbuh double digit ke depannya.
Sehingga, pelemahan pertumbuhan ekonomi China akhir-akhir ini terancam berdampak signifikan pada perekonomian kawasan Asia, termasuk Indonesia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation