
Perusahaan Sektor Ini Terancam Boncos Karena Ulah The Fed

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) the Federal Reserve (the Fed) pada FOMC semalam memutuskan menahan suku bunga acuan di level 5,0% - 5,25%.
Namun, the Fed masih mengisyaratkan kenaikan suku bunga acuan sebanyak dua kali pada tahun ini. Artinya, dengan ditahannya suku bunga bulan ini tak pelak menjadi tanda pivot sehingga harapan pelaku pasar the Fed bisa pangkas suku bunga harus pupus.
Walaupun begitu, Chairman the Fed Jerome Powell menjelaskan suku bunga saat ini mendekati target puncaknya sehingga kenaikan ke depan bisa semakin lambat. Lebih lanjut, Powell juga menegaskan keputusan suku bunga ke depan sangat "hidup" dan akan ditentukan perkembangan data ekonomi.
Artinya, tren suku bunga the Fed masih akan berlangsung di semester kedua tahun ini. Pelaku pasar harus lebih bersiap dengan gejolak yang masih akan terjadi dari ketidakpastian the Fed ke depan.
Tren suku bunga yang masih berlanjut akan berimplikasi pada tingginya suku bunga pinjaman ke depan. Tekanan pelaku bisnis juga bisa naik karena harus membayar ongkos pinjaman lebih mahal sehingga ekspansi bisa terhambat.
Analis Bankrate.com, Greg McBride, mengingatkan dengan suku bunga acuan 5-5,25% seperti saat ini, bunga pinjaman sudah mahal.
"Bahkan dengan kondisi saat ini, bunga pinjaman sudah sangat sangat tinggi. Bunga pinjaman masih bisa naik ke level tinggi yang belum pernah dirasakan konsumen pada periode sebelumnya," tutur McBride, dikutip dari APNews.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) tampaknya juga akan sulit memangkas suku bunga dalam jangka waktu dekat meskipun inflasi domestik melandai. Artinya, suku bunga pinjaman bank masih akan bertahan tinggi.
Sektor perbankan menjadi yang paling sensitif dengan suku bunga, beruntungnya BI masih menahan suku bunga acuan sehingga tekanan kenaikan suku bunga pinjaman dan simpanan untuk bank mereda, apalagi kondisi perbankan big caps nasional masih memiliki ketahanan modal yang kuat dan likuiditas yang lancar.
Kemudian, ada sektor properti yang mengandalkan penjualan hunian dengan KPR juga kena dampak. Kendati BI sudah menahan suku bunga tetapi tekanan the Fed masih dalam tren naik akan menyulitkan suku bunga pinjaman bisa turun.
Sehingga, sektor ini masih cenderung konservatif dalam menargetkan penjualan karena minat konsumen yang belum terlalu atraktif.
Beberapa sektor lainnya yang sensitif terhadap suku bunga adalah yang memiliki utang berbunga bank dan investasi asing tinggi, maupun perusahaan yang mengandalkan ekspor-impor dalam bisnis-nya.
Sektor infrastruktur terutama di bidang konstruksi, telekomunikasi, dan tower diketahui memiliki tingkat utang yang cukup tinggi karena bisnis-nya padat karya. Dengan kondisi ongkos pinjaman sulit turun tentu akan berdampak pada beban yang dihadapi masih tinggi.
Sementara, untuk yang dapat aliran dana asing cukup tinggi ada dari sektor teknologi. Keputusan the Fed menjadi sangat berpengaruh, walaupun BI telah menahan suku bunga. Perlu diantisipasi ketika tren suku bunga naik AS masih berlangsung, maka aliran dana ke sektor teknologi bisa terhambat.
Emiten multifinance seperti PT Adira Dinamika Multi Finance, juga bisa terimbas dari kebijakan The Fed karena permintaan kredit bisa melambat.
Emiten lain yang bisa terkena dampak kebijakan The Fed adalah emiten yang bergerak di sektor komoditas. Dengan masih adanya potensi kenaikan maka ekonomi AS bisa melambat sehingga pertumbuhan global bisa tertekan.
Kondisi ini akan membuat permintaan komoditas melemah sehingga harga komoditas seperti minyak, batu bara, dan minyak sawit mentah terjun.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)