
Ini Rekam Jejak Duit Ratusan Triliun China di Asia Tenggara

Jakarta, CNBC Indonesia - China telah memotong bantuan pembangunan ke kawasan Asia Tenggara. Negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu disebut-sebut telah mengarahkan uangnya ke tempat lain.
Berdasarkan laporan Lowy Institute yang dirilis Minggu (11/6/2023) lalu menyebut Beijing telah menyerahkan posisinya sebagai satu-satunya sumber pendanaan terbesar di Asia Tenggara kepada dua badan ekonomi. Yakni Bank Pembangunan Asia (ADB) dan World Bank (Bank Dunia).
"China adalah sumber bantuan pembangunan tunggal terbesar di Asia Tenggara antara 2015 dan 2019, tetapi diambil alih oleh ADB dan Bank Dunia selama pandemi Covid-19," Ungkap laporan tersebut.
Asia Tenggara adalah rumah bagi sekitar 670 juta orang. Wilayah terdiri dari campuran berbagai negara, mulai dari regional raksasa Indonesia, yang berpenduduk 270 juta jiwa.
Puluhan tahun telah mengalami kemajuan ekonomi dan pembangunan yang pesat, mengangkat jutaan orang Asia Tenggara keluar dari kemiskinan dan disampaikan perbaikan dalam pendidikan, kesehatan, dan standar hidup.
Bobot ekonomi kawasan juga meningkat membuatnya semakin penting bagi negara-negara lain di seluruh dunia dalam hal penyediaan barang publik global di tengah ancaman pandemi di masa depan, mendukung ekonomi dunia yang terbuka dan stabil, mencapai transisi global menuju transisi energi, dan menegakkan sistem internasional berbasis aturan.
Kontribusi China ke wilayah tersebut turun. Dari US$7,6 miliar (Rp112 triliun) pada tahun 2015 menjadi US$3,9 miliar (Rp57 triliun) pada tahun 2021.
Secara total, Beijing menyalurkan US$37,9 miliar (Rp562 triliun) atau hampir 20% dari total pembiayaan kawasan antara tahun 2015 dan 2021. Angka ini setara dengan rata-rata US$5,53 miliar (Rp82 triliun) per tahun.
Asia Tenggara sendiri menerima total sekitar US$200 miliar (Rp2.968 triliun) dari mitra secara keseluruhan selama periode tersebut. Pendanaan China, sebagian besar terdiri dari pinjaman, telah digunakan untuk mendukung proyek infrastruktur besar di seluruh kawasan, termasuk proyek kereta api berkecepatan tinggi di Malaysia, Indonesia, dan Thailand.
Tren yang paling mencolok dalam (pembiayaan pembangunan resmi atau ODF) China di Asia Tenggara antara tahun 2015 dan 2021 adalah penurunan kepentingan relatif China sebagai mitra.
Pada 2015, China menyediakan sekitar 24% dari ODF kawasan. Pada tahun 2021, angka ini turun menjadi 14%. Ternyata efek berkepanjangan dari pandemi akan terus mengganggu pembiayaan pembangunan Beijing.
Sebagai gantinya, negara dan mitra lain- termasuk Amerika Serikat (AS), Australia, dan Jepang- telah meningkatkan bantuan pinjaman ke Asia Tenggara. Hal ini ditegaskan ekonom utama Lowy Institute, Roland Rajah.
Jika dilihat secara rinci, Indonesia merupakan negara penerima utang untuk pembangunan paling besar.
Dengan berpenduduk lebih dari 277 juta jiwa, Indonesia menjadi negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan menjadi negara terbesar kesepuluh ekonomi dalam hal paritas daya beli. US$1,3 triliun PDB (2021) ini juga menjadi yang terbesar menyumbang 35% dari PDB regional Asia Tenggara.
Pembiayaan pembangunan China di Indonesia pada prinsipnya terfokus pada infrastruktur, dengan proyek-proyek energi menyumbang 45% dari total pengeluaran Beijing di dalam negeri dan 26% di sektor transportasi.
Selain itu, sebagian besar pembiayaan China di Indonesia berada berupa pinjaman non-konsesional (OOF) yang dibiayai baik melalui Bank Ekspor-Impor China (20%) atau Bank Pembangunan China (55%).
Sementara China merupakan mitra pembangunan terbesar Indonesia untuk periode secara keseluruhan, namun dukungannya kepada Indonesia turun dari US$ 3,7 miliar pada tahun 2015 menjadi US$ 612 juta pada tahun 2021.
Dari tahun ke tahun, Tiongkok menjadi mitra terbesar keempatnya pada tahun 2021 kemudian diikuti oleh ADB, Bank Dunia, dan Jepang.
Namun secara garis besar di Wilayah Asia Tenggara, negara dan mitra lain -termasuk Amerika Serikat (AS), Australia, dan Jepang- telah meningkatkan bantuan pinjaman wilayah ini.
Mitra baru juga telah meningkat di kawasan ini, termasuk Islamic Development Bank (IDB) yang berbasis di Arab Saudi, yang menyediakan sekitar US$225 juta (Rp3,3 triliun) per tahun dalam bentuk pinjaman non-konsesi. Ini terutama ke Indonesia dan India, yang memfokuskan sekitar US$70 juta (Rp1 miliar) per tahun dalam bentuk hibah pada negara tetangga Myanmar.
Namun, sebagian besar atau 80% pendanaan pembangunan kawasan berasal dari mitra tradisional seperti bank pembangunan, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, AS, dan Australia.
Setelah China, Jepang adalah penyedia dana pembangunan non-institusional tunggal terbesar, menghabiskan US$28,2 miliar (Rp418 triliun).
Secara rinci, Korea Selatan menyumbang US$20,4 miliar (Rp302 triliun), diikuti oleh Jerman, AS, Australia, dan Prancis dengan pendanaan antara US$5,34 miliar (Rp79 triliun) dan US$8,5 miliar (Rp126 triliun). Ada kesenjangan yang signifikan antara pengeluaran yang dijanjikan oleh mitra dan jumlah dana yang disalurkan.
Dibandingkan dengan US$298 miliar (Rp4.422 triliun) yang diberikan kepada wilayah tersebut untuk lebih dari 100,00 proyek antara tahun 2015 dan 2021. Hanya sekitar US$200 miliar yang dihabiskan selama periode tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(aum/aum)