
Ramalan World Bank: Pertumbuhan Dunia Akan Dipimpin Asia

- Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan negara berkembang Asia diprediksi akan melaju lebih cepat dibandingkan negara maju
- Inflasi dan suku bunga masih menjadi momok mengerikan bagi AS
- China masih tampak tertekan pasca Covid-19. Ini terlihat dari data-data ekonomi makro yang terpantau lesu.
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia memberi kabar mengenai proyeksi ekonomi Indonesia dan Asia ke depan. Negara-negara berkembang Asia seperti India, China, hingga Indonesia akan tumbuh jauh lebih tinggi dibandingkan negara maju.
Bank Dunia bahkan memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan melaju lebih cepat dibandingkan Amerika Serikat (AS) dan China mulai 2024. Pada tahun itu, ekonomi China terus melambat, sedangkan Amerika Serikat ada perbaikan.
Dalam Global Economic Prospects edisi Juni 2023, Bank Dunia memperkirakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 akan sebesar 4,9%, turun dibandingkan tahun lalu yang tercatat 5,3%.
Pada 2024 pun tidak ada perubahan signifikan yakni tetap 4,9%, baru pada 2025 kembali naik ke level 5%.
Kondisi ini dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah menjaga ekspektasi inflasi sehingga tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral bisa ditahan saat ini.
Padahal, di negara-negara maju seperti AS tren kenaikan suku bunga acuan masih akan tinggi karena tekanan inflasi yang jauh dari kata usai.
"Bank sentral (RI) telah mengisyaratkan jeda kenaikan atau pengetatan seperti di Indonesia, atau mulai memangkas suku bunga kebijakan seperti di Vietnam," dikutip dari Global Economic Prospects edisi Juni 2023, Rabu (7/6/2023).
Sebagaimana diketahui, Bank Indonesia (BI) kembali memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada Mei 2023 sebesar 5,75%. Suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.
Namun, Indonesia masih memiliki sejumlah risiko yang harus dihadapi selama 2023-2024, seperti melandainya harga-harga komoditas andalan ekspor karena permintaan global melemah.
Pelemahan karena pertumbuhan global melandai akibat berkepanjangannya tren kenaikan suku bunga acuan di negara maju.
"Harga-harga komoditas yang termoderasi akan membantu mengurangi inflasi utama tahun ini tetapi juga akan melemahkan kondisi perdagangan ekspor komoditas, termasuk Indonesia," tulis Bank Dunia dalam laporan itu.
Bank Dunia mencatat, kinerja ekspor Indonesia konsisten merosot sejak Juli 2021-Maret 2022, lalu berlanjut pada April 2022-April 2023.
Pertumbuhan ekspor barang pada Juli 2021 masih mencapai 52,6% namun pada Maret 2022 sudah ke posisi 35,3%. Sempat naik pada April 2022 ke posisi 41,2% namun terus anjlok hingga April 2023 sudah minus 9,5%.
Lantas Bagaimana Bisa Asia Diramal Kuasai Dunia?
Khusus di Amerika Serikat, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonominya pada 2023 hanya akan mencapai 1,1%, lebih lambat dari estimasi pertumbuhan 2022 sebesar 2,1%.
Namun perkiraan itu naik 0,6% dari proyeksi pada Januari 2023 yang hanya tumbuh 0,5%.
Sementara itu, pada 2024, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat akan kembali melambat dengan perkiraan 0,8%.
Proyeksi ini 0,8% lebih rendah dari perkiraan pada Januari 2023 yang sebesar 1,6%. Pada 2025 pertumbuhannya baru akan melesat menjadi 2,3%.
Dampak dari efek kenaikan tajam suku bunga kebijakan selama satu setengah tahun terakhir relatif lambat sehingga efeknya baru terasa tahun ini dan tahun depan.
Sebagai catatan, bank sentral AS The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 500 bps menjadi 5,0-5,25% sejak Maret 2022 demi memerangi inflasi.
Puncak efek ini diperkirakan terjadi pada 2023.
Lihat saja, kondisi terkini AS. Dari sisi tingginya inflasi nyatanya masih jauh dari kata usai. Pada April 2023 tercatat sebesar 4,9% secara tahunan (year-on-year/YoY) atau jauh di atas target Teh Fed yakni 2%.
Perlu diketahui inflasi AS telah turun 10 bulan berturut-turut sejak mencapai 9,1% pada Juni 2022. Namun tetap saja penurunan inflasi saat ini sepertinya belum membuat puas hati The Fed karena target penurunan inflasi adalah 2%. Tentu saja, angka ini masih jauh dari target.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat probabilitas suku bunga bunga dinaikkan hanya 20%, sisanya yakin akan tetap sebesar 5% - 5,25%.
The Fed bisa saja kembali menaikkan suku bunga jika inflasi AS masih bandel. Akibatnya, pasar finansial dunia tentunya bisa gonjang-ganjing lagi.
Kalau ini terjadi, maka suku bunga The Fed akan naik selama 11 bulan berturut-turut dan menjadi yang tertinggi sejak 2007.
Suku bunga acuan yang tinggi menjadi satu tantangan prospek ekonomi AS yang potensi mengalami resesi tahun ini.
Secara kuartalan, perlambatan ekonomi sudah mulai terlihat dari pertumbuhan ekonomi AS per kuartal 1-2023 yang melemah ke 1,1% dibandingkan kuartal IV-2022 di 2,6%.
Bangkrutnya sejumlah bank di negara itu juga menjadi salah satu katalisator melambatnya proyeksi pertumbuhan ekonomi AS, karena penyaluran kredit melambat. Diperburuk dengan pengeluaran rumah tangga yang lesu karena tingginya biaya pinjaman, terutama untuk konsumsi dan investasi di sektor perumahan.
Sementara untuk China, Proyeksi terbaru pertumbuhan 2023 dari Bank Dunia sebesar 5,6% naik dari estimasi pertumbuhan 2022 sebesar 3% dan proyeksi ini mengalami revisi ke atas sebesar 1,3% dari perkiraan pada Januari 2023.
Prediksi pertumbuhan ekonomi ini ditopang oleh estimasi dampak baik dari pembukaan kembali aktivitas ekonomi China setelah pengetatan selama Pandemi Covid-19. Belanja konsumen naik dan investasi bangunan diharapkan turut terkerek naik terutama dari sisi infrastruktur.
Namun, pada 2024 perekonomian China menurut Bank Dunia akan melemah menjadi hanya tumbuh 4,6% dan merupakan hasil revisi ke bawah sebesar minus 0,4% dari proyeksi yang dilakukan pada Januari 2023. Pada 2025 pun pelemahan masih berlanjut menjadi 4,4%.
"Dampak dari kebijakan pembukaan kembali ekonomi memudar pada paruh kedua tahun ini, dan pertumbuhan akan melambat pada 2024 karena konsumsi yang moderat seiring belum pulihnya ekspor," kata Bank Dunia.
Jika melihat kondisi saat ini, ekonomi China melesat pada kuartal I-2023 melebihi ekspektasi pasar. Ekonomi Tiongkok tumbuh 4,5% (year on year/yoy) pada tiga bulan pertama tahun ini.
Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar sebesar yang berada di angka 4% dan di atas kuartal IV-2023 yang tercatat 2,9% (yoy).
Secara kuartal, ekonomi China tumbuh 2,2% pada Januari-Maret 2023, jauh lebih tinggi dibandingkan 0,6% pada kuartal sebelumnya.
Namun sayang, memasuki kuartal kedua ini ekonomi China sepertinya tak lanjut bersinar. Rilis data ekonomi penting Negeri Tirai Bambu ini nyatanya cukup mengecewakan. Sebagaimana diketahui, Aktivitas pabrik China setelah 'mati suri' akibat pandemi Covid-19 kenyataannya belum mampu membuat produktivitas cepat pulih.
Biro Statistik Nasional (NBS) pada Rabu (31/6/2023) melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.
Angka ini benar-benar diluar ekspektasi analis, termasuk produksi dan investasi, meningkatkan kekhawatiran tentang momentum pertumbuhan China.
Sub-indeks PMI yang mencakup produksi, pesanan baru, dan inventaris bahan baku mengalami kontraksi di bulan Mei, mengisyaratkan permintaan yang lebih lemah tidak hanya untuk ekspor tetapi juga investasi modal.
Meskipun tetap pada lintasan pertumbuhan, PMI nonmanufaktur China turun menjadi 54,5, dari 56,4 di bulan April.
Selain PMI, perkembangan ekspor-impornya juga tertekan. Pada Rabu (7/6/2023) data bea cukai melaporkan ekspor China turun 7,5% pada Mei secara year-on-year (yoy), sementara impor turun 4,5%. Angka ini di luar jajak pendapat ekonom yang di survei Reuters yang memperkirakan ekspor menyusut 0,4% dan impor turun 8%.
Setelah mengalahkan ekspektasi pada kuartal pertama, para analis sekarang menurunkan proyeksi ekonomi mereka untuk sisa tahun ini, karena produksi pabrik terus melambat di tengah lemahnya permintaan global.
Berlanjutnya tekanan di sektor real estat, perlambatan pertumbuhan dan perdagangan global yang lebih tajam dari yang diperkirakan, dan kemungkinan gelombang Covid-19 yang mengganggu.
Menilik Ekonomi Negara Asia
Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik menguat menjadi 5,5% tahun 2023 ini.
China akan menjadi motor utama di kawasan ini dengan proyeksi pertumbuhan mencapai 5,6%.
Dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects per Juni2023, Bank Dunia mengatakan bahwa penguatan pertumbuhan di Asia Timur dan Pasifik didukung oleh pemulihan di China, yang mengimbangi pertumbuhan yang moderat di beberapa negara lain.
Untuk tahun2024 dan 2025 mendatang, Bank Dunia memperkirakan akan ada penurunan ekonomi di kawasan tersebut. Namun, kawasan Asia Timur dan Pasifik masih akan tumbuh tinggi dibandingkan kawasan lain.
"Pada tahun 2024 dan 2025, pertumbuhan di EAP diperkirakan akan turun masing-masing menjadi 4,6% dan 4,5%, karena pertumbuhan di China melambat bersamaan dengan pertumbuhan yang stabil secara luas di wilayah lainnya," tulis Bank Dunia dalam Global Economic Prospects.
Dibandingkan dengan proyeksi Januari lalu, pertumbuhan ekonomi Asia Timur dan Pasifik diproyeksikan naik 1,2 poin persentase lebih tinggi tahun ini an 0,3 poin persentase lebih rendah pada tahun 2024.
Selanjutnya di negara tetangga, Bank Dunia memperkirakan ekonomi Malaysia akan tumbuh 4,3 persen pada 2023 dan 4,2 persen di2024, kemudian Thailand 3,9% dan 3,6% di tahun2023 dan2024. Adapun ekonomi Filipina yang diproyeksikan tumbuh 6% pada 2023 dan 5,9% pada2024 mendatang.
India juga akan memimpin pertumbuhan ekonomi Asia Selatan dengan pertumbuhan diperkirakan mencapai 6,6% tahun ini.
Di tengah tekanan yang menghampiri negara-negara di dunia, kelompok negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) ekonominya diyakini masih tumbuh positif dan tidak akan tergelincir ke jurang resesi.
Efek resesi di beberapa negara di kawasan Asean hanya menyebabkan perlambatan di sejumlah sektor seperti manufaktur dan ekspor lantaran kehilangan momentum meski output jasa masih berjalan dengan baik.
Namun, pertumbuhan ekonomi yang melambat di negara-negara ekonomi utama akan membatasi keuntungan di berbagai kelompok negara komoditas, sehingga membebani kinerja perdagangan termasuk Indonesia.
Ramalan baik juga data dari Dana Moneter Internasional (IMF)yang menyatakan bahwa wilayah Asean menjadi titik terang bagi perekonomian global dengan proyeksi pertumbuhan sebesar 5% pada tahun ini dan sedikit moderat pada tahun depan.
"Prospek masih sangat tidak pasti dan didominasi oleh risiko. risiko dari perang, dari pengetatan keuangan global, dari perlambatan di Cina," tuturnya dikutip dari akun YouTube AMRO-Asia.
Meski demikian, IFM juga menyebut bahwa inflasi di Asean diperkirakan rata-rata 'hanya' 4% pada tahun ini, namun tekanannya terus meningkat seiring dengan pelemahan mata uang lokal terhadap dolar AS.
Berbagai jurus jitu bisa dilakukan sebuah negara agar terhindar dari resesi ekonomi. Antara lain, melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor maupun produk andalan ekspor, fokus pada produksi ekspor yang memiliki high value added, penguatan struktural ekonomi dengan berbasis aktivitas domestik.
Di lain sisi, untuk mengatasi perlambatan yang tajam, bank sentral dapat memilih untuk melonggarkan kebijakan terlebih dahulu jika inflasi kembali terjadi. Selain itu, pengeluaran pemerintah juga dapat ditingkatkan untuk melawan risiko perlambatan.
CNBC INDNESIA RESEARCH
(aum/aum)