
Amerika Nambah Utang Rakyatnya Hepi, Kalau di RI Nyinyir!

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) sebentar lagi bisa menambah utang yang saat ini nilainya sangat jumbo. Batas utangnya saat ini mencapai US$ 31,4 triliun atau setara Rp 470.000 triliun (kurs Rp 15.000/US$), dan itu bisa ditangguhkan jika Senat menyetujuinya.
Sebelumnya, DPR AS sudah menyetujui penangguhan tersebut. Artinya, Kementerian Keuangan AS bisa kembali menerbitkan surat utang (Treasury), dan terhindar dari "kebangkrutan" atau gagal bayar (default) yang diperkirakan terjadi pada 5 Juni nanti.
Namun, bukan berarti Menteri Keuangan AS Janet Yellen bisa terus menambah utang, penangguhan itu hanya berlaku selama dua tahun hingga 1 Januari 2023, dan ada beberapa syarat dari Ketua DPR Kevin McCarthy dan sudah disetujui Presiden Joe Biden.
Belanja pemerintah di luar sektor pertahanan pada tahun fiskal 2024 harus sama dengan 2023, dan hanya bisa naik 1% saja pada tahun fiskal 2025. Ada beberapa syarat lainnya yang disepakati, misalnya tidak ada lagi dana darurat Covid-19 yang nilainya mencapai US$ 30 miliar dan lainnya.
Pemerintah Amerika Serikat yang bisa kembali menarik utang tentunya disambut baik, sebab mampu terhindar dari "malapetaka" ekonomi jika sampai mengalami default.
Bagaimana kekacauan ekonomi tersebut sudah dipetakan oleh Council of Economic Adviser (CEA) yang membagi menjadi tiga kemungkinan.
Pertama, ketika tidak terjadi default, tetapi nyaris. Dampaknya juga cukup buruk, akan ada Pemutusan Hubungan Kerja Massal (PHK) sebanyak 200 ribu orang pada kuartal III-2023, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) terpangkas 0,3% dan tingkat pengangguran naik 0,1%.
Kedua, ketika terjadi default tapi hanya sebentar. PHK bisa mencapai 500 ribu orang, PDB terpangkas 0,6% dan tingkat pengangguran naik 0,3%.
Ketiga, default berlarut-larut. Ini yang paling parah, PHK bisa mencapai 8.3 juta orang pada kuartal III-2023, kemudian PDB mengalami kontraksi hingga 6,1%, dan tingkat pengangguran naik 5%.
Tidak hanya itu default yang berlarut-larut akan memberikan dampak yang lebih panjang. Berdasarkan proyeksi CEA, PHK massal bisa terjadi hingga kuartal I-2024, dan totalnya bisa mencapai 17 juta orang.
Rakyat Negeri Paman Sam pernah merasakan pahitnya jika pemerintahnya tidak bisa menambah utang. Itu pun bukan default, hanya shutdown atau penutupan layanan pemerintahan.
Shutdown bukan hal yang baru, pernah terjadi berkali-kali di AS. Yang terakhir dan masih segar di ingatan adalah shutdown di era pemerintahan Presiden AS ke-45, Donald Trump.
Sama seperti tahun ini, saat itu pada 2018, Partai Demokrat menolak rancangan anggaran dari Partai Republik yang menguasai pemerintahan. Akhirnya anggaran sementara diloloskan, tetapi hingga akhir tahun belum ada kesepakatan untuk anggaran satu tahun fiskal 2019. Alhasil, pemerintahan AS shutdown selama hampir 35 hari, mulai 22 Desember 2018 hingga 25 Januari 2019.
Shutdown tersebut merupakan yang terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat, dan berdampak cukup besar terhadap perekonomian.
Menurut Congressional Budget Office (CBO), shutdown tersebut berdampak ke perekonomian sebab sekitar 800.000 tenaga kerja dirumahkan, kemudian belanja pemerintah federal juga menjadi tertunda.
Berdasarkan kalkulasi CBO, kerugian yang diderita AS sebesar US$ 11 miliar. Dari kerugian tersebut, sebesar US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun hilang permanen. Dengan kerugian tersebut, pertumbuhan ekonomi pun terpangkas.
Oleh karena itu, meski memiliki utang jumbo dengan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga 128%, masyarakat Amerika Serikat tentunya sangat senang, sebab terhindar dari "malapetaka" ekonomi, bantuan sosial pun tetap diterima.
Hal ini berbeda dengan di Indonesia, kenaikan utang selalu menjadi polemik dan banyak mendapat tanggapan negatif.
Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah telah mencapai sebesar Rp 7.849,89 triliun per April 2023. Adapun, rasio utang terhadap PDB sebesar 38,15%.
Kendati jumlah utang ini membengkak dibandingkan masa sebelum Covid-19. Pada 2019, kondisi fiskal Indonesia, sangat baik. Saat itu, keseimbangan primer di Tanah Air hampir berbalik surplus. Namun, Covid-19 membuat target harus mundur. Defisit fiskal Indonesia pun melebar hingga 6,1% dari sebelumnya 1,8%.
Negara tetangga seperti, Malaysia dan Thailand, mengalami kondisi di mana defisit fiskalnya membesar setelah pandemi berlalu.
Thailand, misalnya, defisitnya membesar menjadi 5,5% dibandingkan 4,7% pada tahun lalu dan defisit anggaran Malaysia juga meningkat dari 4,9% menjadi 5,3%.
"Ini hanya untuk menggambarkan bahwa instrumen fiskal di seluruh dunia digunakan dan memang harus hadir untuk melindungi negaranya masing-masing," kata Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati.
Hal serupa terjadi untuk rasio utang. Semua negara mengalami kenaikan rasio utang. Ini adalah konsekuensi akibat defisit yang melebar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)