
Situasi Inggris Lebih Gawat Dari AS, Rakyatnya Bisa Sengsara!

- Amerika Serikat lolos dari "malapetaka" ekonomi setelah kesepakatan kenaikan batas utang akhirnya bisa dicapai. Namun, hal berbeda dialami Inggris.
- Pelaku pasar kembali menjual surat utang Inggris (Gilts) secara agresif, yang menjadi sinyal pesimistis terhadap kondisi ekonomi.
- Inflasi yang masih tinggi membuat bank sentral Inggris diramal lebih agresif menaikkan suku bunga, krisis biaya hidup yang dialami warga Inggris akan semakin parah.
Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat (AS) hampir lepas dari jurang "malapetaka" ekonomi setelah kesepakatan kenaikan batas utang akhirnya tercapai. Presiden AS Joe Biden dan Ketua DPR Kevin McCarthy mencapai kata sepakat, kini tinggal menunggu persetujuan Kongres.
Situasi berbeda di alami Inggris, belakangan aksi jual kembali melanda pasar obligasinya. Ini artinya pasar masih meragukan kondisi perekonomian Inggris. Imbal hasil (yield) Gilts tenor 2 tahun saat ini berada di level 4,5%, tertinggi sejak "bencana mini budget" September 2022 lalu, dan sudah melesat sekitar 70 basis poin dalam dua pekan terakhir.
Kenaikan tersebut akibat inflasi masih sangat tinggi memperburuk outlook perekonomian Inggris. Gilts tenor 2 tahun sangat sensitif dengan suku bunga, warga Inggris akan merasakan suku bunga kredit semakin tinggi mencekik. Sementara inflasi juga sangat tinggi yang membuat daya beli semakin merosot.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada April tumbuh 8,7% year-on-year (yoy), turun tajam dari bulan sebelumnya 10,1% (yoy). Namun, rilis inflasi tersebut mengecewakan, sebab masih jauh di atas ekspektasi para ekonom yang disurvei Reuters sebesar 8,2%.
Yang lebih mengkhawatirkan, inflasi inti tumbuh 6,8% (yoy) pada April, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 6,2% (yoy). Inflasi inti tidak memasukkan item yang volatil yakni harga makanan dan energi.
Bank sentral Inggris (BoE) pun kini diprediksi akan kembali agresif menaikkan suku bunga acuannya yang saat ini berada di 4,5%, tertinggi sejak 2008.
Sedikit berbeda dengan Amerika Serikat yang inflasinya terus melandai, dan bank sentralnya sudah memberikan sinyal suku bunga kemungkinan tidak naik lagi.
Financial Times melaporkan pasar kini memprediksi ada kemungkinan suku bunga akan dinaikkan tiga bahkan empat kali lagi hingga mencapai puncaknya 5,4% pada Desember. Ekspektasi tersebut jauh meningkat dari sebelumnya dengan puncak di 4,8%.
"Kejutan besar, kenaikan inflasi inti akan memaksa BoE kembali menaikkan suku bunga," kata Luke Hickmore, direktur investasi Abrdn, sebagaimana dilansir Telegraph, Jumat (26/5/2023).
Hickmore memperingatkan suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan melonjak signifikan dan memberikan tekanan besar bagi rumah tangga Inggris.
Inggris pun kini kembali diramal mengalami resesi, padahal sebelumnya Dana Moneter Internasional (IMF) menyebut itu tidak akan terjadi pada tahun ini.
"Suku bunga yang lebih tinggi dari BoE, suku bunga KPR yang meningkat dan inflasi yang masih tinggi akan sulit untuk menghindari inflasi. Saya pikir resesi tidak akan berat, tetapi masyarakat akan merasakan tekanan yang besar akibat suku bunga KPR yang tinggi," ujar Hickmore.
Pada awal Februari lalu, Economic and Social Research (NIESR) mengatakan meski resesi tidak terjadi di tahun ini, tetapi rumah tangga menengah ke bawah akan menghadapi krisis biaya hidup.
"Krisis biaya hidup sudah melanda setidaknya 7 juta rumah tangga, dan bagi mereka rasanya akan seperti resesi," tulis NIESR dalam laporan yang dikutip The Guardian, Rabu (8/2/2023) lalu.
Dengan data inflasi terbaru, dan kemungkinan suku bunga jauh lebih tinggi lagi, resesi di Inggris tentunya berisiko terjadi, dan krisis biaya hidup yang dialami warga Inggris bisa semakin parah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)