
Amerika Tak Jadi "Bangkrut", Masalah Ngeri Baru Muncul!

- Presiden AS Joe Biden dan Ketua DPR Kevin McCarthy akhirnya sepakat untuk menaikkan batas utang, yang membuat Amerika Serikat terhindar dari "bangkrut" atau default.
- Kongres AS harus menyetujui kesepakatan tersebut untuk resmi menaikkan batas utang.
- Masalah belum selesai bagi Amerika Serikat, setelah batas utang naik, ada risiko likuiditas akan kering, hingga kemungkinan penurunan peringkat kredit.
Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar baik datang dari Amerika Serikat (AS), Presiden Joe Biden dan Ketua DPR Kevin McCarthy sudah mencapai kesepakatan kenaikan batas utang.
"Ini adalah kesepakatan yang merupakan kabar baik bagi ... rakyat Amerika," kata Biden kepada wartawan di Gedung Putih setelah menelepon McCarthy untuk memberikan sentuhan akhir pada kesepakatan tentatif yang mereka buat pada Sabtu malam.
"Ini menghilangkan ancaman gagal bayar yang dahsyat, melindungi pemulihan ekonomi kita yang diperoleh dengan susah payah dan bersejarah," kata Biden.
Kenaikan utang tersebut kini perlu disetujui Kongres AS, dan diperkirakan akan segera dilakukan. Meski demikian, bukan berarti masalah bagi Amerika Serikat selesai, khususnya bagi perekonomian AS. Sebab, ada risiko likuiditas yang mengering karena disedot oleh Kementerian Keuangan AS.
Hal tersebut diungkapkan oleh Goldman Sachs, yang memprediksi Treasury Bill (surat utang jangka pendek) akan diborong pelaku pasar.
Kementerian Keuangan AS diprediksi akan mengeluarkan Treasury Bill senilai US$ 600 miliar - US$ 700 miliar dalam beberapa pekan. Artinya likuiditas di pasar akan disedot, bahkan Goldman Sachs menyatakan dampaknya setara dengan kenaikan suku bunga The Fed sebesar 25 basis poin.
Dengan likuiditas yang mengetat, suku bunga antar bank berisiko naik, yang bisa mempengaruhi suku bunga kredit. Selain itu, pergerakan bursa saham (Wall Street) juga bisa tertahan. Tercapainya kesepakatan kenaikan batas utang seharusnya bisa membuat Wall Street rally, tetapi ada kemungkinan itu tidak terjadi akibat ketatnya likuditas.
Kemudian, risiko gangguan ke perekonomian masih ada, apalagi jika Kongres menyetujui kenaikan batas utang mendekati hari "X", hari di mana pemerintah AS kehabisan uang.
"Malapetaka" ekonomi tersebut sudah dipetakan oleh Council of Economic Adviser (CEA) yang membagi menjadi tiga kemungkinan.
Ketika tidak terjadi default, tetapi nyaris. Dampaknya juga cukup buruk, akan ada Pemutusan Hubungan Kerja Massal (PHK) sebanyak 200 ribu orang pada kuartal III-2023, pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) terpangkas 0,3% dan tingkat pengangguran naik 0,1%.
Selain itu, CEA juga memprediksi apa yang terjadi jika default meski hanya sebentar atau yang berlarut-larut.
Risiko lain juga muncul dari lembaga pemeringkat surat utang, Fitch Ratings memberikan peringatan ke Amerika Serikat jika peringkat kreditnya bisa diturunkan.
Fitch menempatkan AS pada peringkat "AAA"dengan "rating watch negative," menandakan bahwa peringkat utang AS dapat diturunkan jika tidak ada kenaikan pagu utang.
Masalah pagu utang sudah menjadi perhatian Fitch dalam beberapa bulan terakhir. "Kami lebih khawatir kali ini," kata James McCormack, kepala pemeringkat obligasi global Fitch's, dalam sebuah wawancara dengan CNN Internationalawal Maret lalu.
Dengan masalah pagu utang yang berulang, McCormack melihat pelaku pasar akan menilai kembali apakah Treasury benar-benar risk-free.
Penurunan peringkat kredit bisa berdampak buruk ke pasar finansial. AS mengalami penurunan peringkat selama kekacauan serupa 12 tahun silam.Pada 8 Agustus 2011, lembaga pemeringkat Standard & Poor's menurunkan rating utang AS untuk pertama kalinya dalam sejarah. Hal tersebut membuat indeks S&P 500 anjlok hingga 6,5%, dan berada dalam tren penurunan dalam waktu yang lama.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun kena getahnya, pada 9 Agustus 2011 mengalami kemerosotan hingga 3%, dan terus menurun hingga nyaris 2 bulan lamanya. Selama periode tersebut kemerosotan IHSG tercatat lebih dari 13%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)