Macro Insight

Nyalakan Tanda Bahaya! PMI China Turun, Siaga Satu Buat RI

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
01 June 2023 10:00
Bongkar Muat Peti Kemas di Terminal Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Bongkar Muat Peti Kemas di Terminal Tanjung Priok. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
  • Aktivitas pabrik China untuk periode Mei ini kembali menyusut lebih cepat dari yang diharapkan.
  • Biro Statistik Nasional (NBS)) melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April.
  • Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah akan berpengaruh signifikan bagi perdagangan kita?

Jakarta, CNBC Indonesia - Aktivitas pabrik China untuk periode Mei ini kembali menyusut lebih cepat dari yang diharapkan. Ini dipicu oleh melemahnya permintaan yang kian menambah tekanan pada pembuat kebijakan untuk menopang pemulihan ekonomi yang tidak merata.

Biro Statistik Nasional (NBS) pada Rabu (31/6/2023) melaporkan Indeks manajer pembelian manufaktur (PMI) turun ke level terendah lima bulan di 48,8 tercatat turun dari 49,2 pada April. Angka PMI ini juga mematahkan perkiraan kenaikan menjadi 49,4.

Angka ini benar-benar diluar ekspektasi analis, termasuk produksi dan investasi, meningkatkan kekhawatiran tentang momentum pertumbuhan China.

Sub-indeks PMI yang mencakup produksi, pesanan baru, dan inventaris bahan baku mengalami kontraksi di bulan Mei, mengisyaratkan permintaan yang lebih lemah tidak hanya untuk ekspor tetapi juga investasi modal.

Meskipun tetap pada lintasan pertumbuhan, PMI nonmanufaktur China turun menjadi 54,5, dari 56,4 di bulan April.

"PMI menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi China masih berlangsung di bulan Mei, meskipun dengan kecepatan yang lebih lambat," Julian Evans-Pritchard, kepala ekonomi China di Capital Economics yang berbasis di Inggris, menulis dalam sebuah catatan pada hari Rabu.

Artinya, industri sedang berjuang dan dukungan fiskal untuk konstruksi berkurang.

Dalam sebuah survei terhadap kepala keuangan China yang dirilis oleh UBS pada hari Rabu, para responden menunjukkan prospek bisnis yang membaik dan belanja modal yang lebih besar pada paruh kedua tahun ini, memberikan nada yang jauh lebih positif dibandingkan dengan studi sebelumnya pada bulan September.

Tetapi peningkatannya "lebih ringan" daripada yang terlihat pada paruh kedua tahun 2021, tambah bank investasi Swiss, menunjukkan "perubahan kecil ekspektasi pada tahap awal pemulihan ekonomi."

UBS mengingatkan bahwa survei, yang dilakukan antara 7 Maret dan 6 April, tidak menangkap rilis data berikutnya pada bulan April dan Mei yang mungkin membebani ekspektasi pertumbuhan.

Bank memproyeksikan investasi aset tetap manufaktur China menjadi moderat menjadi sekitar 5% pada tahun 2023, dari 9,1% pada tahun 2022.

Setelah mengalami lockdown ketat akibat Covid-19, perekonomian China ternyata belum jua pulih. Alih-alih mencetak pertumbuhan yang tinggi setelah pembukaan kembali, impor China justru mengalami kontraksi.

Diketahui, impor China mengalami kontraksi atau -7,9 persen pada April 2023. Penurunan ini memperpanjang kinerja negatif yang sudah terjadi sejak Oktober 2022 lalu.

Sementara itu, pertumbuhan ekspornya tercatat melambat. Data Bea dan Cukai China juga mencatat ekspor tumbuh 8,5 persen (yoy), turun dari 14,8% pada bulan Maret lalu.

Perekonomian China 25% berasal dari permintaan domestik, sementara sisanya atau 75% berasal dari ekspor, terutama ekspor manufaktur. Adapun, sektor manufaktur di China saat ini tengah mengalami kontraksi.

Ini menjadi lampu kuning bagi ekonomi China sebab manufaktur berkontribusi 33% terhadap pertumbuhan ekonomi China. Perlambatan ekonomi China ini harus diwaspadai oleh Indonesia.

Untuk diketahui, memang ekonomi China dilaporkan naik pada kuartal I-20223 melebihi ekspektasi pasar. Ekonomi Tiongkok tumbuh 4,5% (year on year/yoy) pada tiga bulan pertama tahun ini.

Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dibandingkan ekspektasi pasar sebesar yang berada di angka 4% dandi atas kuartal IV-2023 yang tercatat 2,9% (yoy). Secara kuartal, ekonomi China tumbuh 2,2% pada Januari-Maret 2023,jauh lebih tinggi dibandingkan 0,6% pada kuartal sebelumnya.

Apa dampaknya bagi negara kita?

Hubungan China dan Indonesia cukup kuat. China adalah mitra dagang Indonesia yang utama. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2022 China termasuk salah satu negara yang menyumbang defisit neraca perdagangan Indonesia terbesar setelah Australia dan Thailand.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengingatkan bahwa kontraksi 1% ekonomi China dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3%-0,6%.

"Apabila mereka melemah 1 persen, pengaruhnya ke Indonesia akan mengalami penurunan 0,3 sampai 0,6 persen," ungkap Sri Mulyani dalam catatan CNBC Indonesia.

Bagi Indonesia, penurunan PMI China ini patut menjadi 'alaram' penting bagi perdagangan terlebih China merupakan mitra dagang utama Indonesia. Meskipun hingga kini, perlambatan manufaktur China belum akan signifikan berpengaruh terhadap neraca perdagangan Indonesia.

Kendati demikian jika penurunan bulanan dari PMI ini terjadi terus menerus maka sudah saatnya Indonesia kudu waspada.

Untuk diketahui, perdagangan Indonesia dengan China masih mencatatkan surplus sebesar US$ 479,6 juta pada April 2023. Meski mencatatkan surplus, perdagangan nonmigas Indonesia dengan China untuk ekspor tercatat turun sebesar 18,49% secara bulanan (mtm) menjadi US$ 4.620 juta.

BPS juga mencatat kinerja impor nonmigas kedua negara mitra dagang tersebut turun hingga 27,12% mtm menjadi US$ 4.140,9 juta.

Indonesia tidak akan bisa lepas terikat dengan China, karena banyak investasi-investasi yang masuk ke Indonesia berasal dari China, ditambah China merupakan salah satu kreditur atau pemberi utang terbesar untuk hampir seluruh negara di dunia.

Namun dari sisi perdagangan, seharusnya Indonesia bisa untuk mencari pangsa pasar baru di luar China, dan pasar yang bisa menggantikan China, India misalnya yang pertumbuhan ekonominya masih di atas 6% dan konsumsinya masih besar.

Di Indonesia, pelaku pasar masih optimistis terhadap kondisi perekonomian di Tanah Air. Walakin, pemerintah tetap perlu memberikan perhatian khusus agar pebisnis tetap melakukan ekspansi usahanya.

Setidaknya ada dua faktor yang perlu diperhatikan oleh pemerintah terkait dengan ekspansi kinerja manufaktur hingga akhir tahun ini yakni faktor permintaan dari pasar domestik dan daya beli masyarakat. Faktor ini menjadi penting karena mayoritas industri manufaktur nasional memiliki orientasi pasar domestik, bukan ekspor.

Selain itu,faktor akumulasi peningkatan beban usaha yang berkaitan dengan kebijakan pengendalian inflasi, nilai tukar, suku bunga, logistik, serta harga komoditas global.

Jika melihat data terakhir, setidaknya ada beberapa catatan positif dari rilis tersebut. Permintaan dari dalam negeri dilaporkan semakin membaik yang membuat sektor manufaktur terus melakukan ekspansi secara moderat. Kemudian masalah rantai pasokan mulai teratasi serta tekanan inflasi mereda.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation