
China Obral Barang, Awas RI Banjir Produk Impor!

- Inventori perusahaan China masih sangat tinggi sehingga diperkirakan perusahaan akan melakukan clearance sale
- Clearance sale akan membuat produk China murah tetapi di sisi lain mengancam industri dalam negeri
- Tekstil merupakan salah satu sektor yang mendapat ancaman dari murahnya produk China
Jakarta, CNBC Indonesia - Reopening China belum mampu mendongrak pertumbuhan ekonomi. Tiongkok bahkan terancam mengobral produk mereka karena tingginya pasokan serta lemahnya permintaan dari dalam negeri.
Ekonomi China tumbuh 4,5% (year on year/yoy) pada kuartal I-2023, lebih tinggi dibandingkan pada kuartal IV-2022 yang tercatat 2,9% (yoy). Namun, ekonomi Tiongkok diperkirakan melandai pada kuartal II-2023. Kondisi ini setidaknya tercermin dari perkembangan indeks manufaktur, ekspor, dan ekspor.
Purchasing Managers Index atau PMI China melandai dalam tiga bulan beruntun daru 51,6 pada Februari menjadi 49,5 pada April tahun ini. Ekspor memang masih tumbuh 8,5% (yoy) pada April tahun ini tetapi jauh melambat dibandingkan pada Maret yang tercatat 14,8% (yoy).
Sementara itu, impor terkontraksi 7,9% (yoy) pada Aoril tahun ini. Impor sudah terkontraksi sejak Oktober 2022 atau tujuh bulan terakhir. Pengecualian terjadi pada Februari tahun ini.
Melambatnya impor menandai landainya permintaan dalam negeri China. Padahal, permintaan warga Tiongkok diharapkan bisa langsung menjulang begitu perbatasan dibuka pada Januari tahun ini.
Dengan permintaan dalam negeri yang melambat maka inventori perusahaan China terus meningkat.
Dampak ke Indonesia
Ekonom senior BCABarra Kukuh Mamia menjelaskan tingginya inventori bisa membuat perusahaan China melakukan "clearance sale" untuk mengurangi inventori.
Mereka akan mengekspor produk mereka dengan harga diskon demi mengurangi tumpukan pasokan. "Clearance sale" yang dilakukan China di satu sisi bisa menciptakan disinflasi pada barang impor Tiongkok.
Disinflasi di satu sisi akan berdampak positif ke Indonesia karena imported inflation tidak terlalu tinggi.Namun, di sisi lain, murahnya produk China juga menjadi ancaman karena bisa membanjiri pasar Indonesia.
![]() Inventori perusahaan |
"Banjirnya produk murah China memang bagus untuk konsumsi negara importir tetapi bisa merugikan industri lokal dalam jangka panjang," tutur Barra dalam laporannya China's warehouses are full, and it is spilling over to the global economy.
Barra menjelaskan disinflation berdampak besar terhadap Indonesia yang mengimpor produk China dalam jumlah besar.
Dalam catatan BCA, industri tekstil dan logam terpukul oleh banjirnya produk murah China. Dari 98 kategori barang Harmonized System (HS) sebanyak 41 kelompok barang mengalami kenaikan impor dengan harga yang lebih murah. Kenaikan impor terutama terjadi pada produk tekstil.
Industri tekstil Indonesia sangat kuat untuk apparel dan fiber buatan manusia. Namun, impor untuk fiber buatan tangan dan apparel justru naik. Impor untuk serat buatan manusia melonjak 14,2% (yoy) pada kuartal I-2023 tetapi secara harga atau ongkos turun 23,9%.
Impor apparel dan rajutan melonjak 24,7% (yoy) pada Januari-Maret 2023 tetapi secara nilai turun 36,6%.
Barra memperkirakan butuh waktu lama bagi perusahaan China untuk menguras inventori mereka. Upaya tersebut juga harus ditopang oleh lonjakan ekspor atau naiknya permintaan dari dalam negeri.
"Kenaikan impor seharusnya menjadi alaram bagi prospek industri ke depan," tutur Barra.
![]() Impor produk China |
Produk impor yang naik signifikan dari sisi volume lainnya adalah furnitur, boneka, dan spare part kendaraan. Data BCA juga menunjukkan jika reopening China hanya meningkatkan ekspor Indonesia dari sisi volume bukan nilai.
Produk Indonesia deperti keramik, aluminium, tembaga, alas kaki, peralatan elektrik, perikanan, ataupun mesin ambruk dari sisi volume dan nilai.
"Reopening China hanya mendatangkan sedikit keuntungan bagi manufaktur, seperti pulp dan paper," ujar Barra
![]() Impor produk China |
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)