Sectoral Insight

Ketahanan Pangan RI di Bawah Rata-Rata Dunia, Begini Faktanya

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Selasa, 16/05/2023 11:05 WIB
Foto: dok. Humas Bapanas
  • Indonesia merupakan negara agraris, dengan jumlah pekerja di sektor pertanian, kehutanan dan perikanan lebih dari 40 juta orang.
  • Namun pertumbuhan sektor tersebut sangat rendah, dan sumbangsih ke perekonomian Indonesia hanya 12%. 
  • Sebagai negara agraris Indonesia justru tetap rajin impor, mulai dari beras, gula hingga daging sapi

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketahanan pangan di Indonesia mengalami peningkatan pada 2022 lalu, tetapi jika dilihat lebih ke belakang levelnya masih lebih rendah ketimbang 2018 - 2020.

Hal ini terlihat dari data Global Food Security Index (GFSI) pada 2022 tercatat sebesar 60,2 lebih tinggi dari tahun sebelumnya 59,2. Dalam 10 tahun terakhir GFSI terbaik Indonesia tercatat pada 2018.

GFSI mengukur ketahanan pangan negara-negara dari empat indikator besar, yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).

Namun, meski mengalami kenaikan, ketahanan pangan Indonesia pada 2022 berada di urutan ke 69 dari 113 negara, dan di bawah rata-rata global sebesar 62,2. Rata-rata Asia Pasifik pun lebih tinggi sebesar 63,4.


Negara Agraris Tapi PDB Pertanian Rendah

Indonesia terkenal sebagai negara agraris, artinya mayoritas tenaga kerja merupakan bekerja di sektor pertanian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah masyarakat Indonesia yang bekerja di bidang pertanian, kehutanan dan perikanan pada Februari 2023 sebanyak 40,69 juta orang atau 29,36% dari total pekerja.

Dibandingkan Februari 2022 sebanyak 40,64 juta orang, kenaikannya juga tidak besar. Tetapi dibandingkan Februari 2021 penambahannya nyaris mencapai dua juta orang.

Meski memiliki tenaga kerja terbanyak dibandingkan sektor lainnya, sumbangan sektor "wong cilik" terhadap produk domestik bruto (PDB) sangat rendah, pertumbuhannya pun menjadi salah satu yang terendah.

Data dari BPS menunjukkan sumbangan sektor pertanian kehutanan dan perikanan terhadap pertumbuhan ekonomi pada 2022 sebesar 12,4%, di bawah industri pengolahan sebesar 18,34 persen, serta perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor sebesar 12,85 persen.

Pertumbuhannya pada 2022 hanya sebesar 2,25%, mengalami kenaikan dari dua tahun sebelumnya masing-masing 1,87% dan 1,77%.

Rata-rata pertumbuhan PDB pertanian, kehutanan dan perikanan di era Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya 3,04%, turun dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 3,6%.

Dengan mayoritas pekerja berada di sektor pertanian, pertumbuhan yang rendah tentunya berdampak pada kesejahteraan yang rendah. Hal ini tentunya berdampak pada belanja rumah tangga petani, yang juga rendah. Alhasil, pertumbuhan ekonomi pun sulit tinggi.

Ironi negara lainnya yakni Indonesia lagi-lagi harus mengimpor beras. Bahkan, menjelang bulan Ramadhan lalu, isu beras kembali panas.

Warga Indonesia "belum makan kalau belum kena nasi", tentunya membuat konsumsi beras di dalam negeri tinggi. Menurut laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) konsumsi beras per kapita pada 2021 mencapai 114,6 kilogram. Dengan jumlah penduduk sekitar 273 juta jiwa, maka kebutuhan beras pada 2021 sekitar 31,3 juta ton.

Sementara berdasarkan data dari BPS, produksi beras pada 2021 sekitar 31,36 juta ton. Terlihat sesuai dengan kebutuhan, tetapi kondisi tersebut berisiko membuat harga beras menjadi mahal. Guna menjamin harga besar tetap stabil, pemerintah harus bisa menjaga tidak terjadi kekurangan supply beras, maka impor menjadi pilihannya.

Menjadi ironi, sebagai negara agraris, pertumbuhan sektor pertanian rendah, dan harus mengimpor beras setiap tahunnya. Pada 2022 lalu, BPS melaporkan Indonesia mengimpor beras sebanyak 429.207 ton.

Sementara pada tahun ini Perum Bulog mendapatkan penugasan untuk mengimpor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun ini. Penugasan diberikan Badan Pangan Nasional (Bapanas).

Merujuk salinan surat yang ditandatangani Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi, dari jumlah tersebut sebanyak 500 ribu ton harus didatangkan secepatnya.

"Menindaklanjuti hasil rapat internal bersama Bapak Presiden tanggal 24 Maret 2023 dengan topik Ketersediaan Bahan Pokok dan Persiapan Arus Mudik Idul Fitri 1444 H, kami menugaskan Perum Bulog untuk melaksanakan pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) dari luar negeri sebesar 2 juta ton sampai dengan akhir Desember 2023. Pengadaan 500 ribu ton pertama agar dilaksanakan secepatnya," tulis salinan surat tersebut seperti dikutip CNBC Indonesia, Senin (27/3/2023).

Masih dari salinan surat tersebut disebutkan tambahan pasokan beras tersebut dapat digunakan untuk program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan Beras (SPHP), bantuan beras kepada sekitar 21,353 juta keluarga penerima manfaat (KPM) dan kebutuhan lainnya.

Namun patut digarisbawahi, Indonesia tidak hanya mengimpor beras untuk untuk konsumsi sehari-hari, tetapi juga beras khusus yang didistribusikan ke lokasi-lokasi tertentu seperti hotel, restoran, hingga kafe.

Pada 2021 lalu, Presiden Jokowi sempat menyatakan Indonesia tidak lagi mengimpor beras selama tiga tahun. Beras yang dimaksud tersebut yakni beras konsumsi sehari-hari, tetapi untuk beras khusus yang tidak diproduksi di dalam negeri masih tetap impor, hal ini membuat data di BPS tercatat terus mengimpor beras.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Gula Juga Selalu Impor


(pap/pap)
Pages