Sectoral Insight

Deutsche Bank Sehat, Sahamnya Anjlok 20%! Bank RI Apa Kabar?

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
28 March 2023 13:20
Deutsche Bank
Foto: Deutsche Bank (REUTERS/Andrew Kelly)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham Deutsche Bank (DB) melonjak 6,15% pada perdagangan Senin (27/3/2023) setelah sebelumnya anjlok hingga 8,5% dalam sepekan akibat turbulensi perbankan di Amerika Serikat (AS) hingga Eropa.

Sejak kegaduhan Silicon Valley Bank (SVB) dan Credit Suisse harga saham DB karam 21,3% ke EUR9,07 per saham. Kejatuhan tersebut buah dari kepanikan para pelaku pasar terhadap kondisi perbankan di AS dan Eropa. Padahal kondisi likuiditas DB masih terbilang solid dengan kinerja keuangan yang mengesankan.

Tahun lalu, DB memperoleh laba 5,66 miliar euro (Rp 92,51 triliun), perolehan tertinggi sejak 2007. Bank juga telah membangun penyangga modal yang kuat, dengan rasio ekuitas inti (CET1) sebesar 13,4%.

Selain sangat menguntungkan, saat ini Deutsche juga memiliki rasio modal terkuat sejak akhir 1990-an, dan memiliki risiko suku bunga yang lebih rendah daripada beberapa bank regional AS.

Dari segi likuiditas, Deutsche Bank memiliki tingkat liquidity coverage ratio (LCR) sebesar 145%. LCR sendiri memiliki batas risiko 100%, artinya saat ini tingkat likuiditas DB solid.

Deutsche Bank sejatinya tidak asing dengan masa-masa sulit. Selama bertahun-tahun setelah krisis keuangan global, bank tersebut mengalami kerugian, restrukturisasi besar-besaran, pergantian eksekutif dan denda besar, hingga akhirnya mampu melewati krisis kepercayaan investor yang akut pada tahun 2016.

Pemerintah Jerman bahkan terbuka akan potensi merger gaya UBS-Credit Suisse yang mana Deutsche akan disandingkan dengan pesaing domestik Commerzbank AG.

Meski demikian, Deutsche Bank jauh lebih kuat daripada Credit Suisse, bahkan ketika kepercayaan menguap.

Sejak 2018, Deutsche Bank dipimpin oleh CEO Christian Sewing, seorang pria dengan latar belakang mendalam di bidang audit, pengendalian risiko, dan perbankan ritel. Di bawah kendalinya, bank tersebut berhasil disulap menjadi lebih menguntungkan.

Jadi sebenarnya yang membuat saham DB jatuh kemarin murni digerakkan oleh persepsi investor terhadap kondisi perbankan global saat ini.

Investor gelisah tentang kesehatan sektor perbankan setelah kegagalan mendadak Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Capital Corp. dan Signature Bank di AS, dan pengambilalihan darurat Credit Suisse Group AG Swiss oleh saingan domestik UBS Group AG.

Rentetan krisis tersebut akhirnya menyoroti betapa rentannya bank terhadap perubahan kepercayaan yang tiba-tiba, di era perbankan online dan media sosial yang hiperaktif, dan bagaimana beberapa pemberi pinjaman tidak siap menghadapi kenaikan suku bunga yang cepat.

Selain itu, pengambilalihan Credit Suisse menyebabkan penghapusan kontroversial sekitar US$ 17 miliar (Rp 255 triliun) utang berisiko yang dikenal sebagai Obligasi Tier 1 Tambahan (AT1). Hal tersebut berpotensi mendorong biaya pendanaan untuk bank-bank di seluruh Eropa.

Lantas apakah perbankan Indonesia masih kuat di tengah rentetan kejatuhan bank di AS hingga Eropa? (halaman selanjutnya)

Perbankan Indonesia masih kuat saat ini meskipun bank di Amerika Serikat dan Eropa sedang kalut karena likuiditas.

Menurut statistik perbankan OJK, rasio Capital Adequacy Ratio (CAR) bank umum Indonesia sebesar 25,62% per Desember 2022. Rasio ini untuk mengukur kecukupan modal untuk menampung risiko yang kemungkinan dihadapai bank. Rasio ini juga jauh di atas ambang batas aman yakni 8%.

Sementara itu rasio penyaluran kredit alias loan to deposit ratio (LDR) berada di posisi ideal, yakni 78,98%. Bank Indonesia menetapkan batas minimal LDR adalah 78%, sehingga bank umum masih baik untuk rasio LDR.

Bank-bank besar KBMI empat Indonesia pun saat ini masih sehat dan solid tercermin dari rasio cakupan likuiditas yang melimpah atau liquidity coverage ratio (LCR) dan kewajiban pemenuhan rasio pendanaan stabil bersih/Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang mencukupi.

PT Bank Central Asia Tbk memiliki LCR sebesar 393,5% pada 2022. Jumlah tersebut turun sedikit dari 2021 yakni sebesar 396,3%. Sementara itu NSFR BCA sebesar 180,7% pada 2022.

Lalu PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang memiliki LCR sebesar 219% dan NSFR sebesar 164,1%. Ini membuat BNI menjadi bank KBMI 4 dengan LCR dan NSFR terbesar kedua.

Adapun PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk memiliki LCR terbesar ketiga di antara empat bank besar, yakni 199,72% pada 2022 dan NSFR 142,24%. Setelahnya ada PT Bank Mandiri (Persero) TBK dengan LCR sebesar 186,8% dan NSFR sebesar 186,8%.

Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas Bagi Bank Umum pada pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa Bank wajib memelihara kecukupan likuiditas yang memadai.

Lebih lanjut dijelaskan pada ayat 4 dijelaskan LCR yang memadai adalah paling rendah 100% secara berkelanjutan. Ini berarti bank besar dalam KBMI 4 sudah memenuhi syarat likuiditas yang memadai dengan LCR di atas 100%.

Selain itu pada POJK No. 50 /POJK.03/2017 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Pendanaan Stabil Bersih/ Net Stable Funding Ratio (NSFR) disebutkan bahwa bank wajib memelihara pendanaan stabil yang memadai ditetapkan paling rendah 100%. Ketentuan tersebut pun sudah dipenuhi oleh empat bank besar.

Rasio tersebut pada dasarnya adalah stress test generik yang bertujuan untuk mengantisipasi guncangan pasar dan memastikan bahwa lembaga keuangan memiliki perlindungan modal yang sesuai, untuk mengatasi setiap gangguan likuiditas jangka pendek, yang mungkin mengganggu pasar.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular