CNBC Research
The Fed Naikin Suku Bunga, Bagaimana Nasib IHSG?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sudah kesembilan kalinya The Fed menaikkan suku bunga sebesar 0,25%. Dengan demikian, tingkat suku bunga inti AS sekarang berada di kisaran 4,75% hingga 5%.
Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell dalam jumpa pers di Washington DC, AS, Rabu (22/03/2023) mengatakan, "Kenaikan suku bunga ke depan juga tetap dilakukan hingga inflasi bisa diturunkan menjadi 2%."
Penurunan inflasi menjadi alasan utama di balik kenaikan suku bunga The Fed. Selain itu The Fed sangat berhati-hati mengambil keputusan kenaikan suku bunga, mengingat krisis perbankan yang terjadi baru-baru ini.
Perkiraan moderat menunjukkan suku bunga The Fed sepanjang 2023 akan berkisar pada angka 5,1%. Penurunan suku bunga The Fed baru akan terjadi pada 2024 menjadi rata-rata 4,3% dan menjadi 3,1% pada 2025. Namun, perkiraan itu hanya sementara dan segalanya bisa berubah.
Sedangkan tujuh pejabat Fed melihat tarif akan lebih tinggi dari suku bunga acuan sebesar 5,1%. Di tengah krisis perbankan yang terjadi di AS, The Fed dan regulator juga telah melakukan upaya dan tindakan darurat untuk melindungi deposan di perbankan yang bangkrut. Tetapi kekhawatiran masih ada tentang simpanan di beberapa bank regional.
Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell mengatakan kekhawatiran akan krisis kredit terjadi ketika bank memperketat standar pinjaman mereka secara signifikan, telah berkembang di tengah krisis perbankan. Jika kondisi pinjaman yang lebih ketat dipertahankan, Powell mengakui hal itu dapat dengan mudah memiliki dampak ekonomi makro yang signifikan yang akan menjadi faktor dalam keputusan kebijakan Fed.
Ketika kenaikan suku bunga The Fed terjadi maka akan semakin mahal bagi bank untuk meminjam uang. Hal ini dapat menyebabkan suku bunga pinjaman dan produk kredit yang lebih tinggi bagi konsumen sehingga dapat mengurungkan niat masyarakat untuk meminjam.
Lalu bagaimana dengan efek pada pasar saham Indonesia?
Salah satu pengaruh kenaikan suku bunga The Fed terhadap investasi di Indonesia terlihat pada nilai rupiah Indonesia. Ketika The Fed menaikkan suku bunganya, hal itu dapat membuat dollar AS lebih menarik bagi investor asing yang dapat menyebabkan apresiasi dolar dan penurunan nilai rupiah.
Sejak The Fed menaikkan suku bunga pada 1 Februari 2023 hingga terakhir 22 Maret 2023, rupiah terhadap dollar AS justru menguat hampir menyentuh 3%.
Untuk pergerakan IHSG sejak kenaikan suku bunga The Fed 1 Februari 2023 hingga kenaikan pada 22 Maret 2023, IHSG berjalan menurun dengan turun berkisar 2,5%.
Penurunan IHSG juga didorong oleh sentimen-sentimen negatif pasar global salah satunya bangkrutnya beberapa perbankan AS yakni Silicon Valley Bank, Silvergate Bank, dan Signature Bank.
Selain itu, sentimen naiknya inflasi Indonesia pada Februari 2023, dimana Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Indonesia mengalami inflasi tahunan 5,47% (year-on-year/yoy) pada Februari 2023. Laju inflasi tersebut meningkat dibanding Januari 2023.
Jika melihat dari pergerakan IHSG, dimana trend IHSG masih dalam area sideaway. Pada penutupan perdagangan Selasa (21/3/2023) IHSG di tutup di harga 6691,61 dengan naik 1,20%.
Kenaikan tersebut didukung dari kenaikan beberapa sektor yang naik diatas 1% dimana ada sektor teknologi naik 1,19%, transportasi naik 1,19%, keuangan naik 1,41% dan sektor infrastruktur naik 1,48%.
Jika IHSG kembali menguat di Jumar (24/3/2023), tidak menutup kemungkinan IHSG akan bergerak menuju resistance 6960.
Namun perlu diketahui bahwa Bank Indonesia pada 15-16 Maret 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75%, suku bunga Deposit Facility sebesar 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.
Selain sentimen positif bertahannya suku bunga Indonesia, dimana perbankan Indonesia juga justru berhasil mencetak laba yang memuaskan di tahun 2022.
Sehingga penurunan IHSG beberapa pekan lalu hanya karena sentimen negatif pasar global. Yang dimana seharusnya dapat dimanfaatkan oleh para pelaku pasar untuk memborong saham-saham yang memiliki fundamental dan kinerja yang baik.
Sehingga para pelaku pasar tidak perlu khawatir dengan sentimen global yang hanya berpengaruh dalam jangka waktu pendek untuk pasar saham Indonesia. Indonesia masih cukup baik-baik saja.
Dalam siaran pers Bank Indonesia, pertumbuhan ekonomi 2023 diprakirakan tetap kuat pada kisaran 4,5-5,3%, didorong oleh peningkatan permintaan domestik, baik konsumsi rumah tangga maupun investasi.
Pertumbuhan ekonomi yang kuat didukung oleh hampir seluruh komponen PDB dari sisi pengeluaran. Konsumsi rumah tangga tumbuh sebesar 4,48% (yoy) sejalan meningkatnya mobilitas masyarakat, termasuk aktivitas perayaan Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Natal dan Tahun Baru, serta berlanjutnya penyaluran bantuan sosial. Ekspor tetap tumbuh tinggi sebesar 14,93% (yoy), didorong oleh permintaan mitra dagang utama yang masih kuat.
Pertumbuhan investasi nonbangunan juga tetap tinggi sejalan dengan kinerja ekspor, meskipun pertumbuhan investasi secara keseluruhan sedikit tertahan pada 3,33% (yoy) akibat investasi bangunan yang masih rendah. Sementara itu, konsumsi Pemerintah terkontraksi 4,77% (yoy), namun lebih dipengaruhi oleh penurunan belanja barang untuk Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) seiring dengan kondisi pandemi yang terus membaik.
Pertumbuhan ekonomi yang tetap kuat juga tercermin secara Lapangan Usaha dan spasial. Secara Lapangan Usaha (LU), seluruh LU pada triwulan IV 2022 juga menunjukkan kinerja positif, terutama ditopang oleh Industri Pengolahan, Perdagangan Besar dan Eceran, serta Informasi dan Komunikasi. LU Transportasi dan Pergudangan serta Penyediaan Akomodasi dan Makan Minum juga mencatat pertumbuhan yang tinggi didorong oleh berlanjutnya peningkatan mobilitas masyarakat dan naiknya kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara.
Secara spasial, pertumbuhan ekonomi triwulan IV 2022 tercatat tetap kuat di seluruh wilayah Indonesia, meskipun ada sebagian daerah yang melambat. Pertumbuhan ekonomi tertinggi tercatat di wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua), diikuti Bali-Nusa Tenggara (Balinusra), Kalimantan, Sumatera, dan Jawa.
Namun dalam laporan World Economic Outlook (WEO) Edisi Janusari 2023, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,8%.
Proyeksi tersebut turun dibandingkan perkiraan sebelumnya dalam WEO edisi Oktober 2022 yang mana pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi akan sebesar 5%.
Melemahnya ekspor terutama pada produk komoditas yang membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi sedikit melemah. Sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia kemungkinan besar akan bergeser dari sektor eksternal ke sektor domestik.
Kembalinya ekonomi China dapat mendukung permintaan, namun harga komoditas masih rentan berlanjut melemah di tengah prospek peningkatan pasokan dan penurunan permintaan di Amerika Serikat dan zona Eropa.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(saw/saw)[Gambas:Video CNBC]