
Awas, 'Sabda' Powell & Kabar Buruk China Bisa Guncang Pasar!

Wall Street yang ditutup beragam pada perdagangan awal pekan pekan Waktu New York tentunya membuka peluang penguatan IHSG pada hari ini.Sentimen pasar utama masih diselimuti oleh implikasi atas pengumuman sejumlah data ekonomi.
Sebagai catatan, Ketegangan antara suku bunga dan harga saham akan tetap terjadi di minggu ini, karena investor terus mencerna indikasi sikap The Fed yang cenderung masih hawkish hingga beberapa bulan ke depan.
Fokus utama investor masih berkutat pada ekonomi Amerika Serikat (AS), China, dan perkembangan data ekonomi penting dalam negeri.
Dari Amerika, investor masih setia mencermati sinyal suku bunga dari ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell. Kata-kata yang keluar dari Powell akan menentukan nasib pasar keuangan Indonesia pekan ini.
Seperti diketahui, pasar dalam beberapa pekan terakhir memprediksi The Fed akan kembali agresif menaikkan suku bunga acuannya. Sebabnya, pasar tenaga kerja yang kuat, ditambah lagi inflasi kembali naik.
The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya 8 kali selama setahun terakhir, yang terbaru adalah kenaikan seperempat poin persentase awal bulan lalu yang membawa suku bunga pinjaman semalam ke kisaran target 4,5%-4,75%.
Pasar juga terpecah antara menginginkan The Fed menurunkan inflasi, kendati demikian rasa khawatir juga muncul penurunan bakal berlebihan sehingga menyebabkan tekanan ekonomi yang terus berlanjut.
"Inflasi adalah masalah yang merusak. Itu diperburuk oleh The Fed yang tidak mengakuinya pada tahun 2021," kata Komal Sri-Kumar, presiden Strategi Global Sri-Kumar dikutip CNBC International.
Pasar kini melihat suku bunga The Fed bisa mencapai 5,5% - 5,75% pada Juli nanti, naik 100 basis poin dari level saat ini dan lebih tinggi ketimbang proyeksi yang diberikan bank sentral AS tersebut 5% - 5,25%.
Dari China, sudah tak asing lagi bahwa kebangkitan ekonominya membawa sinyal positif bagi pasar keuangan Indonesia.
China kembali mengungkap target pertumbuhan negaranya di 2023. Dalam Kongres Rakyat Nasional (NPC) Minggu, negara itu menetapkan menetapkan pertumbuhan ekonomi 5% hingga akhir 2023.
Perlu diketahui, produk domestik bruto (PDB) China 2022, tumbuh hanya 3%. Itu menjadi yang terburuk dalam beberapa dekade akibat pembatasan ketat Covid-19 selama tiga tahun, krisis di sektor propertinya, tindakan keras terhadap perusahaan swasta serta melemahnya permintaan ekspor untuk China.
Perdana Menteri (PM) China Li Keqiang menekankan perlunya stabilitas ekonomi dan memperluas konsumsi untuk mencapai target itu. Ia menetapkan tujuan menciptakan sekitar 12 juta pekerjaan perkotaan tahun ini, naik dari target tahun lalu setidaknya 11 juta, dan memperingatkan bahwa risiko sektor real estat tetap ada.
China sendiri menetapkan target defisit anggaran sebesar 3,0% dari PDB. Ini melebar dari target sekitar 2,8% tahun lalu.
Hari ini, pelaku pasar patut mencermati data neraca perdagangan China. Sebelumnya, surplus perdagangan China turun menjadi US$ 78,01 miliar pada Desember 2022 dari revisi US$ 93,21 miliar pada bulan yang sama tahun sebelumnya dan dibandingkan dengan perkiraan pasar sebesar US$ 76,2 miliar.
Data tersebut masuk di tengah melemahnya permintaan global dan domestik. Ekspor anjlok 9,9%, penurunan terbesar dalam hampir tiga tahun.
Sementara dari sisi impor turun lebih lemah 7,5%, penurunan ketiga bulan berturut-turut. Mempertimbangkan tahun penuh 2022, surplus perdagangan negara melebar 31% yoy menjadi US$ 876,91 miliar, tertinggi sejak pencatatan dimulai pada tahun 1950, karena ekspor naik 7% dan impor hanya meningkat 1%
Dari dalam negeri, pelaku pasar tengah fokus mencermati data Cadangan Devisa yang akan di rilis oleh Bank Indonesia (BI) hari ini.
Untuk diketahui, posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Januari 2023 mencapai US$ 139,4. Angka ini naik dibandingkan dengan posisi pada akhir Desember 2022 sebesar US$ 137,2.
Peningkatan posisi cadangan devisa pada Januari 2023 antara lain dipengaruhi oleh penerbitanglobal bondpemerintah serta penerimaan pajak dan jasa.
Posisi cadangan devisa tersebut setara dengan pembiayaan 6,1 bulan impor atau 6,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
BI menilai cadangan devisa tersebut mampu mendukung ketahanan sektor eksternal serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Ke depan, Bank Indonesia memandang cadangan devisa tetap memadai, didukung oleh stabilitas dan prospek ekonomi yang terjaga, seiring dengan berbagai respons kebijakan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan guna mendukung proses pemulihan ekonomi nasional.
(aum/aum)