China Membaik, Tapi Amerika Bikin 'Ngeri', Waspadalah IHSG!
- Pasar keuangan Tanah Air masih mencatatkan kinerja mengecewakan pada perdagangan pekan lalu, Nilai transaksi juga mengalami penurunan.
- Wall Street sukses menguat pada perdagangan pekan lalu disinyalir bisa memberikan sentimen positif ke IHSG hari ini. Tapi akankah meredakan kekhawatiran investor terhadap The Fed?
- Ekonomi China yang diharapkan pulih dengan cepat membuat pelaku pasar mulai melirik lagi aset-aset berisiko. Sementara itu perekonomian Amerika Serikat masih dihantui perasaan tak sedap karena The Fed sepertinya tak memberikan rem terhadap kenaikan suku bunga.
Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki pekan pertama Maret 2023 para pelaku pasar tentunya masih mencermati berbagai agenda ekonomi penting yang bisa membawa angin segar bagi pasar keuangan Tanah Air. Pekan lalu pasar keuangan masih mencatatkan kinerja yang mengecewakan. Mampukah mereka bangkit pekan ini?
Dari sisi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mencatatkan pelemahan 0,63% sepekan. Dalam 5 hari perdagangan di pekan lalu, IHSG menguat sebanyak 2 kali, tetapi Jumat kemarin jeblok hingga membuatnya mencatat kinerja negatif.
Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (3/3/2023) IHSG ditutup ambles 0,64% ke 6.813,63. Data pasar menunjukkan investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 864 miliar di pasar reguler.
Pasar masih 'dihantui' oleh sinyal-sinyal yang bakal dikeluarkan bank sentral paling powerfull di dunia yakni The Fed yang diperkirakan masih tetap agresif menaikkan suku bunganya. Terlebih data tenaga kerja AS masih sangat kuat.
Departemen Tenaga Kerja AS pada awal bulan lalu melaporkan sepanjang Januari perekonomian Paman Sam mampu menyerap 517.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payroll), jauh lebih tinggi dari bulan sebelumnya 260.000 orang.
Tingkat pengangguran pun turun menjadi 3,4% dari sebelumnya 3,5%. Persentase penduduk yang tidak bekerja tersebut berada di posisi terendah sejak Mei 1969.
Tapi maaf, ini diperkirakan tak menyurutkan niat The Fed menyetop kenaikan suku bunga untuk meredakan inflasi ke target 2%.
Tak heran, pasar kini melihat suku bunga The Fed bisa mencapai 5,5% - 5,75% pada Juli nanti, naik 100 basis poin dari level saat ini dan lebih tinggi ketimbang proyeksi yang diberikan bank sentral AS tersebut 5% 5,25%. Inilah yang membuat IHSG sulit terangkat.
Dari pasar keuangan lain Rupiah juga masih mencatatkan kinerja mengecewakan pekan lalu. Nilai tukar rupiah tercatat melemah 0,49% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.2.95/US$ sepanjang pekan lalu.
Dengan ini, rupiah sudah tidak pernah menguat dalam 4 pekan beruntun, bahkan sempat menyentuh Rp 15.320/US$ yang menjadi level terlemah sejak 12 Januari lalu.
Meski demikian, rupiah masih menjadi mata uang terbaik di Asia sepanjang tahun ini. Melansir data Refinitiv, hingga Jumat (3/3/2022) rupiah tercatat masih menguat 1,9% melawan dolar AS. Dibandingkan mata uang Asia lainnya, hanya rupee India yang juga menguat melawan dolar AS, yang lainnya melemah.
Rilis data inflasi serta aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE) Bank Indonesia mewarnai pergerakan rupiah pekan ini. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Maret lalu melaporkan inflasi pada Februari tumbuh 5,47% year-on-year (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 5,28%.
Apalagi dari dalam negeri inflasi di Indonesia kembali menunjukkan kenaikan. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 1 Maret lalu melaporkan inflasi pada Februari tumbuh 5,47% year-on-year (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya 5,28%.
Pelaku pasar mewanti-wanti dengan kewaspadaan jelang kenaikan harga di bulan Ramadan. Inflasi inti yang menurun sebenarnya bisa menunjukkan daya beli masyarakat yang kurang bagus. Di sisi lain, inflasi headline justru naik, hal ini tentunya berisiko semakin menggerus daya beli masyarakat.
(aum/aum)