
Ekonomi China Diharapkan Membaik, Amerika "Didoakan" Memburuk

Hari ini, sentimen pasar utama masih diselimuti oleh implikasi atas pengumuman sejumlah data ekonomi. Di saat bersamaan investor juga tampaknya masih perlu untuk terus mencerna indikasi sikap The Fed yang cenderung masih hawkish hingga beberapa bulan ke depan.
Investor patut menyimak kondisi ekonomi dua raksasa dunia yang juga merupakan partner dagang utama RI, China dan Amerika Serikat.
Aktivitas ekonomi di China kembali meningkat tajam selama dua bulan berturut-turut, dan mengirimkan sinyal awal bahwa negara tersebut mungkin akan bangkit lebih cepat dari yang diperkirakan setelah sempat terseret akibat pembatasan ketat selama pandemi.
Aktivitas manufaktur naik pada laju tercepat dalam lebih dari satu dekade pada Februari, sementara pesanan ekspor meningkat untuk pertama kalinya dalam hampir dua tahun, Biro Statistik Nasional mengatakan Rabu lewat laporan Purchasing Managers Indeks (PMI).
Kondisi serupa juga terlihat dari survei PMI tidak resmi versi Caixin yang mengukur aktivitas di lebih banyak sektor swasta dan perusahaan kecil juga menunjukkan peningkatan dalam pesanan, harga, pekerjaan dan rantai pasokan, dengan kepercayaan bisnis naik ke level tertinggi sejak Maret 2021.
Meski aktivitas perekonomian dari manufaktur hingga tampaknya telah berbalik tajam di China, efek limpahan ke seluruh Asia masih mungkin relatif masih terbatas. Akan tetapi, untuk jangka panjang ekonomi China yang diharapkan tumbuh lebih cepat tahun ini dapat memberikan dorongan bagi banyak negara, termasuk Indonesia.
Tahun lalu ekonomi China hanya tumbuh 3%, salah satu tingkat paling lambat dalam beberapa dekade, karena pandemi menyebabkan penutupan pabrik, menekan penjualan rumah, dan menggerus konsumsi rumah tangga. Tahun ini dengan data ekonomi terbaru yang ciamik China diharapkan mampu melampaui target pertumbuhan 5% yang telah direncanakan sebelumnya.
Kemudian dari AS, aktivitas manufaktur kembali mengalami kontraksi pada Februari dan memperpanjang kontraksi beruntun menjadi empat bulan. Meski demikian, kontraksi ini tidak secepat yang diharapkan oleh ekonom dan analis dengan pabrik yang disurvei menyebut saat ini terlihat adanya tanda-tanda peningkatan permintaan dan percepatan kenaikan harga di bulan-bulan mendatang.
Data ekonomi yang masih relatif tangguh tersebut ditakutkan akan mendorong The Fed untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut dan menjaganya tetap tinggi demi meredam inflasi. Artinya pelaku pasar sebenarnya mengharapkan perekonomian AS memburuk, agar inflasi tidak menanjak lagi.
Pada penutupan perdagangan Kamis (2/3), indeks utama Wall Street kompak mencatatkan rebound dan ditutup menguat. S&P 500 dan indeks padat teknologi Nasdaq masing-masing ditutup naik 0,76% dan 0,73%. Sementara itu indeks blue chip Dow Jones bergerak datar dengan terapresiasi 1,05%.
Meski demikian obligasi AS kembali melemah pada Kamis, dengan imbal hasil (yield) surat utang negara AS 10 tahun naik menjadi 4,072%, level penutupan tertinggi sejak November. Secara domestik di AS, imbal hasil obligasi tersebut akan mempengaruhi banyak hal, mulai dari student loan hingga KPR rumah.
Sementara itu bagi RI, melonjaknya imbal hasil dapat menjadi berita buruk dengan potensi memicu capital outflow dari pasar obligasi dalam negeri yang tentunya bisa memberikan tekanan bagi rupiah.
Semakin tinggi yield Treasury maka risiko capital outflow semakin besar. Terbukti, sepanjang Februari hingga tanggal 27 aliran modal keluar mencapai Rp 6 triliun. Padahal pada Januari terjadi inflow nyaris Rp 50 triliun.
Kemudian investor juga perlu memantau secara spesifik emiten yang perlahan satu-persatu mulai mengumumkan kinerja keuangan tahunan. Capaian positif diharapkan mendorong naik kinerja saham yang secara luas dapat menjadi dorongan positif bagi IHSG.
Melanjutkan musim laporan keuangan adalah pembagian dividen kepada pemegang saham. Sejumlah perusahaan telah mengumumkan pengajuan angka dividen dan menunggu persetujuan pemegang saham dalam RUPS. Dividen jumbo dengan yield tinggi diharapkan dapat menjadi pemanis bagi investor untuk memborong saham perusahaan.
Terakhir investor dapat mencerna sejumlah data ekonomi global terbaru mulai dari inflasi Jepang hingga data PMI Eropa dan Australia untuk bulan Februari.
(fsd/fsd)