
Menanti "Kejadian Luar Biasa" Dari Amerika Serikat

- Pasar finansial Indonesia bervariasi awal pekan kemarin, IHSG mampu menguat, sementara rupiah justru melemah.
- Rilis inflasi di Amerika Serikat hari ini akan menjadi perhatian utama, sebab Jerome Powell sebelumnya mengatakan suku bunga bisa lebih tinggi jika inflasi kembali naik.
- Pelaku pasar juga menanti pengumuman kebijakan moneter Bank Indonesia, sebelumnya Gubernur Perry Warjiyo memberikan kode suku bunga tidak akan dinaikkan lagi kecuali ada kejadian luar biasa. Pasar akan melihat apakah misalnya inflasi di AS jika kembali naik akan termasuk "kejadian luar biasa" atau tidak.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam pada perdagangan awal pekan kemarin. Saat Pasar saham Indonesia terapresiasi, mata uang sang Garuda terpuruk.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan akhir pekan ini (13/02/23) berakhir di 6.900,14 atau terapresiasi 0,29% secara harian.
Sebanyak 258 saham menguat, 268 saham mengalami koreksi dan 195 lainnya mendatar. Perdagangan menunjukkan nilai transaksi sekitar Rp 8,9 triliun dengan melibatkan dari 23,4 miliar saham.
Kenaikan IHSG hari ini sekaligus menghentikan tren penurunan selama dua hari beruntun. Sejak awal tahun, IHSG mencatatkan penguatan 0,72% (year to date/ytd).
Berdasarkan data Refinitiv, tujuh dari sepuluh sektor menguat. Sektor teknologi masih menjadi sektor yang paling menguntungkan indeks dengan kenaikan 1,26% disusul sektor 1,26%. Sementara itu, sektor kesehatan terpantau menjadi beban indeks turun 1,35%.
Kenaikan IHSG disebabkan menguatnya saham-saham dengan kapitalisasi jumbo. Gojek Tokopedia terbang 10,48% dan saham Bank Mega melayang 6,09%.
IHSG menguat di kala mayoritas indeks utama di Asia melemah. Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup merosot 0,88% ke 27.427,3, Hang Seng Hong Kong turun 0,12% ke 21.164,42, Straits Times Singapura ambles 1,07% ke 3.324,7, ASX 200 Australia terkoreksi 0,21% ke 7.417,8, dan KOSPI Korea Selatan terdepresiasi 0,69% menjadi 2.452,7.
Kinerja indeks tanah air pada penutupan sore ini mengekor bursa acuan Amerika Serikat (AS) yang mayoritas menguat Jumat lalu jelang rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) periode Januari 2023 yang akan dirilis pada Selasa malam waktu Indonesia Barat.
Dow Jones Industrial Average naik 0,5%, ke level 33.869,4. Nasdaq Composite turun 0,61%, ke level 11.718,12. S&P 500 naik 0,22%, ke level 4.090,48.
Konsensus Trading Economics memperkirakan inflasi AS diprediksi melambat menjadi 6,2% secara tahunan (yoy) pada bulan lalu. Angka ini turun dari 6,5% pada Desember 2022.
Meski demikian, secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi AS diprediksi naik 0,5% pada bulan lalu atau lebih cepat dari catatan Desember 2022 di angka 0,1%.
Kenaikan bulanan tersebut terjadi salah satunya didorong oleh permintaan dan konsumsi yang lebih kuat akibat libur natal dan tahun baru.
Sementara itu nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Seikat menjelang rilis data inflasi yang menjadi sorotan utama para pelaku pasar.
Melansir data Refinitiv, rupiah berakhir melemah 0,4% ke Rp 15.190/US$. Tidak cuma rupiah, semua mata uang Asia terpuruk melawan dolar AS. Beruntung, rupiah bukan yang terburuk.
Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan greenback terhadap enam mata uang utama lainnya dan menjadi acuan, mulai bangkit setelah muncul ekspektasi bank sentral AS akan tetap menaikkan suku bunga.
Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell pada pekan lalu menyatakan jika suku bunga bisa naik lebih tinggi dari prediksi sebelumnya jika pasar tenaga kerja masih terus kuat atau inflasi yang kembali meninggi.
Sehingga, rilis data inflasi akan menentukan ekspektasi suku bunga The Fed di tahun ini. Dampaknya akan besar, jika inflasi meningkat lagi maka The Fed berpeluang menaikkan suku bunga lebih tinggi lagi, pasar finansial berisiko guncang.
Indeks utama bursa saham Amerika Serikat, Wall Street menguat menjelang laporan inflasi utama yang diperkirakan akan melandai.
Dow Jones Industrial Average ditutup 376,66 poin lebih tinggi, atau 1,11%, untuk mengakhiri sesi di 34.245,93. S &P 500 naik 1,14% menjadi ditutup pada 4.137,29, dan Nasdaq Composite naik 1,48% menjadi 11.891,79.
Microsoft memimpin kenaikan Dow, naik 3,1%. Nike dan Salesforce masing-masing naik 2,4%, mendorong indeks. Intel menambahkan 2,7%.
Investor sedang menantikan rilis data inflasi AS Januari yang akan dirilis malam ini waktu Indonesia Barat. Sejauh ini investor melihat inflasi akan mendingin dan akan membuat jeda atau poros kenaikan suku bunga Fed mungkin sudah dekat.
"Perpaduan pemulihan produksi industri dan penurunan inflasi seperti Goldilocks yang kami perkirakan kuartal ini telah membantu meningkatkan selera risiko dan ekuitas," kata Ray Farris dari Credit Suisse dalam catatan Senin.
Namun, dorongan ini dapat menghilang pada musim panas, terutama karena dampak dari kenaikan suku bunga bank sentral mulai memperketat kondisi keuangan global.
"Pasar mulai merasakan bahwa kisah disinflasi yang sangat menghibur ternyata lebih kompleks daripada yang kita inginkan," kata Mohamed El-Erian, kepala penasihat ekonomi di Allianz, di "Squawk Box" CNBC pada hari Senin.
Babak terakhir musim pelaporan kinerja keuangan juga berlanjut minggu ini. Beberapa perusahaan yang kinerjanya dinantikan investor seperti Coca-Cola, Marriot, Cisco, Maraton dan Paramount.
Sejauh ini, perusahaan telah melaporkan hasil yang lebih buruk dari perkiraan , menjadikan tahun ini musim pendapatan terburuk dalam lebih dari dua dekade, tidak termasuk resesi, menurut Credit Suisse.
Berbagai sentimen akan mewarnai pergerakan IHSG hari ini baik dari dalam maupun luar negeri. Fokus investor tertuju kepada rilis data ekonomi inflasi Amerika Serikat dan menantikan laporan neraca perdagangan Indonesia.
Angin segar bagi IHSG setelah tiga indeks utama Wall Street mencatatkan penguatan. Wall Street adalah indeks acuan bursa global sehingga dapat mempengaruhi persepsi investor terhadap pasar saham.
Sementara itu investor menantikan laporan inflasi konsumen AS akan dirilis Selasa malam. Konsensus Trading Economics memperkirakan inflasi AS diprediksi melambat menjadi 6,2% secara tahunan (yoy) pada bulan lalu. Angka ini turun dari 6,5% pada Desember 2022.
Meski demikian, secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi AS diprediksi naik 0,5% pada bulan lalu atau lebih cepat dari catatan Desember 2022 di angka 0,1%.
Kenaikan bulanan tersebut terjadi salah satunya didorong oleh permintaan dan konsumsi yang lebih kuat akibat libur natal dan tahun baru.
Rilis data inflasi akan menentukan ekspektasi suku bunga The Fed di tahun ini. Jika kembali menurun, maka pasar akan kembali melihat suku bunga The Fed tidak akan lebih dari 5%.
Ketua bank sentral AS (The Fed) Jerome Powell pada pekan lalu menyatakan jika suku bunga bisa naik lebih tinggi dari prediksi sebelumnya jika pasar tenaga kerja masih terus kuat atau inflasi yang kembali meninggi.
Jepang akan merilis pertumbuhan ekonomi berdasarkan PDB (product domestic bruto). Menurut konsensus Trading economics, ekonomi Negeri Matahari itu tumbuh 2% pada kuartal keempat 2022 dibandingkan tahun lalu (year-on-year/yoy) dan 0,5% secara triwulanan (quarter-on-quarter/qoq).
Dari dalam negeri rilis data neraca perdagangan pada Rabu (15/2/2023) juga dinantikan oleh investor dan dapat mempengaruhi pergerakan indeks.
Polling CNBC Indonesia yang melibatkan 12 lembaga/institusi memperkirakan surplus neraca perdagangan akan menembus US$ 3,47 miliar pada Januari 2023. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan pada Desember 2022 yang tercatat US$ 3,89 miliar.
Jika proyeksi menjadi kenyataan maka surplus akan menjadi yang terendah sejak Mei 2022.
Sejumlah lembaga menjelaskan menyempitnya surplus karena anjloknya harga komoditas andalan Indonesia.
Merujuk data Refinitiv, rata-rata harga batu bara pada Januari 2023 tercatat US$ 317,23 per ton, lebih rendah dibandingkan pada Desember 2022 yang tercatat US$ 379,2 per ton.
Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan kebijakan moneter Kamis nanti.
Gubernur BI, Perry Warjiyo sebelumnya sudah memberikan kode suku bunga tidak akan dinaikkan lagi jika tidak ada kejadian yang luar biasa. Dengan kondisi saat ini, pasar akan melihat apakah BI masih tetap dengan pendirian yang sama, atau memberikan sinyal suku bunga bisa naik lagi. Apalagi misalnya inflasi Amerika Serikat kembali menanjak, apakah akan dianggap "kejadian besar" oleh BI, sehingga harus kembali menaikkan suku bunganya.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti revisi aturan devisa hasil ekspor (DHE). Wacana revisi tersebut menjadi salah satu faktor yang mendongkrak kinerja rupiah sebelumnya.
Pemerintah berjanji untuk menerbitkannya pada Februari, tetapi hingga kini belum ada tanda-tanda aturan itu telah selesai dibahas.
Berikut sejumlah agenda dan rilis ekonomi yang terjadwal untuk hari ini:
- Pertumbuhan ekonomi Jepang (06.50 WIB)
- Sidang PKPU Wanaartha Life di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (10:00 WIB)
- Menteri Keuangan Sri Mulyani akan menggelar konferensi pers terkait IMF-JICA Joint Conference on Recovery from the Pandemic in Developing Asia (16:00 WIB)
- Inflasi Amerika Serikat (20.30 WIB)
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY) | 5,01% |
Inflasi (Januari 2023 YoY) | 5,28% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Januari 2023) | 5,75% |
Defisit Anggaran (APBN Desember 2022) | -2,38% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q3-2022 YoY) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q3-2022 YoY) | US$ 1,3 miliar |
Cadangan Devisa (Januari 202) | US$ 139,4 miliar |
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap) Next Article IHSG Sudah Bangkit Saatnya Rupiah Menguat